1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Presiden Baru Korea Selatan

Esther Felden20 Desember 2012

Park Geun-Hye adalah presiden perempuan pertama Korea Selatan. Kandidat kubu konservatif dari partai yang berkuasa, Saenuri itu berhasil mengalahkan penantangnya dari kubu liberal, Moon Jae-In.

https://p.dw.com/p/1763O
South Korea's presidential candidate Park Geun-Hye of the ruling New Frontier Party (NFP) speaks after casting her ballot at a polling station in Seoul in the presidential election on December 19, 2012. South Koreans went to the polls to choose a new president in a close and potentially historic election that could result in Asia's fourth-largest economy getting its first female leader. AFP PHOTO / KIM JAE-HWAN (Photo credit should read KIM JAE-HWAN/AFP/Getty Images)
Südkorea Park Geun-Hye SeoulFoto: KIM JAE-HWAN/AFP/Getty Images

Tahun 2007 Park juga telah berupaya untuk meraih kursi kepresidenan, namun gagal mengantongi pencalonan kandidat partai Saenuri yang dimenangkan oleh presiden Korsel saat ini, Lee Myung-Bak. Lee yang tidak dapat dipilih kembali, akan menyerahkan kursi kepresidenan selama lima tahun pada akhir Februari 2013.

Dengan kemenangan itu, Park menjadi presiden perempuan pertama dari negara dengan perekonomian keempat terbesar di Asia. Namun dalam kampanye pemilunya orang masih belum dapat melihat dengan jelas target poliknya. "Tujuan politiknya tidak jelas", ujar Lee Eun-Jeung, profesor pada Institut bagi Pengkajian Korea di Freie Universität Berlin.

Korea Selatan dan tantangan lainnya

Hanya mengenai satu tema yang tak dapat dielakkan, yaitu yang terkait Korea Utara, presiden baru Korsel menyatakan bahwa ia hendak menghidupkan kembali hubungan dengan Korut. Namun belum juga diketahui, berapa besar ruang geraknya terkait isu ini dalam partai konservatif. "Saya khawatir, lingkungannya tidak akan menerima jika ia menjalankan kebijakan politik yang sangat berbeda dari pemerintahan sekarang", kata Lee Eun-Jeung.

South Korea's president-elect Park Geun-Hye (C) from the ruling New Frontier Party, speaks during a ceremony to disband her election camp at the party headquarters in Seoul December 20, 2012. The daughter of a former military ruler won South Korea's presidential election on Wednesday and will become the country's first female leader, saying she would work to heal a divided society. REUTERS/Jung Yeon-Je/Pool (SOUTH KOREA - Tags: POLITICS ELECTIONS)
Presiden baru Korsel, Park Geun-hyeFoto: Reuters

Selanjutnya Lee menambahkan, banyak tugas dalam negeri yang harus dihadapi oleh presiden baru ini. Pasalnya presiden saat ini, Lee Myung-Bak memang meninggalkan sebuah negara yang berhasil dengan baik melewati krisis ekonomi, tetapi ia juga mewariskan sebuah negeri dengan jurang pemisah yang semakin besar antara yang kaya dan yang miskin, sementara golongan menengah menciut menjadi sangat kecil. "Dipandang secara menyeluruh, sebagian masyarakat sejahtera, dan sebagian besar tidak."

Putri mantan penguasa

Sama sekali belum jelas apakah putri mantan penguasa militer Park Chung-Hee itu akan berhasil menutup jurang antara warga kaya dan miskin. Tahun 1961 ayahnya meraih kekuasaan melalui kudeta dan memerintah selama hampir 20 tahun dengan tangan besi. Setelah isterinya terbunuh dalam sebuah serangan, putrinya Park Geun-Hye mengambil alih tugas sebagai "first lady". Kemudian setelah ayahnya ditembak mati oleh kepala intelijennya tahun 1979, Park Geun-Hye duduk diparlemen bagi partai konservatif Saenuri selama lebih dari 15 tahun.

Supporters of the ruling Saenuri Party cheer as Park Geun-hye, head of the party's interim governing body, speaks during a street campaign for the April 11 parliamentary election in Seoul, South Korea, Tuesday, April 10, 2012. (Foto:Ahn Young-joon/AP/dapd)
Pendukung Park Geun-Hye saat mendengarkan pidato kampanye di SeoulFoto: dapd

Presiden baru Korsel ini masih belum menikah dan tidak mempunyai anak. Ia mengaku, sepanjang hidupnya ia berbakti kepada negerinya. Panutan politiknya adalah Kanselir Jerman, Angela Merkel dan bekas perdana menteri Inggris, Margaret Thatcher, tukasnya.