Perempuan Muslim Konservatif Galang Petisi Tolak RUU PKS
29 Januari 2019Ironi terkadang sinis. Ketika murid SMP Negeri 1 Slogohimo di Wonogiri pada Senin (28/1) berdemonstrasi menentang aksi pelecehan seksual yang dilakukan seorang guru terhadap seorang murid perempuan, sebuah petisi menolak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sedang digalang di internet.
Adalah Maimon Herawati yang mencetuskan petisi untuk Komisi 8 DPR dan Komnas Perempuan tersebut. Dia pernah pula menggalang petisi menolak iklan grup pop asal Korea, Blackpink, tahun lalu lantaran mengenakan rok mini.
Baca juga: Tagar "MeToo" - Tingkatkan Kesadaran bagi Kekerasan Seksual
Maimon menilai RUU PKS mendukung perzinahan dan sebab itu harus ditolak. Hingga berita ini diturunkan sudah sekitar 97.000 orang membubuhkan tandatangan.
"Ada kekosongan yang sengaja diciptakan supaya penumpang gelap bisa masuk. Tidak ada pengaturan tentang kejahatan seksual, yaitu hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama," tulis penggagas dalam laman petisi. Yang unik, Maimon memahami istilah kejahatan seksual sebagai perilaku cabul, bukan delik kriminal berupa pelecehan atau pemerkosaan.
Tidak heran jika Komisioner Komnas Perempuan, Indry Suparno, dibuat meradang oleh kehadiran petisi itu. "Sepertinya mereka ingin membangun wacana oposisi terhadap gerakan perempuan," kata dia kepada DW. "Mereka tidak membahas perlindungan atau asas keadilan," terkait perempuan korban kekerasan seksual.
Dalam petisinya, Maimon menyerang prinsip kedaulatan perempuan yang diperkuat lewat RUU PKS. Menurutnya adalah hal "ekstrim" jika perempuan diperbolehkan melakukan aborsi secara sukarela, sementara "pemaksaan aborsi dijerat hukum."
"Pemaksaan hubungan seksual bisa kena jerat hukum. Sementara hubungan seksual suka sama suka, walaupun di luar pernikahan, diperbolehkan," tulisnya. Maimon meyakini asas perlindungan perempuan dalam RUU PKS "menipu awam, padahal konsekuensi dari hal tersebut adalah Free Sex."
RUU PKS Bidik Celah Hukum Kekerasan Seksual
Hal ini dibantah oleh Indry Suparno. "RUU Ini bukan melegalkan zina, melainkan mengatur tindak pidana seksual berdasarkan fakta dan kasus-kasus yang ditangani oleh lembaga-lembaga layanan dan Komnas Perempuan di seluruh Indonesia," tukasnya.
Baca juga: Majalah Time Nobatkan Gerakan #MeToo Sebagai Tokoh Tahun Ini
RUU PKS sejatinya dirancang untuk menutup celah hukum dalam fenomena kejahatan seksual di Indonesia. Berbagai instrumen hukum yang ada saat ini, misalnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan KUHP, tidak meregulasi aturan yang berpihak pada korban kekerasan atau mendorong upaya pemulihan dan pencegahan.
RUU itu antara lain juga mengatur kebijakan sosialisasi, edukasi dan advokasi terkait fenomena kekerasan seksual, termasuk peran masyarakat dalam pencegahan.
Kepada Detik, Wakil Ketua Komisi VIII F-Gerindra, Sodik Mujahid, mengatakan pembahasan RUU PKS masih akan berlangsung hingga Mei 2019. Ia mengaku akan menggelar lebih banyak lagi Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR dengan mengundang berbagai elemen masyarakat. Namun ia menolak jika rancangan perundang-undangan yang diracik Komisi 8 dinilai melegalkan perzinahan.
"Sama sekali tidak kepada hal-hal yang dikhawatirkan masyarakat, seperti pembebasan zina," kata dia.
Paradoks Perempuan Muslim
Menurut Musdah Mulia, Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), arus penolakan RUU PKS oleh kaum perempuan digerakkan oleh upaya merawat gambaran perempuan tradisional yang didefinisikan oleh masyarakat patriarki.
"Mereka menganggap rumah tangga itu tempat yang paling aman buat perempuan," kata dia kepada DW. "Tapi kenyataannya kan tidak begitu." Dia mengatakan interpretasi agama yang sangat konservatif justru malah mempersulit upaya pemberdayaan kaum perempuan.
Belakangan muncul berbagai kelompok yang mengkampanyekan pemahaman konservatif tentang keluarga. Beberapa di antaranya adalah Aliansi Indonesia Cinta Keluarga (AILA) pimpinan Rita Hendrawaty Soebagjo, Indonesia Tanpa Pacaran (ITP) atau Aliansi Perempuan Cinta Pertiwi yang antara lain digagas Maimon Herawati.
Organisasi tersebut aktif membentuk opini publik dalam berbagai isu, terutama persoalan LGBT, kebebasan dan kedaulatan perempuan. "Kelompok-kelompok ini sangat kut merebut ruang publik," kata Musdah.
Baca juga: Bagaimana Skor Indonesia di Indeks Kesetaraan Gender 2018?
Indry yang bersama Komnas Perempuan ikut membantu merumuskan naskah rancangan Undang-undang tersebut menceritakan petisi yang diunggah Maimon bukan bentuk pertama perlawanan kaum perempuan konservatif terhadap RUU PKS. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Dewan Perwakilan Rakyat, komisi 8 pernah pula mengundang perwakilan AILA untuk memberikan pandangan.
"Dari awal mereka sudah menolak. Karena bagi mereka prinsip kepatuhan perempuan terancam oleh RUU ini," kisahnya. "Pandangan kelompok konservatif menilai jika moralitas perempuan baik dan bisa diatur, maka tidak akan mungkin terjadi kekerasan seksual, padahal fakta di lapangan berkata sebaliknya."
Sebagai dampaknya "mereka tidak membuka ruang untuk adanya pengakuan atau pengungkapan terhadap kekerasan seksual yang terjadi. Jadi mereka lebih cendrung memilih pemahanan kehidupan harmoni sebagai wujud terbaik dalam membangun relasi sosial."
Untuk menandingi petisi yang dibuat Maimon, kelompok dukungan untuk penyintas kekerasan seksual dan perkosaan yang tergabung dalam Lentera Sintas Indonesia membuat petisi tandingan. Dengan tagar #MulaiBicara dan #GerakBersama mereka menuntut agar pengesahan RUU PKS dipercepat. Sejauh ini sudah hampir 110.000 orang menandatangani petisi tersebut.
rzn/hp (dari berbagai sumber)