1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMyanmar

Perusahaan Migas Australia Hentikan Operasional di Myanmar

27 Januari 2022

Perusahaan minyak dan gas Australia, Woodside, mengumumkan penarikannya dari Myanmar pada Kamis (27/01), menyusul perusahaan migas dunia lainnya yang keluar setelah kudeta militer tahun lalu.

https://p.dw.com/p/469kR
Polisi mengamankan seorang wanita di Yangoon
Di tengah tekanan internasional pada junta, Woodside mengikuti langkah perusahaan besar dunia lainnya seperti TotalEnergies dan Chevron yang mengumumkan keputusan keluar dari Myanmar pada pekan laluFoto: Ye Aung Thu/AFP/Getty Images

"Woodside telah memutuskan untuk menarik diri dari kepentingannya di Myanmar," kata perusahaan Australia itu dalam sebuah pernyataan kepada pemegang saham setelah sembilan tahun beroperasi di negara yang dikuasai junta militer.

Operator produksi minyak dan gas yang berbasis di Perth itu mengutip "situasi hak asasi manusia yang memburuk" sebagai bagian dari alasan penarikan diri, yang akan merugikan perusahaan setidaknya US$200 juta (Rp2,8 triliun).

Woodside mengoperasikan beberapa lokasi eksplorasi dan pengeboran di Myanmar, di mana junta militer menggulingkan pemerintah Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, sehingga membuat negara Asia Tenggara itu kacau balau.

"Mengingat situasi yang sedang berlangsung di Myanmar, kami tidak dapat lagi memikirkan partisipasi Woodside dalam pengembangan sumber daya gas A-6 atau kegiatan masa depan lainnya di dalam negeri," kata Kepala Eksekutif Meg O'Neill.

A-6 adalah proyek gas laut dalam di lepas pantai barat Myanmar dalam kemitraan dengan perusahaanTotal.

Sebelumnya, pemerintah Amerika Serikat pada pekan ini memperingatkan perusahaan-perusahaan di seluruh dunia bahwa berbisnis dengan Yangon "beresiko terlibat dalam perilaku yang dapat membuat mereka terkena risiko reputasi, keuangan, dan hukum yang signifikan."

Investor dan pedagang diperingatkan secara khusus untuk menghindari perusahaan milik negara, sektor permata dan logam mulia, proyek real estat dan konstruksi, dan bisnis senjata.

Industri gas Myanmar diperkirakan bernilai sekitar US$1 miliar (Rp14,3 triliun) per tahun. Kepergian perusahaan-perusahaan Barat setidaknya akan membuat junta kehilangan pendapatan asing ratusan juta dolar per tahun pada saat ekonomi berada di bawah tekanan berat.

Elaine Pearson, Direktur Human Rights Watch di Australia, mengatakan, kepergian Woodside "menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk sanksi terkoordinasi dan terarah" yang ditujukan untuk pendapatan gas alam rezim.

Perusahaan eksplorasi minyak dan gas milik Thailand bersama POSCO Korea Selatan, tampaknya akan mengambil alih ladang gas terbesar di Myanmar. Para analis memperkirakan PTT Exploration and Production Pcl (PTTEP) bakal menadah aset yang ditinggalkan oleh TotalEnergies dan Chevron.

Banyak perusahaan menghentikan operasional

Investor mulai masuk ke Myanmar setelah militer melonggarkan cengkeramannya pada 2011, membuka jalan bagi reformasi demokrasi dan liberalisasi ekonomi di negara berpenduduk lebih dari 50 juta orang itu.

Mereka menggelontorkan uang ke proyek-proyek telekomunikasi, infrastruktur, manufaktur dan konstruksi.

Namun, kondisinya kini berubah. Tahun lalu, Telenor Norwegia mengumumkan akan menjual anak perusahaannya di Myanmar, yang memiliki salah satu jaringan telepon seluler terbesar di negara itu, meskipun kesepakatan itu belum diselesaikan.

British American Tobacco, yang mempekerjakan lebih dari 100.000 orang di Myanmar sebelum kudeta, berhenti beroperasi pada Oktober 2021. Perusahaan energi terbarukan Prancis Voltalia juga telah pergi.

Produsen mobil Jepang, Toyota, yang akan meluncurkan manufaktur di pabrik Myanmar tahun 2021, pada akhirnya menunda proyek tersebut.

Pabrik-pabrik Myanmar menjadi pemasok banyak merek pakaian populer dalam dekade terakhir, tetapi kelompok-kelompok seperti Benetton Italia berhenti memberikan pesanan baru setelah kudeta.

ha/yf (AFP)