1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTaiwan

Presiden Baru Taiwan Menjabat saat Ancaman Cina Meningkat

20 Mei 2024

Walau Presiden baru Taiwan Lai Ching-te menyerukan upaya perdamaian di kedua sisi Selat Taiwan, Cina tetap memandang dia sebagai “separatis berbahaya”.

https://p.dw.com/p/4g3ko
Pelantikan Presiden baru Taiwan Lai Ching-te
Lai Ching-te melihat banyak kemajuan ekonomi dan sosial di Taiwan, tetapi hubungan dengan Cina justru semakin memburuk.Foto: Carlos Garcia Rawlins/REUTERS

Presiden baru Taiwan, Lai Ching-te, mulai memangku jabatannya Senin (20/05) di tengah meningkatnya ketegangan negaranya dengan Cina dan parlemen Taiwan yang terpecah.  

Lai dan wakil presiden terpilih Hsiao Bi-khim mengambil sumpah jabatan di Kantor Kepresidenan, Taipei. Acara pelatikan itu dihadiri oleh delegasi internasional dari Amerika Serikat (AS), Jepang, Kanada, dan lain-lain. 

Dalam pidato pelatikannya, Lai diagendakan akan mengungkapkan niat baiknya kepada Cina, dengan menyerukan agar kedua belah pihak di Selat Taiwan dapat mengupayakan perdamaian, ungkap seorang pejabat senior kepada kantor berita Reuters.

Cina justru memandang Lai, 64 tahun, sebagai "separatis berbahaya” yang akan membawa "perang dan kemunduran” ke pulau itu.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Menghadapi ancaman agresif Beijing

Lai menjabat sebagai wakil presiden di bawah Tsai Ing-wen, yang selama delapan tahun memerintah pulau demokratis ini dan mengalami banyak kemajuan ekonomi serta sosial, namun hubungan dengan negara tetangganya Cina justru semakin memburuk

Lai yang pernah menyebut dirinya sebagai "pekerja pragmatis untuk kemerdekaan Taiwan”, sejak saat itu melunakkan retorikanya, dan berjanji untuk mempertahankan "status quo” di Selat Taiwan, yang diartikan menjaga kedaulatan Taiwan tanpa mendeklarasikan kemerdekaan secara formal.

Beijing telah menolak upaya Lai untuk berdialog dan justru meningkatkan aktivitas militer di dekat Taiwan sejak Lai menang dalam pemilu Taiwan.

Cina menganggap Taiwan yang demokratis sebagai wilayah kedaulatannya, dan menyatakan  penggunaan kekuatan militer demi membawa pulau itu di bawah kendali Beijing, tidak akan pernah berhenti.

Menjelang pelantikan Lai, Kantor Urusan Taiwan di Beijing, menggambarkan "kemerdekaan Taiwan dan perdamaian di selat” itu sebagai "air dan api”. 

Tantangan bagi kepemimpinan baru 

Lai dan Hsiao merupakan bagian dari Partai Progresif Demokratik (DPP), yang sangat gigih memperjuangkan kedaulatan Taiwan.

Presiden Lai mengatakan, Taiwan mampu melanjutkan kebijakan presiden sebelumnya, Tsai dengan meningkatkan anggaran belanja pertahanan dan memperkuat hubungan dengan negara-negara demokratis lainnya, terutama AS, mitra sekaligus pemasok utama senjata.

Di dalam negeri, partai ini menghadapi berbagai tantangan setelah meraih suara mayoritas di parlemen pada Januari lalu. Perkelahian di antara para anggota parlemen bahkan terjadi pada Jumat (17/05) terkait bahasan reformasi parlemen yang didorong oleh oposisi.

Cina jatuhkan sanksi pada perusahaan pertahanan AS

Sementara itu, Cina menjatuhkan sanksi pada tiga perusahaan pertahanan AS karena dugaan penjualan senjata ke Taiwan, lapor kantor berita pemerintah Xinhua, Senin (20/05).  

Perusahaan-perusahaan tersebut, adalah General Atomics Aeronautical Systems, General Dynamics Land Systems, dan Boeing Defense, Space & Security. Ketiga perusahaan itu kini dilarang melakukan bisnis "impor dan ekspor” di Cina. 

 

kp/as (AFP, Reuter, dpa, AP)