PGI Minta Pasal Pendirian Tempat Ibadah Direvisi
14 Desember 2010Hari Minggu (12/12), sekelompok orang men-sweeping tujuh rumah yang dipakai sebagai tempat ibadah jamaat Huria Kristen Batak Protestan, HKBP, di Rancaekek, Jawa Barat. Rumah itu, selama ini terpaksa dipakai beribadah karena sudah 10 tahun jamaat HKBP tidak memperoleh ijin mendirikan tempat ibadah di sana.
Persekutuan Gereja Indonesia atau PGI menyebut, peristiwa Rancaekek dipicu oleh sikap masyarakat yang makin tak toleran di satu sisi, dan ada juga ada motif pemerasan di sisi lain.
"Pelaku di banyak tempat berhubungan satu sama lain. Misalnya apa yang terjadi di Rancaekek, kelompok yang mendemo adalah kelompok yang juga minta biaya pengamanan gereja di Soreang, Jawa Barat. Ada orang yang minta uang pengamanan. Setelah dikasih uang pengamanan, demonstrasi itu tak jadi. Nah sekarang orang yang sama memimpin gerakan untuk minta menutup gereja di Rancaekek. Karena HKBP Rancaekek tidak mau memberikan dana pengamanan, maka terjadilah. Ini memang akumulasi intoleransi di satu sini dan kebangkitan agama yang makin intoleran di beberapa wilayah republik ini," dikatakan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia PGI Gomar Gultom.
PGI menilai Surat Keputusan Bersama SKB Dua Menteri tentang pendirian tempat ibadah harus ditinjau ulang, karena pada prakteknya, justru membuat pendirian rumah ibadah menjadi sangat sulit.
Sementara itu, cendikiawan Muslim Luthfi Assyaukanie menilai, akar masalah pendirian rumah ibadah di Indonesia bukan bersumber dari aturan atau SKB dua menteri mengenai tempat ibadah. Luthfi berpendapat, aturan sebaik apapun tak akan berjalan baik, selama sikap tak toleran masih dominan dalam masyarakat.
Selain itu, Luthfie mengkritik sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang cenderung lemah dalam menghadapi kasus-kasus intoleransi di tanah air. Peristiwa intoleransi, kata Luthfi, tidak akan terjadi kalau pemerintah bersikap tegas terhadap kelompok-kelompok anarkis yang sering melakukan tindakan intoleran.
Zaki Amrullah
Editor: Andy Budiman