1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikLibya

Putra Mantan Diktator Libya Muammar Gaddafi Maju Jadi Capres

15 November 2021

Saif al-Islam putra mantan diktator Libya Muammar Gaddafi adalah salah satu tokoh paling menonjol dan kontroversial mencalonkan diri sebagai presiden. Dia akhirnya muncul lagi setelah 10 tahun.

https://p.dw.com/p/42zq7
Saif al-Islam al-Gaddafi
Saif al-Islam al-Gaddafi (49) mengenakan jubah dan sorban cokelat tradisional, sedang menandatangani dokumen di pusat pemilihan di kota selatan SebhaFoto: Khaled Al-Zaidy/REUTERS

Putra mendiang diktator Libya Muammar Gaddafi muncul untuk pertama kalinya setelah satu dekade pada Minggu (15/11) untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan Desember yang direncanakan untuk membantu mengakhiri tahun-tahun kekacauan sejak ayahnya digulingkan.Saif al-Islam al-Gaddafi yang berusia 49 tahun, muncul dalam video dengan mengenakan jubah dan sorban cokelat tradisional, berpenampilan berjanggut abu-abu dan memakai kacamata. Ia menandatangani dokumen di pusat pemilihan di kota Sebha.

Gaddafi adalah salah satu tokoh paling menonjol dan kontroversial yang diperkirakan akan mencalonkan diri sebagai presiden.

Meskipun namanya adalah salah satu yang paling terkenal di Libya, dan meskipun dia pernah memainkan peran utama dalam membentuk kebijakan sebelum pemberontakan yang didukung NATO 2011 yang menghancurkan rezim keluarganya, dia hampir tidak terlihat selama satu dekade.


Sosok yang tidak dapat diterima?

Masuknya Saif al-Islam secara resmi ke dalam bursa pemilihan yang aturannya masih diperebutkan oleh faksi-faksi Libya yang berselisih juga dapat menimbulkan pertanyaan baru tentang kontes yang menampilkan kandidat yang dipandang di beberapa wilayah sebagai sosok yang tidak dapat diterima.

Jaksa militer Libya yang bertanggung jawab kepada kementerian pertahanan pemerintah persatuan di Tripoli, mengonfirmasi telah menulis surat kepada komisi pemilihan untuk menuntut penundaan pencalonan Gaddafi.

Terlepas dari dukungan publik dari sebagian besar faksi Libya dan kekuatan asing untuk pemilihan pada 24 Desember, pemungutan suara tetap diragukan karena pihak yang bersaing saling bertengkar tentang aturan dan jadwal.

Sebuah konferensi besar di Paris pada Jumat (12/11) sepakat untuk memberikan sanksi kepada siapa pun yang mengganggu atau mencegah pemungutan suara. Namun, dengan waktu kurang dari enam minggu, masih belum ada kesepakatan tentang aturan untuk mengatur siapa yang harus dapat mencalonkan diri.

Namun, para analis mengatakan dia mungkin belum terbukti menjadi yang terdepan.

Era Gaddafi masih dikenang oleh banyak orang Libya sebagai salah satu otokrasi yang keras, sementara Saif al-Islam dan tokoh-tokoh rezim sebelumnya telah keluar dari kekuasaan begitu lama sehingga mereka mungkin merasa sulit untuk memobilisasi dukungan sebanyak saingan utama.

Namun, setelah pengumumannya, para pendukung Gaddafi berdemonstrasi di kampung halamannya di Sirte, dan di Bani Walid, bekas kubu Khadafi.

Muammar al-Gaddafi ditangkap di luar Sirte oleh pejuang oposisi pada Oktober 2011 dan ditembak. Saif al-Islam ditangkap beberapa hari kemudian oleh pejuang dari Zintan saat ia mencoba melarikan diri dari Libya ke Niger.

Ambisi yang kuat 

Lebih dari satu dekade kemudian, Saif al-Islam bukanlah tokoh yang berpengaruh di mata orang Libya. Dia memberikan wawancara kepada New York Times awal tahun ini, tetapi belum membuat penampilan publik untuk berbicara langsung ke warga Libya.

Setelah hukumannya pada tahun 2015, dia kemungkinan akan menghadapi penangkapan atau bahaya lain jika dia muncul di depan umum di ibu kota Tripoli. Dia juga dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional.

Dididik di London School of Economics dan fasih berbahasa Inggris, Saif al-Islam pernah dilihat oleh banyak pemerintah sebagai wajah Libya yang dapat diterima dan ramah Barat, dan kemungkinan pewaris kekuasaan Gadaffi..

Tetapi ketika pemberontakan pecah pada tahun 2011 melawan pemerintahan panjang Muammar Gaddafi, Saif al-Islam memilih setia keluarga dan klan daripada ke pihak  Barat. Dia mengatakan kepada Reuters: "Kami berperang di sini di Libya; kami mati di sini di Libya."

pkp/ (reuters)