1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Potret: Richard Holbrooke

23 Januari 2009

Richard Holbrooke menyandang julukan petugas pemadam kebakaran. Kini ia mengisi jabatan Utusan Khusus untuk Afghanistan dan Pakistan. Dua negara yang menjadi bagian kawasan yang ia sebut "Busur Krisis"

https://p.dw.com/p/Gf6T
Richard Holbrooke, 2008Foto: picture-alliance/ dpa

Richard Holbrooke bukan orang baru di panggung diplomatik. Ia menyandang julukan petugas pemadam kebakaran, dan dikenal keras hati. Di tingkat internasional, namanya melejit tahun 1995 ketika berhasil mendorong pihak-pihak yang bertikai dalam perang Bosnia untuk menandatangani kesepakatan perdamaian. Kini Presiden Amerika Serikat Barack Obama menunjuknya sebagai Utusan Khusus untuk Afghanistan dan Pakistan. Dua negara yang merupakan bagian dari kawasan yang oleh Holbrooke disebut Arc of Crisis atau kawasan “busur krisis”.

Karir diplomatiknya berawal di Vietnam pada tahun 60an, ketika Richard Holbrooke masih berusia 21 tahun. Lalu pada tahun 70an, ia mulai berkiprah di bidang jurnalisme. Holbrooke bergabung kembali dengan Kementrian Luar Negeri, ketika mantan Presiden Jimmy Carter memimpin Amerika Serikat di tahun 1977.

Pada usia 35 tahunan ini, ia diberi kepercayaan menangani urusan Asia Timur dan Pasifik, sebagai wakil Menteri Luar Negeri. Pada masa itu Holbrooke menilai tinggi hubungan kerjasama Amerika Serikat dengan Indonesia. Ia menilai Indonesia sebagai mitra yang moderat, dengan lokasi strategis antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, dan perlu didukung juga ketika itu dalam kasus Timor Leste.

Namun setelah masa jabatan tersebut, nama Holbrooke mendadak muncul di kalangan perbankan. Di masa itu Richard Holbrooke antara lain mengisi jajaran pimpinan di bank Lehmann Brothers yang kebangkrutannya terakhir ini mengisyaratkan awal krisis ekonomi global.

Tahun 90-an ketika kepresidenen Amerika Serikat kembali dipegang oleh kubu Demokrat, Holbrooke juga kembali masuk ke lingkungan politik. Usai jabatannya sebagai Duta Besar di Jerman, ia mengambil alih Departemen Eropa di Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.

Pada saat inilah Holbrooke menghadapi tantangan besar untuk mengatasi konflik di kawasan yang waktu itu masih merupakan Yugoslavia. Tahun 1995, dalam upaya menengahi posisi para Presiden Serbia, Kroasia dan Bosnia-Herzegovina, Holbrooke berhasil mendorong ditandatanginya kesepakatan Daytona. Sebuah kesepakatan perdamaian yang diakui oleh Holbrooke sebagai kompromi buruk, tapi tetap berhasil mengakhiri pertempuran. Namun sesudah itu, Holbrooke gagal menghindari terpicunya kembali kekerasan di Kosovo. Perundingan Rambouillet berlangsung tanpa hasil, dan perangpun meledak.

Peristiwa ini bagaikan dorongan baginya untuk menuntut agar pihak-pihak bertikai yang bertanggung jawab digiring ke pengadilan. Berulang kali ia menyesalkan kurangnya upaya untuk menangkap Radovan Karadzic dan Ratko Mladic, “Saya pikir, ini merupakan suatu kegagalan, bahwa selama bertahun-tahun kita tak berhasil menangkap mereka. Hal ini menyebabkan kita tak bisa mengurangi pasukan. Bahwasanya NATO tak melakukan pencarian terhadap Karadzic dan Mladic, terletak dalam satu kata: Mogadischu.”

Di Mogadischu, Somalia, sebuah misi Perserikatan Bangsa-Bangsa terpaksa dibatalkan mendadak setelah televisi menyiarkan gambar mayat tentara Amerika Serikat diseret sepanjang jalan.

Dalam masa pemerintahan Clinton yang kedua, Holbrooke menjabat sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB dan berusaha menengahi konflik Eritrea dan Ethiopia, tanpa hasil. Kemudian di masa pemerintahan George W Bush, Holbrooke pindah dan bergabung dengan sebuah thinktank independen.

Richard Holbrooke juga menjabat sebagai Presiden Global Business Coalition untuk HIV/AIDS, Tuberkulose dan Malaria yang mengritik keras posisi Menteri Kesehatan Indonesia Siti Fadilah Supari mengenai hak negara untuk mengontrol semua informasi atas virus-virus lokal. (ek)