1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Puasa Intermiten, Apakah Sepadan dengan Kepopulerannya?

Charli Shield
12 Desember 2019

Puasa intermiten dipercaya sebagai cara ampuh menurunkan berat badan, menurunkan risiko penyakit, dan memperpanjang usia. Tetapi terlepas dari hasil penelitian yang positif, apakah itu benar-benar laik mendapat pujian?

https://p.dw.com/p/3UbCK
Einzelne Erbse auf Teller
Foto: picture-alliance/blickwinkel/McPHOTO

Tampaknya hampir setiap orang melakukan puasa intermiten. Mulai dari para selebriti hingga pekerja kantoran.

CEO Twitter, Jack Dorsey, hanya makan sekali sehari. Dia tidak sarapan atau makan siang, tetapi ia hanya makan di antara pukul 6:30 malam dan 8:30 malam.

Meski puasa intermiten yang diterapkan Dorsey sangat ekstrem dan tidak disarankan, namun puasa jenis ini dipromosikan secara luas. Sejumlah buku yang mengulas puasa intermiten menuliskan bahwa puasa ini menjanjikan energi yang sangat besar, mengoptimalkan berat badan, mengaktifkan sel punca, dan memperlambat penuaan. Ada juga aplikasi puasa intermiten yang merekam pola puasa dan penurunan berat badan. Karenanya, puasa intermiten menjadi fenomena bagi industri diet global yang berkembang pesat senilai $ 189 miliar atau setara Rp 2.646 triliun.

Ketika puasa telah dikenal lama sebagai ibadah beberapa agama dan banyak budaya, puasa intermiten menghadirkan beberapa pertanyaan serius di dunia kesehatan modern saat ini, tak terkecuali mengapa kita harus mengikuti pola diet ini. Pihak yang mendukung metode ini mengatakan bahwa puasa intermiten baik bagi tubuh karena didasari apa yang telah dilakukan nenek moyang primitif kita. Namun, apa sebenarnya puasa intermiten itu dan mengapa kita melakukannya?

Apakah puasa intermiten?

Pola makan yang membatasi asupan kalori selama beberapa jam dalam sehari atau beberapa hari dalam seminggu, puasa intermiten memiliki beberapa ritme yang berbeda.

Salah satu contoh paling umum, dipopulerkan oleh jurnalis sains Michael Mosley, adalah puasa intermiten 5:2. Anda makan sebebasnya selama lima hari dalam seminggu dan membatasi asupan kalori pada dua hari lainnya, biasanya sekitar 500 kkal. Mosley mengatakan metode itu menyembuhkan diabetes tipe 2-nya.

Pembatasan waktu makan, di sisi lain mampu membatasi asupan kalori misal hanya pada satu rentang waktu dalam sehari (biasanya antara delapan hingga 10 jam). Ada juga versi yang lebih ekstrem, yang dikenal dengan istilah "diet prajurit," yang mana kita berpuasa 20 jam tanpa makan dan empat jam diperbolehkan makan sebebasnya. Tetapi karena tidak ada pakar kesehatan yang merekomendasikan metode ini, puasa jenis ini belum ada yang mempelajari.

Prinsip utama puasa intermiten adalah memberikan kadar insulin tubuh cukup waktu untuk diserap di antara waktu makan, sehingga sel-sel lemak kita kemudian dapat melepaskan gula yang tersimpan untuk diubah sebagai energi. Banyak reaksi positif tentang cara diet ini muncul setelah serangkaian penelitian yang sukses dilakukan pada sejumlah tikus. Berat badan mereka turun, tekanan darah stabil, kadar kolesterol dan gula darah turun, hingga mengurangi risiko diabetes tipe 2 dan kanker.

Tetapi berbeda dengan tikus percobaan, manusia jauh lebih sulit untuk mengikuti aturan diet yang ketat dan dalam hal ini mempersulit untuk dilakukannya studi jangka panjang terhadap mereka.

Baca jugaDiet Tapi Boleh Makan Sepuasnya

Yang terbaru?

Salah satu studi terbaru mengenai ini, yang diterbitkan Cell Metabolism, mengungkap pembatasan makan selama 10 jam dalam sehari baik bagi kesehatan orang yang kelebihan berat badan dengan kadar kolesterol, gula darah, dan tekanan darah tinggi. Setelah tiga bulan, para peserta yang  menjalani asupan normal dan tidak mengubah apa pun yang mereka makan, berhasil menurunkan sekitar 3% lemak tubuh dan 4% lemak viseral perut.

