1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Quo Vadis, SDM Unggul di Bidang Seni?

Musiker Ananda Sukarlan
Ananda Sukarlan
9 November 2019

Juara pertama kompetisi penyanyi, juara kedua ajang pencarian bakat seni? Pendidikan seni tidak bisa dilakukan dengan cara eksakta. Sepakatkah Anda dengan opini Ananda Sukarlan berikut ini?

https://p.dw.com/p/3RKuz
Arab Idol Mohammed Assaf Gewinner Palästinenser
Foto: Reuters

Secanggih apapun mobil balapnya, kalau pembalapnya tidak memiliki kemampuan, keberanian dan kepintaran berstrategi untuk menang, mobil itu tidak akan pernah jadi juara. 

Sebagus apapun pianonya, kalau pianisnya salah pencet tuts melulu, ataupun kalau permainannya canggih tapi musiknya itu-itu saja, piano itu tidak akan menghasilkan musik berkualitas tinggi.

Tidak pernah ada negara maju di dunia ini yang tidak memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul pula sebagai faktor utamanya, walaupun negara itu memiliki kekayaan tambang, keindahan alam, kesuburan tanah, kecanggihan infrastruktur fisik dan apapun yang membuat negara itu kaya melimpah.

Indonesia memiliki segalanya, termasuk SDM yang (berpotensi) unggul

Saya ingin melihat melalui mikroskop di bidang saya saja: musik klasik, dan semoga ini mencerminkan bidang-bidang seni lainnya juga. Ke mana ratusan pianis yang telah kuliah ke luar negeri, beberapa di antaranya berprestasi dan berkarier di luar negeri, dan apa kontribusi yang telah mereka (atau saya harus menyebut: kami) berikan untuk negara dalam bidang sosial, mengundang investasi asing dan menangkal bahaya nomor satu sampai sembilan saat ini, yaitu radikalisme?

Kalau Anda mengirim anak Anda untuk les musik (klasik), cobalah sekali-kali lihat cara guru musiknya mengajarnya. Apakah benar cara mengajarkannya membuat anak Anda lebih merdeka, kreatif dan imajinatif? Ternyata banyak yang akan menjawab "tidak".

Banyak sekolah musik (termasuk yang berkualitas) yang hanya mengajarkan anak Anda bagaimana menjadi seorang musikus yang jari-jarinya bergerak cepat, akurat dan bisa memainkan repertoire musik klasik yang semuanya didikte oleh gurunya. Intinya, ia diharapkan nantinya fasih memainkan karya-karya komponis "Barat" dan sudah lama mati, seperti Bach, Tchaikovsky, dll seperti layaknya seorang pianis Eropa.

Selain sebagai komponis & pianis, A.Sukarlan juga aktif sebagai blogger di Andy Skyblogger's Log, dan membuat vlog di Youtube channelnya Ananda Sukarlan. Twitter & Instagramnya @anandasukarlan bukan hanya mengulas tentang musik, tapi masalah sosial, budaya dan politik pada umumnya. Ia membagi waktunya antara Spanyol (di rumahnya di perbukitan di Cantabria) dan Indonesia (di apartemennya di Jakarta).
Penulis: Ananda Sukarlan Foto: privat

Pengembangan karakter? Kreativitas?

Apalagi sensitivitas terhadap lingkungan sekeliling? Maaf, guru musik tidak dibayar untuk hal-hal tersebut .... atau?

Pendidikan seni tidak bisa dilakukan dengan cara dan pendekatan yang sama dengan pendidikan ilmu eksakta. Dalam berekspresi, langit tidak hanya biru dan daun tidak hanya hijau di kanvas sang pelukis.

Simfoni Mozart atau siapa pun tidak harus dimainkan dengan tempo yang persis sama setiap kali. Kesedihan, kesepian dan semua perasaan memiliki spektrum yang sangat luas yang tidak bisa diekspresikan dengan akurat dengan kata-kata, dan dialami berbeda oleh orang yang berbeda.

"Imagination is more important than knowledge", kata Einstein yang notabene adalah seorang ilmuwan. Saya mendesain kompetisi piano Ananda Sukarlan Award (ASA) yang ke-7 kalinya tahun 2020 bukan lagi untuk mencari pianis yang hanya trampil dan bisa pamer virtuositas. ASA selalu mencari pianis yang memiliki karakter dan identitas yang kuat serta pemahaman serta konsep dan kualitas artistik yang jelas, dan saya menyadari kesalahan dan kekurangan kami di edisi sebelumnya yang terlalu banyak membatasi kreativitas. Kami mencari musikus yang berpikiran "out of the box" (yang harusnya memang demikianlah cara berpikir seorang seniman).

Para peserta juga dinilai dari strategi pemilihan repertoire-nya yang akan menentukan potensi kesuksesannya di masa datang lewat "roadmap" yang ia desain sendiri.

Peserta tidak "ditentukan" untuk memainkan karya-karya yang diwajibkan, karena itu saya anggap mematikan kreativitasnya dan hanya akan menjadikannya seorang pianis tanpa intuisi dan imajinasi. Ia diharapkan memilih musik yang mencerminkan karakter dan identitasnya.

Ini "memaksa" kami, pihak penyelenggara kompetisi, serta guru dari peserta tersebut untuk tidak mendikte atau mewajibkannya memainkan karya-karya tertentu yang belum tentu cocok untuk karakter, musikalitas bahkan tekniknya yang akhirnya tidak berguna untuk kariernya di masa depan.

Banyak guru piano yang "merasa jadi repot" melihat syarat dan ketentuan ASA 2020 yang sangat berbeda dengan kompetisi lain saat ini di dalam atau luar negeri, bahkan ASA edisi-edisi sebelumnya. Ini juga mencerminkan prinsip dan ide saya bahwa "Indonesian problems have Indonesian solutions".

Mencoba membuat peringkat pertunjukan artistik yang akurat untuk mengurutkannya ke dalam daftar: pemenang, runner-up, dan turun terus adalah suatu hal yang mustahil.

Apa perbedaan pianis ranking ke-5 dan 6? Atau 15 dan 18?

Bagaimana pun, manfaat langsung dari kompetisi musik dalam bentuk uang, pengadaan konser dan kadang-kadang kontrak rekaman hanyalah untuk pemenang hadiah tertinggi.

Di bawah itu, semua hanya menjadi ranking yang diurutkan oleh para juri dengan susah payah (dan sering tidak akurat). Konsep penilaian penampilan yang tepat dalam kompetisi musik adalah sebuah ilusi, terutama ketika hasil penjurian diproses menggunakan sistem penilaian poin numerik. 

Seberapa besar kemungkinan hasilnya mencerminkan kualitas sebenarnya dari semua peserta? Kinerja artistik sama sekali tidak dapat diukur dengan cara ini. Tidak ada hasil karya seni yang lebih membosankan daripada karya yang tidak memiliki karakter dan identitas yang kuat. Hasil karya seni adalah ekspresi yang paling jujur, dan jika ekspresi itu tidak dapat dirasakan secara otentik, berarti seniman itu belum jujur. Paling tidak terhadap dirinya sendiri.

 @anandasukarlan

Selain sebagai komponis & pianis, A.Sukarlan juga aktif sebagai blogger di Andy Skyblogger's Log, dan membuat vlog di Youtube channelnya Ananda Sukarlan. Twitter & Instagramnya @anandasukarlan bukan hanya mengulas tentang musik, tapi masalah sosial, budaya dan politik pada umumnya. Ia membagi waktunya antara Spanyol (di rumahnya di perbukitan di Cantabria) dan Indonesia (di apartemennya di Jakarta).

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.