1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiCina

Presiden Prancis dan Presiden Komisi Eropa Kunjungi Cina

6 April 2023

Dalam lawatan ke Cina, Presiden Prancis dan Presiden Komisi Uni Eropa dijadwalkan bertemu Xi Jinping. Saat Macron bersikap kooperatif, von der Leyen justru giat mengritik tuan rumah soal hambatan dagang.

https://p.dw.com/p/4Pl8p
Ursula von der Leyen dan Emmanuel Macron
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen (ki.) dan Presiden Prancis, Emmanuel Macron (ka.)Foto: Ludovic Marin/AFP/Getty Images

Setibanya di Beijing, Rabu (5/4) malam, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menegaskan Eropa harus menghindari kemerosotan perdagangan dan diplomasi dengan Cina, betapapun sulitnya situasi geopolitik saat ini. 

Hari Kamis (6/4), dia dan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, dijamu Perdana Menteri Li Qiang di Balai Agung Rakyat, Beijing. Gedung yang terletak tidak jauh dari Lapangan Tiananmen itu biasanya digunakan Partai Komunis Cina untuk kegiatan legislatif atau seremonial.

Sore harinya, kedua petinggi UE dijadwalkan bertemu secara terpisah dengan Presiden Xi Jinping, sebelum menghadiri KTT UE-Cina di hari yang sama. Saat ini pun lawatan Macron dan von der Leyen di Cina sudah diiringi ekspektasi yang tinggi.

"Kunjungan Macron diharapkan bisa memproduksi hasil konkret dalam memperkuat kerja sama ekonomi dan perdagangan antara Cina dan Prancis, serta membangun rasa saling percaya," tulis harian pemerintah, Global Times, dalam sebuah editorial terbitan hari Kamis.

Xi Jinping dan Emmanuel Macron
Presiden Cina, Xi Jinping, menyambut Presiden Emmanuel Macron (ka.) di BeijingFoto: Lintao Zhang/Getty Images

"Perlu dicatat bahwa beragam kekuatan di Eropa dan Amerika Serikat memantau kunjungan Macron dengan seksama," imbuh koran tersebut. "Dengan kata lain, tidak semua orang ingin melihat kunjungan Macron berjalan lancar dan sukses."

Selain relasi dagang, Macron dan von der Leyen dikabarkan juga akan membahas isu Ukraina dan kedaulatan Taiwan.

Diplomasi bermuka dua

Keduanya mengaku ingin membujuk Presiden Xi Jinping agar menggunakan pengaruhnya kepada Presiden Vladimir Putin untuk mengakhiri perang di Ukraina, atau setidaknya menahan diri tidak menjual senjata ke Rusia.

Sejumlah analis meyakini kedua pejabat sedang menjalankan peran "polisi baik, polisi kejam" di Cina. Ketika Macron sibuk mempromosikan "reset" dalam relasi UE-Cina, von der Leyen membahas isu-isu yang lebih pelik dan tidak jengah bersuara kritis.

"Cina adalah mitra dagang krusial, tapi pengusaha UE banyak menghadapi hambatan diskriminatif," tulisnya di Twitter pada Kamis (6/4) pagi, usai bertemu perwakilan Kamar Dagang Eropa di Beijing.

"Hubungan UE dan Cina sangatlah dalam dan rumit. Kemampuan kita untuk mengelolanya akan berdampak pada kemakmuran dan keamanan di Uni Eropa. Saya berada di Beijing untuk membicarakan relasi ini, dan masa depannya," imbuhnya lewat Twitter.

Macron membawa delegasi sebanyak 50 pengusaha dan investor, termasuk di antaranya produsen pesawat Airbus, raksasa mode Prancis LVMH, dan produsen energi nuklir EDF.

Namun postur delegasi yang didominasi pelaku bisnis justru diyakini memberikan isyarat keliru kepada Cina. "Sepertiga anggota delegasi adalah pemimpin bisnis. Tujuan terpenting dan paling utama adalah menandatangani kontrak bisnis," tulis Raphael Glucksman, anggota fraksi kiri di Parlemen Eropa, di Twitter.

"Mengingat perdebatan di Eropa yang fokus pada kebergantungan fatal kita kepada Cina dan intervensi dari Beijing, pesan semacam ini tidak pada tempatnya," kritik Glucksman.

rzn/as (afp,rtr)