Pendekatan ritme puasa intermiten 10:14 (makan antara pukul delapan pagi hingga pukul enam malam) efektif untuk orang yang mengidap sindrom metabolik, namun penelitian ini hanya dilakukan sebanyak 19 peserta dalam tiga bulan.

"Itu terlalu sedikit dan terlalu sebentar," ujar Tilman Kühn, seorang ahli epidemiologi gizi dari Pusat Penelitian Kanker Jerman. Kühn menambahkan bahwa penelitian tersebut dinilai tidak memiliki data perbandingan dengan metode diet konvensional.

"Interpretasi saya adalah bahwa orang hanya dapat berhasil dengan dukungan diet profesional," kata Kühn kepada DW.

Satchidananda Panda, seorang profesor di Salk Institute dan salah satu penulis penelitian tersebut, mengatakan "penelitian lebih lanjut diperlukan" untuk menentukan apakah pembatasan waktu makan atau puasa intermiten dapat benar-benar membantu menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh diet yang tidak sehat. Panda menambahkan, bahwa hasil penelitian juga menunjukkan "orang dapat tidur lebih nyenyak dan merasa lebih segar di pagi hari" saat melakukan diet 10:14.

Panda juga diketahui pernah menulis buku soal puasa intermiten, yang subjudulnya berbunyi: "Menurunkan berat badan, menambah energi dan menjaga kesehatan Anda dari pagi hingga tengah malam."

Baca jugaKurang Tidur Bisa Akibatkan Kegemukan 

Tidak lebih baik dari diet konvensional

Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa puasa intermiten tidak lebih efektif daripada metode diet konvensional yang menurunkan kalori dengan tujuan menurunkan berat badan atau meningkatkan kadar insulin.

Sebuah penelitian baru-baru ini yang juga ditulis oleh Kühn, dilakukan selama 50 minggu lamanya, membandingkan puasa intermiten 5:2 dengan metode konvensional, di mana peserta mengurangi asupan kalori harian mereka sebanyak 20%. Sementara kelompok ketiga tidak mengubah diet mereka.

Para peneliti menemukan baik puasa intermiten dan diet konvensional berhasil menurunkan berat badan dan lemak dibandingkan dengan kelompok ketiga. Beberapa parameter kesehatan, seperti kadar insulin dan lipid, juga membaik. Tetapi hasilnya hampir identik untuk kedua jenis diet.

"Kami tidak menemukan bukti sama sekali sebuah efek yang lebih kuat atau manfaat lebih besar dari puasa intermiten," ujar Kühn kepada DW. "Itu sama efektifnya dengan diet pengurangan kalori harian."

Sementara Kühn mengatakan bahwa ia tidak akan pernah mempercayai hanya satu penelitian. Dua penelitian perbandingan lain dari Norwegia dan Australia yang dilakukan pada waktu yang sama menemukan hasil yang persis serupa - puasa intermiten 5:2 tidak lebih efektif daripada diet konvensional.

Baca jugaDari Udara Hingga Gas Metana, Usaha Manusia Cari Pengganti Daging

Sulit untuk diikuti

Panda, bagaimana pun mengatakan puasa intermiten 10:14 menjadi daya tarik utama, karena menurutnya lebih mudah diikuti daripada bentuk puasa intermiten atau diet konvensional lainnya.

"Bahkan jika dua metode berujung pada hasil yang serupa, mengapa Anda lebih memilih sesuatu yang sulit diikuti?" kata Panda.

Permasalahan muncul ketika hasil penelitian berskala kecil dan sejumlah buku tentang puasa intermiten menuliskan bahwa puasa ini dinarasikan sebagai solusi ajaib, seperti diet pada umumnya. Padahal kenyataannya, ditinjau dari sisi ilmu pengetahuan tidak begitu jelas.

"Jika seseorang menemukan bahwa puasa intermiten berfungsi, maka saya akan mengatakan itu adalah metode yang cocok bagi mereka. Tapi itu bukan solusi universal untuk masalah kesehatan bagi semua orang," jelas Kühn.

Mengingat bukti yang Kühn dan rekannya miliki sejauh ini, ia mengatakan komunitas ilmuan mungkin lebih baik mencari kebijakan-kebijakan (seperti penerapan pajak gula di Inggris) sebagai langkah untuk mencegah obesitas dan kebiasaan makan yang tidak sehat, demi mengubah perilaku makan seseorang.

rap/pkp