1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perundingan Tribunal Khmer Merah Kembali Dimulai

Edith Koesoemawiria10 Maret 2007

Rezim Khmer Merah yang memerintah dari 1975 hingga 1979 di Kamboja bertanggung jawab atas kematian 2 juta orang. Perundingan kali ini menentukan pelaksanaan pengadilannya.

https://p.dw.com/p/CP8C
Sisa kekejaman Khmer Merah
Sisa kekejaman Khmer MerahFoto: AP

Perbedaan posisi antara pihak Kamboja dan internasional merupakan salah satu hambatan utama pelaksanaan pengadilan campuran Khmer Merah. Menurut juru bicara tribunal, perselisihan kedua pihak itu begitu luas, mulai dari tinggi kursi sampai keabsahan barang bukti.

Meski sering digambarkan secara enteng, kesepakatan antara kedua pihak yang terlibat mengenai peraturan prosedur itu krusial bagi pelaksanaan pengadilan tribunal. Selain itu, tingkat sensitifitas pihak yang terlibat sangat tinggi. Apalagi karena tribunal juga dipertanyakan di dalam negeri.

In Chhay yang mengalami masa pemerintahan Khmer Merah, menilai bahwa pelaksanaan tribunal tidak akan mengubah budaya impunitas atau pengampunan yang berlangsung selama ini. Ia mengatakan, "Apa gunanya melakukan tribunal ini, itu hanya buang-buang uang. Apalagi nanti pasti ada kasus-kasus lain yang bermunculan. Bisa saja terjadi kasus korupsi.”

Sesi perundingan dimulai Rabu (07/03) lalu ketika isu sensitif korupsi merebak. Diduga ada tuduhan bahwa hakim Kamboja juga terlibat. Dalam sebuah surat terbuka, Hakim Kong Srim yang menjabat Presiden Tribunal Khmer Merah, ECCC, menyangkal terlibat tindak korupsi dan menuntut permintaan maaf organisasi internasional yang memulai isu ini. Surat yang dilayangkan menandaskan, semua hakim Kamboja di ECCC memutuskan untuk mendukung pengadilan campuran ini secara independen, tanpa adanya tekanan maupun janji-janji khusus. Hal ini ditegaskan lagi dengan pernyataan bahwa dalam mencapai keadilan bagi korban Rezim Khmer Merah membutuhkan tanggung jawab dan profesionalitas para hakim itu.

Bagaimana awal ceritanya?

Rabu (07/03) lalu, media lokal Kamboja menerbitkan surat terbuka dari direktur organisasi Open Society, James Goldston, yang mengimbau administrator tribunal melakukan investigasi transparan agar kredibilitas tribunal itu dapat dipertanggungjawabkan di dalam maupun di luar negeri.

Menurut Goldston, organisasinya tidak memiliki bukti konkrit korupsi. Namun ia menilai, lembaga tribunal seharusnya siap setiap saat untuk membuktikan bahwa praktek korupsi tidak terjadi di lembaga itu. Khususnya karena baik publik maupun donatur berhak mengetahui bagaimana pengelolaan dana sekitar 60 juta Dolar yang dialokasikan untuk mengadili para mantan pemimpin Khmer Merah.

Sampai kini, pihak Open Society belum minta maaf. Sementara administrator tribunal memutuskan hubungannya dengan organisasi itu.

Sejumlah pejabat pemerintah menduga, tuduhan korupsi itu berkaitan dengan pemilihan lokal di Kamboja yang akan berlangsung April mendatang. Ada juga isu bahwa Cina sudah melobi pemerintah Hun Sen agar menghambat pengadilan itu, supaya keterlibatan Cina dalam pelanggaran Hak Azasi Manusia Khmer Merah tidak terbongkar. Yang pasti, harapan bahwa tribunal tetap terlaksana juga cukup besar dan menurut pejabat tribunal Khmer Merah, Reach Sambath, pokok peraturan yang krusial sudah disepakati.