1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peringatan Hari Nakba dan 75 Tahun Konflik Israel-Palestina

Jennifer Holleis | Hendra Pasuhuk
16 Mei 2023

Pada 15 Mei, warga Palestina di seluruh dunia memperingati Nakba. 75 tahun lalu mereka kehilangan tanah air dan terpaksa mengungsi ke seluruh penjuru. Hingga kini, konflik Israel-Palestina belum menemukan solusi.

https://p.dw.com/p/4RMG1
Gambar dinding di kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat
Gambar dinding di kamp pengungsi Jenin di Tepi BaratFoto: RONALDO SCHEMIDT/AFP/Getty Images

Kata Arab "Nakba" berarti malapetaka atau bencana. Istilah Nakba atau al-Nakba ini mengacu pada nasib warga Palestina yang kehilangan tanah airnya selama konflik dan perang Arab-Israel tahun 1948. Konflik itu juga berkaitan dengan pendirian negara Israel, yang dideklarasikan sehari sebelumnya, pada 14 Mei 1948.

Diperkirakan ada sekitar 700.000 warga Palestina yang terpaksa melarikan diri atau diusir dari wilayah yang sekarang disebut Israel dan Wilayah Palestina. Kebanyakan pengungsi Palestina di berbagai negara tidak memiliki kewarganegaraan hingga hari ini.

Peringatan Nakba biasanya ditandai warga Palestina dengan aksi turun dan aksi protes atas situasi mereka. Banyak yang membawa bendera Palestina, membawa kunci bekas rumahnya, atau membawa spanduk berlambang kunci. Simbol kunci itu menggambarkan harapan mereka untuk bisa kembali ke kampung halamannya. Di wilayah Israel dan Palestina, peringatan Nakba sering berubah menjadi bentrokan kekerasan antara kelompok Palestina dan aparat Israel.

Peringatan Nakba diciptakan tahun 1998 oleh pemimpin Palestina saat itu yang sangat populer, Yasser Arafat. Dia menetapkan tanggal tersebut sebagai hari peringatan hilangnya tanah air Palestina.

Yasser Arafat berpidato di PBB, 1986
Yasser Arafat, tokoh populer Palestina yang mendeklarasikan Hari Peringatan NakbaFoto: AP

Hingga Perang Dunia Pertama (PD I), Palestina berada di bawah kekuasaan Turki sebagai bagian dari Kesultanan Utsmaniyah. PD I mengubah situasi secara mendasar. Kesultanan Utsmaniyah ketika itu berperang di pihak Kekaisaran Jerman dan Austria-Hungaria, melawan Rusia, Prancis dan Inggris. Kekalahan Jerman dan Kesultanan Utsmaniyah membuat Palestina jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, yang disebut masa "Mandat Inggris”.

Sejak 1916, Inggris dan Prancis memang sudah membagi kawasan Timur Tengah menurut daerah kekuasaannya. Dalam perundingan San Remo tahun 1920, mandat atas Palestina diserahkan kepada Inggris. Sejak 1920 sampai 1930, makin banyak warga Yahudi yang berdatangan ke Palestina.

Pembantaian Yahudi oleh Nazi di Jerman

Kekuasaan Nazi di Jerman tahun 1930-an membuat makin banyak warga Yahudi di Eropa lari dari dan pergi ke Palestina. Kedatangan warga Yahudi menyulut konflik lokal dengan warga Palestina, sekalipun baik warga Yahudi maupun warga Palestina juga mengadakan perlawanan terhadap "kekuasaan kolonial” Inggris. Namun masing-masing kelompok punya tujuan berbeda: Pihak Palestina ingin mendirikan negara merdeka Palestina-Arab, sementara warga Yahudi bermaksud mendirikan negara sendiri.

Untuk meredam konflik, pemerintah Inggris sempat membatasi kedatangan warga Yahudi ke Palestina, sekalipun tahu bahwa warga Yahudi di Jerman sedang dikejar-kejar Nazi. Setelah Perang Dunia Kedua (PD II) berakhir dengan kekalahan Jerman, Inggris makin kewalahan mengelola Palestina dan pada 1947 akhirnya meminta bantuan PBB.

