1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perundingan Nuklir Baru dengan Iran Makin Sulit Dilaksanakan

28 Desember 2022

Gelombang protes dan langkah kejam pemerintah Iran terhadap demonstran membuat diplomasi soal nuklir dengan negara Itu semakin sulit. Penghapusan sanksi tampaknya tidak bisa dilakukan sekarang.

https://p.dw.com/p/4LSdI
Gambar ilustrasi nuklir
Gambar ilustrasi nuklirFoto: Bildagentur-online/Ohde/picture alliance

Juru bicara bidang keamanan AS, John Kirby beberapa hari sebelum Natal menyatakan, pelaksanaan kembali kesepakatan nuklir internasional dengan Iran saat ini tidak diprioritaskan. "Kami tidak memperhitungkan akan ada kemajuan dalam waktu dekat", kata Kirby. "Kami tidak bisa melihat kemungkinan mengadakan kesepakatan baru bersama Iran, selama pemerintahnya membunuh rakyatnya sendiri, dan memasok Rusia dengan drone."

Dengan pernyataan itu, harapan Iran atas pelonggaran sanksi juga sirna. Politik AS terhadap Iran itu juga didukung oleh Jerman. Ketua Partai Sosial Demokrat (SPD) Saskia Esken sudah menyatakan Oktober lalu, perundingan dengan Iran bagi kesepakatan nuklir sebaiknya dihentikan.

Sekretaris Jenderal Partai Liberal FDP Bijan Djir-Sarai juga memberikan pernyataan serupa, walaupun tidak langsung. "Hanya membicarakan perundingan nuklir, sementarapelanggaran HAM di Iran diabaikan sepenuhnya, bagi saya itu langkah yang salah, ujar politisi Jerman kelahiran Teheran itu."

Kekhawatiran akan bom nuklir Iran

Namun demikian Kanselir Jerman Olaf Scholz dan kabinetnya belum sepenuhnya ingin secara final putus perundingan nuklir dengan Iran Kekhawatiran bahwa Iran bisa melengkapi diri dengan senjata nuklir masih mewarnai berbagai pertimbangan, demikian halnya dengan sokongan bagi gerakan protes yang dikekang habis-habisan di negara itu. Kekhawatiran bahwa Iran akan punya senjata nuklir juga dirasakan negara-negara Uni Eropa lainnya.

Perwakilan Tinggu UE Josep Borrell (kiri) dan Menlu Iran Hossein Amir- Abdollahian (kanan) saat berunding di Yordan
Perwakilan Tinggu UE Josep Borrell (kiri) dan Menlu Iran Hossein Amir- Abdollahian (kanan) saat berunding di YordanFoto: Iranian Foreign Ministry/AFP

Oleh sebab itu, perwakilan tinggi Uni Eropa untuk urusan luar negeri dan keamanan, Josep Borrell bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian sebelum Natal, untuk merundingkan masa depan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir, yang porak-poranda sejak Donald Trump memutuskan sepihak untuk keluar dari kesepakatan tahun 2018. Abdollahian mengatakan, perundingan dengan Borrell "positif dan berorientasi ke masa depan". Abdollahian juga memberikan isyarat bahwa sebagian orang dalam pemerintahan Iran menginginkan adanya kesepakatan.

Pembicaraan itu berlangsung di bawah bayangan tekanan dari Teheran. November lalu, pemerintah Iran mengumumkan akan kembali memperkaya uranium sampai derajat kemurnian 60%. Untuk membuat bom atom, yang diperlukan kemurnian 80%. Dengan langkah itu, pemerintah Iran melanggar kesepakatan yang dicapai 2015. Tetapi langkah seperti itu sudah sering kali diambil Iran sejak 2019.

