1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perjalanan Bush ke Timur Tengah – Banyak Keinginan, Minim Hasilnya

Peter Philipp17 Januari 2008

Perjalanan keliling Presiden Bush di Timur Tengah berakhir di Mesir. Ia hendak memacu proses perdamaian di sana dan banyak lagi lainnya. Tetapi karena pengarahannya tidak tepat, maka hasilnya pun sangat sedikit.

https://p.dw.com/p/Ct39
Bush akhiri lawatan selama delapan hari di Timur Tengah. Bersama Presiden Mesir Hosni Mubarak di Sharm el Syekh.Foto: picture-alliance/ dpa

Banyak yang diinginkan Presiden Amerika Serikat George W. Bush dalam perjalanannya selama delapan hari di Timur Tengah. Tetapi kalau ia jujur terhadap dirinya sendiri, maka harus diakuinya bahwa sasaran yang ingin dicapai itu memang terlalu tinggi. Bush hendak menggerakkan proses perdamaian antara Israel dan Palestina, ia hendak meluaskan dan memperkuat front menentang Iran, memacu demokrasi di kawasan itu dan juga berupaya menenangkan perkembangan harga minyak.

Dari semua itu nampaknya tidak ada yang berhasil dicapai. Dengan demikian, harapan terpendam yang ada, tetap tidak terpenuhi. Yaitu bahwa Bush dalam tahun terakhir masa jabatannya masih bisa memperoleh tempat terhormat dalam sejarah dengan hasil yang dicapai di Timur Tengah.

Tak pelak lagi tema utamanya adalah konflik Israel-Palestina. Selama tujuh tahun konflik itu berjalan tanpa peranan langsung Bush. Jadi tidaklah mengherankan kalau presiden yang akan berakhir masa jabatannya itu tidak mencapai hasil dalam hal-hal yang selama ini tidak ditanganinya.

Tetapi Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan Presiden Palestina Mahmud Abbas sama-sama punya kepentingan politik untuk menunjukkan kesuksesan, sehingga mau bekerjasama dan menyetujui pula dimulainya lagi perundingan serius walau pun melampaui masalah inti dalam konflik yang dihadapi.

Olmert telah kehilangan satu mitra koalisinya yang konservatif, tetapi sampai sekarang ia tidak menutup satu pun pemukiman ilegal Yahudi, tidak ada blokade jalan yang dicabut di Palestina, bahkan serangan terhadap Hamas di Jalur Gaza dan Tepi Barat Yordan justru ditingkatkan.

Padahal fleksibilitas Israel bukan hanya akan memudahkan Abbas, melainkan juga perundingan Bush di kawasan Teluk, Riyadh dan Mesir, yang bersedia mendukung perdamaian Israel-Palestina. Itu sudah lama didokumentasikan oleh Liga Arab, tetapi Israel diharapkan kesediaannya untuk benar-benar melepaskan wilayah-wilayah yang didudukinya, dan bukan hanya kata-kata manis dari Washington.

Selama itu tidak dilakukan, politik yang dijalankan Bush terhadap Iran tidak akan memperoleh dukungan. Apalagi setelah dinas rahasia AS sendiri menyangkal keyakinan Bush akan adanya 'bahaya atom dari Teheran'. Yang diinginkan adalah ketenangan, bukan mencari masalah dengan Iran, dan tidak ada yang mau ikut dalam petualangan yang hasil akhirnya tidak dapat diperhitungkan.

Terkait dengan demokratisasi, tentunya tidak ada negara-negara yang dikunjungi Bush itu bersikap terbuka terhadap gagasannya. Pertama karena mereka ingin mempertahankan kekuasaan, dan kedua karena upaya demokratisasi AS di Timur Tengah selama ini, juga tidak memperlihatkan hasil yang meyakinkan. Padahal tidak seperti biasanya, kali ini soal Irak tidak disinggung.