Komisi khusus PBB kemudian bersidang, dan pada November 1947 menetapkan rencana pembagian kawasan Palestina untuk pembentukan dua negara, yaitu negara Israel dan Palestina. Yerusalem ditetapkan menjadi kota khusus di bawah administrasi PBB. Dalam rancangan itu, mandat Inggris atas wilayah Palestina ditetapkan akan berakhir selambatnya pada 1 Agustus 1948. Tapi rencana itu ditolak oleh negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab.

Warga Palestina melarikan diri ke Lebanon setelah terjadi perang Arab-Israel, Mei 1948
Warga Palestina melarikan diri ke Lebanon setelah terjadi perang Arab-Israel, sehari setelah Israel menyatakan kemerdekaan pada 14 Mei 1948.Foto: Eldan David/Pressebüro der Regierung Israels/picture alliance /dpa

Awal perang Arab-Israel yang berujung pada konflik Israel-Palestina

Ternyata Inggris kemudian mengakhiri mandatnya atas Palestina pada 14 Mei 1948. Pada hari yang sama, David Ben Gurion, pendiri partai buruh sosialis Israel, mendeklarasikan pendirian negara Israel. Sebagai reaksi, koalisi lima negara Arab menyatakan perang dan langsung menyerang wilayah Israel. Pasukan Mesir, Trans-Yordania, Lebanon, Irak dan Suriah merangsek ke wilayah Israel. Itulah awal dari perang Arab-Israel, yang dimenangkan Israel pada Januari 1949. Pada akhir perang itu, Israel menguasai sekitar 40% wilayah yang awalnya dialokasikan menjadi wilayah negara Palestina dalam rencana PBB dari tahun 1947.

Sebagian besar warga Palestina berakhir sebagai pengungsi tanpa kewarganegaraan di negara-negara Arab, sebagian kecil juga pindah lebih jauh ke luar Timur Tengah, dan kini telah mengajukan atau telah menerima kewarganegaraan lain. Namun sebagian besar dari sekitar 6,2 juta warga Palestina di Timur Tengah hingga kini tetap tidak memiliki kewarganegaraan, dan hidup dengan status pengungsi hingga generasi ketiga atau keempat.

Menurut badan urusan pengungsi Palestina PBB, UNRWA, sebagian besar warga Palestina di Timur Tengah masih tinggal di kamp-kamp pengungsi, yang lama kelamaan berubah menjadi kota-kota pengungsi. Mereka terutama berada di Jalur Gaza, di Tepi Barat yang diduduki Israel, di Lebanon, Suriah, Yordania, dan Yerusalem Timur. Sedangkan Jumlah diaspora Palestina di negara-negara lain diperkirakan sudah meningkat menjadi sekitar 6 hingga 7 juta orang. Itu berarti, jumlah total warga Palestina saat ini mendekati 13 juta orang. Namun tidak ada badan global yang melacak keberadaan diaspora Palestina, dan data akurat tidak tersedia.

Kamp pengungsi Shatila di Beirut
Selama puluhan tahun, banyak kampm pengungsi Palestina yang berkembang menjadi kota-kota kecil. Foto dari kamp pengungsi Shatila di Beirut.Foto: ANWAR AMRO/AFP/Getty Images

Konflik Israel-Palestina masih belum ada solusi

Menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 194 tahun 1948, Resolusi PBB No. 3236 tahun 1974, dan Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, warga Palestina yang dianggap sebagai pengungsi memiliki "hak untuk kembali". Namun Israel hingga kini menolak "hak untuk kembali" bagi warga Palestina, karena khawatir hal itu akan "mengakhiri identitas Israel sebagai negara Yahudi”.

Israel juga menyangkal bertanggung jawab atas pemindahan warga Palestina, dan menyatakan bahwa antara tahun 1948 dan 1972 sekitar 800.000 warga Yahudi juga harus pindah atau diusir dari negara-negara Arab seperti Maroko, Irak, Mesir, Tunisia dan Yaman.

Selama puluhan tahun terakhir, ada berbagai pendekatan dan prakarsa untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Gagasan yang paling signifikan adalah apa yang disebut "solusi dua negara", dengan Israel dan Negara Palestina Merdeka dan pembagian kota Yerusalem menjadi dua ibu kota.

Gagasan lain adalah pengakuan status pengungsi oleh Israel, dan kompensasi kepada pengungsi tapi tanpa hak mereka untuk kembali, atau sistem dua paspor di satu negara. Namun solusi nyata masih belum terlihat hingga saat ini. (hp/vlz/yf)