Barat tidak punya rencana lain

"Waktu pelanggaran yang dilakukan Iran baru-baru ini, kemungkinan tidak dipilih secara serampangan", kata pakar politik Ali Fathollah-Nejad dalam wawancara dengan DW. Pemerintah di Teheran mengambil kesempatan, mengingat Barat sekarang sedang merasakan ketidakpastian dalam hal masa depan perundingan nuklir. Salah satu kekhawatiran utama adalah: jika Iran terus melaksanakan program nuklirnya,negara-negara lain di kawasan itu juga akan mempertimbangkan langkah untuk mengantisipasi.

Arab Saudi sudah memberikan pernyataan yang berkaitan dengan tema senjata nuklir tahun 2020 lalu. "Jelas itu jadi opsi", kata Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubair, kepada kantor berita DPA. "Perlombaan persenjataan sekarang juga sudah berlangsung", kata Fathollah-Nejad.

Instalasi untuk memperkaya uranium di Natans, Iran
Instalasi untuk memperkaya uranium di Natans, IranFoto: Alfred Yaghobzadeh/SalamPix/abaca/picture alliance

Ia mengatakan, sejauh ini Teheran secara sengaja melaksanakan politik eskalasi nuklir. "Bukan karena Iran memang berniat membuat bom nuklir, melainkan karena mereka sadar, bahwa Barat tidak punya rencana lain sama sekali." Kelemahan ini disalahgunakan oleh Iran secara konsekuen. "Lewat strategi ini Teheran berharap, akan bisa mendapat sebanyak mungkin konsesi selama perundingan dengan Barat", tambah pakar politik itu.

"Tetapi penghapusan sanksi dan pendapatan baru yang akan mengalir, terutama hanya menguntungkkan rezim", kata Fathollah-Nejad. Itu juga disadari para demonstran, yang mendesak agar perundingan nuklir dihentikan. "Sebagian besar rakyat Iran berharap, dunia internasional akan menyatakan rezim tidak sah dan mengisolasi Iran. Selama ini, itu tampak lewat sanksi-sanksi yang ditetapkan. Karena mereka khawatira, uang yang mengalir masuk akan digunakan rezim untuk melindungi diri sendiri, terutama karena ancaman revolusi."

Direktur IAEA, Rafael Grossi
Direktur IAEA, Rafael GrossiFoto: Lisa Leutner/AP Photo/picture alliance

Harapan rakyat akan berontak

Jika persetujuan tidak tercapai dalam perundingan nuklir, rezim kemungkinan akan meneruskan program nuklirnya. Begitu dikatakan pakar politik Azadeh Zamirirad dari Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Politik (SWP) dalam artikelnya yang dipublikasikan harian Jerman Süddeutsche Zeitung. Jika itu terjadi, Iran akan berada di ambang negara pemilik senjata nuklir.

"Dengan demikian, kemungkinan serangan militer atas instalasi nuklir Iran juga akan meningkat, misalnya oleh Israel. Akibatnya risiko serangan balasan dari Iran juga akan dilakukan, demikian pula eskalasi di kawasan itu akan meningkat." Azadeh Zamirirad mengatakan, Jerman tidak perlu merasa khawatir akibat hal itu, tetapi harus memperkirakan dampaknya. "Serangan militer tidak akan menghentikan program nuklir Iran, maksimal hanya akan menunda."

Negara-negara Barat dikonfrontasikan dengan rezim yang memimpin pemerintahan di Teheran, yang mengejar kepentingan mereka tanpa peduli apapun. Menghentikan sanksi terhadap Iran akan jadi pukulan bagai gerakan protes yang sedang berlangsung. "Jika langkah itu diambil, berarti mengambil langkah politik yang salah besar", kata Omid Nouripour, salah seorang dari dua pemimpin nasional Partai Hijau. "Karena satu-satunya kesempatan untuk mencegah Iran menjadi negara adidaya nuklir,  berada di tangan para demonstran di jalanan kota-kota Iran", pungkas politisi Partai Hijau Jerman yang juga kelahiran Teheran itu. (ml/as)