1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Taiwan: Pertaruhan Besar dalam Konflik AS dan Cina

Richard Walker
31 Desember 2022

Cina bersikeras memaksakan “reunifikasi” dengan Taiwan. Sebaliknya Taipei dan Amerika Serikat semakin giat mempersiapkan perang. Ketegangan antara ketiga pihak berpotensi mencapai klimaks di tahun 2023.

https://p.dw.com/p/4LZuS
Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen,
Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, bersama petinggi angkatan lautFoto: Taiwan Presidential Office/AP/picture alliance

Menjelang akhir tahun, nada bicara Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, semakin gamblang. "Kita hanya bisa mencegah perang dengan mempersiapkan diri terhadap perang,” kata dia dalam sebuah pidato penutup tahun 2022.

"Tidak seorangpun menginginkan perang,” imbuhnya. "Tapi perdamaian tidak datang dari langit.”

Genderang perang saat ini sedang lantang dibunyikan oleh Beijing. "Kami di Cina meyakini bahwa Taiwan adalah bagian dari Cina dan kita harus menyatukan kembali Taiwan,” kata Zhou Bo, bekas perwira tinggi militer Cina yang kini mengajar di Universitas Tsinghua, Beijing.

"Pertanyaannya adalah dengan cara apa? Apakah melalui cara damai atau dengan menggunakan kekerasan,” imbuhnya.

Reunifikasi damai adalah narasi yang giat didengungkan Presiden Xi Jinping. Dalam Kongres Partai Komunis, Oktober silam, dia berjanji "akan mengupayakan reunifikasi damai melalui kejujuran dan upaya terbesar.”

Ilusi penyatuan damai

Perkaranya, cuma 6,4 persen penduduk Taiwan yang menginginkan reunfikasi dengan Cina, menurut survei teranyar Universitas Nasional Chengchi. Jadi jika Beijing bersikeras memaksakan penyatuan kembali, perang adalah satu-satunya opsi.

Dalam skenario ini, warga Taiwan mencari tauladan dari perang Ukraina melawan invasi Rusia. "Bagi masyarakat Taiwan, perjuangan warga Ukraina adalah inspirasi,” kata Joseph Wu, Menteri Luar Negeri Taiwan belum lama ini. 

"Kami ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kami memiliki level keberanian yang sama untuk membela tanah air sendiri.”

Pernyataannya itu sekaligus membiaskan pesan lain, bahwa serupa Ukraina, Taiwan hanya berpeluang melawan Cina jika mendapat dukungan militer, terutama dari Amerika Serikat.

AS melawan Cina

Washington tidak bergeming. Presiden Joe Biden menutup tahun 2022 dengan mengucurkan bantuan militer senilai USD 10 miliar kepada Taiwan. 

Belakangan Biden kian terang-terangan mengaku siap menanggalkan doktrin ‘ambiguitas strategis' jika Cina menginvasi Taiwan.

Namun berbeda dengan di masa lalu, sikap AS kini dilandasi konsensus umum di panggung politik yang tergolong langka. "Ada konsensus lintas partai yang kuat dalam melihat Cina sebagai ancaman nyata, secara ekonomi, teknologi, diplomasi dan militer,”kata Michele Flournoy, Direktur CNAS, sebuah wadah pemikir di Washington.

Taiwan Latihan Perang Jawab Ancaman Cina

Taiwan ‘terjebak' di antara dua raksasa

Bagi Shelley Rigger, Guru Besar Studi Asia Timur di Davidson College, AS, demonstrasi politik di Washington justru semain membuat perang sulit dihindari.

"Banyak peristiwa yang kita lihat, termasuk kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan, malah memperkuat eskalasi bahaya terhadap Taiwan tanpa menghasilkan keuntungan apapun bagi Taiwan,” kata dia.

"Ketika AS dan Cina saling ancam, Taiwan terjebak di tengah,” imbuhnya.

November silam, Presiden Biden dan Xi Jinping melakukan pertemuan pertama di sela-sela KTT G20 di Bali, Indonesia. Perjumpaan itu diharapkan bisa memulihkan stabilitas keamanan di kawasan.

"Saya tidak sedang mencari konflik. Saya hanya ingin mengelola persaingan ini secara bertanggungjawab,” kata Biden kepada media saat itu. Sebagai bagian dari kesepakatan, Menlu AS Antony Blinken diundang berkunjung ke Cina awal 2023 nanti.

Memulihkan status quo

Bagi Flournoy, prioritas AS adalah "menggertak” Cina untuk tidak menyerang Taiwan. "Saya kira yang penting adalah bahwa Beijing memahami, jika mereka menginvasi dan menduduki Taiwan, mereka yang akan kalah.”

Menurut Kevin Rudd, bekas perdana menteri Australia, pertaruhan dalam konflik Taiwan bisa lebih besar ketimbang dalam perang melawan invasi Rusia di Ukraina.

"Risikonya adalah perang yang melibatkan tiga atau empat negara, termasuk tiga perekonomian terbesar di dunia, yakni AS, Cina dan Jepang. Yang kedua adalah korban jiwa sebanyak ratusan ribu warga sipil Taiwan. Ketiga adalah jumlah serdadu yang tewas dan terakhir, ambruknya perekonomian global.”

rzn/as