1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

091109 Jugend Multikulturelle Mädchengruppe

13 November 2009

Tema integrasi warga berlatar belakang migran terus menjadi topik bahasan sekaligus amat peka. Sejumlah anggota parlemen dan tokoh politik menuduh, banyak warga keturunan yang tidak mau atau tidak mampu beradaptasi.

https://p.dw.com/p/KWJE
Gambar simbol integrasiFoto: BilderBox

Menanggapi tuduhan miring itu, sekelompok remaja perempuan berlatar belakang migran di kota kecil Dormagen di negara bagian Nordrhein-Wetfalen berusaha menunjukkan, bahwa prasangka itu keliru. Sebanyak 15 remaja perempuan berusia antara 11 hingga 18 tahun yang orang tuanya berasal dari berbagai negara, membentuk perhimpunan multibudaya, untuk memajukan dialog dan mendekatkan budaya-budaya asing yang datang ke Jerman.

Motto perkumpulan remaja perempuan multi budaya di Dormagen itu adalah, internasional, kebersamaan, gembira dan berwarna-warni. Tidak mengherankan bila motto itu yang dipilih. Karena orang tua para remaja putri itu datang dari berbagai negara, ada yang datang dari Afrika Selatan, Sri Lanka, Yordania, Turki dan negara-negara lainnya. Kelompok multi budaya itu dibentuk tujuh tahun lalu atas prakarsa Gisela Dornbusch yang saat ini berusia 65 tahun.

Selain membimbing kelompok remaja perempuan multi budaya itu, Dornbusch juga melaksanakan berbagai proyek amal lainnya. Dengan latar belakang pengalamannya yang cukup panjang melakukan tugas pendampingan kelompok pendatang dan pekerja migran, Dornbusch tahu persis bahwa dalam tema integrasi, terdapat banyak hal yang harus dilakukan. Khususnya berkaitan dengan remaja perempuan dari keluarga migran.

“Karena saya menyimpulkan, remaja perempuan ini harus keluar dari lingkungannya. Dulu situasinya lebih ketat. Mereka dididik secara berbeda. Saya pikir, lewat kelompok ini dapat dilakukan perubahan. Dan yang membuat saya senang adalah, para orang tua juga mengizinkan remaja perempuan ini keluar,“ papar Dornbusch.

Kelompok multi budaya itu bertemu setiap Kamis petang di tempat pertemuan remaja Sankt Katharina di Dormagen. Para remaja perempuan berusia antara 11 hingga 18 tahun itu melakukan pertemuan untuk membicarakan berbagai tema penting, di luar lingkungan keluarganya. Tempat pertemuannya hanyalah ruangan kecil di sebuah sekolah. Gisela Dornbusch membantu mereka jika mengalami kesulitan dalam membuat pekerjaan rumah.

Sesuai dengan namanya kelompok multi budaya, kelompok remaja perempuan itu juga tidak tertutup bagi remaja perempuan warga Jerman jika ingin bergabung. Satu-satunya remaja perempuan warga Jerman dalam kelompok itu, Sophia yang berusia 12 tahun mengungkapkan alasannya mengapa ia bergabung, “Saya memang tertarik untuk mengenal remaja perempuan dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan cara hidup yang berbeda pula. Banyak teman sekelas di sekolah datang dari negara lain, warga Rusia bahkan ada dimana-mana. Ketika saya mendengar dari ibu Dornbusch ada kelompok multi budaya, saya pikir bisa bergabung di sini. Banyak teman sekelas yang saya tanya, mau ikut bergabung? Jawabannya tidak, karena mereka kurang berminat. Tapi hal itu tidak mempengaruhi saya.“

Sophia sudah bergabung selama enam bulan dengan kelompok multi budaya ini. Di sana, mereka bukan hanya dapat bertukar pikiran, melainkan juga melakukan kegiatan lainnya. Misalnya mengikuti pelatihan tari perut.Selain membimbing kelompok tari perut di kelompok multi budaya, Dornbusch juga mengelola apa yang disebut “Tamil Little Stars“ alias bintang-bintang kecil Tamil yang menampilkan tarian gaya Tamil yang biasanya ditayangkan dalam acara keagamaan di kuil-kuil.

Orang tua para penari “Tamil Little Stars“ semuanya berasal dari Sri Lanka. Namun anak-anaknya semuanya dilahirkan di Jerman. Dengan memelihara tradisi tarian yang biasanya dilakukan di kuil-kuil itu, keluarga yang berasal dari Sri Lanka itu berusaha mengenang tanah airnya nun jauh di Asia Selatan.

Kelompok “Tamil Little Stars“ itu didirikan enam tahun lalu, dan sudah sering tampil di berbagai acara. Bagi Gisela Dornbusch hal itu amat membanggakan, dan memberinya dorongan semangat untuk terus melanjutkan kiprahnya. Selain membimbing para remaja perempuan berlatar belakang migran, untuk berintegrasi sekaligus menampilkan dialog multibudaya, Dornbusch juga membimbing sebuah kelompok perempuan asal Kenya, Afrika dan menjadi ibu angkat untuk beberapa anak dari keluarga migran. Ia juga aktiv mengorganisir berbagai festival bertaraf internasional atau menggelar acara kunjungan budaya ke berbagai kota. Saling pengertian antar bangsa bagi perempuan berusia 65 tahun itu bukan hanya sekedar slogan kosong.

“Semua itu merupakan manifestasi, karena saya juga tahun 1951 harus melarikan diri dari Jerman Timur. Saya mengalami sendiri, betapa sulitnya bagi seorang anak untuk datang ke sebuah negara yang asing. Bagi saya, ketika itu Jerman Barat adalah negara asing. Dari pandangan saya ketika itu, yakni sebagai orang asing, muncul gagasan, hal seperti itu tidak boleh terulang lagi,“ ungkap Dornbusch.

Dengan mendirikan kelompok-kelompok dialog multi budaya di kalangan remaja perempuan berlatar belakang migran, Gisela Dornbusch memberikan kotribusinya bagi integrasi warga asing di Jerman.

Leila Winther/Agus Setiawan

Editor: Yuniman Farid