1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perempuan Maroko dan UU Keluarga

13 Juni 2008

Di jalan menuju kesetaraan gender masih banyak yang belum tercapai. Baik di negara-negara Eropa maupun di negara-negara Muslim sekitar Laut Tengah. Contoh positif terlihat di Maroko.

https://p.dw.com/p/EJMq
Perempuan di Maroko tahun 1997Foto: AP

Di Marokko, sebagai negara Muslim, sejak tahun 2004 terdapat UU baru untuk keluarga. Boleh dikatakan UU itu merupakan sebuah revolusi kecil di kerajaan tsb, mengingat bahwa sebelumnya semua peraturan yang menyangkut keluarga, perkawinan, warisan, perceraian atau anak-anak, dianggap sebagai hal-hal yang dikodratkan oleh Tuhan. Bila dianggap perlu diubah, hanya rajalah yang dapat melakukannya. Untuk mengubah pemahaman itu, kaum perempuan di Maroko harus berjuang keras. Demikian dikemukakan Rabea Naciri dari Perhimpunan Perempuan Demokratis Maroko, yang berperan besar dalam mewujudkan UU baru itu.


"Bagi banyak warga Maroko, para politisi, kaum konservatif, UU keluarga, UU status perorangan yang lama merupakan sesuatu yang sakral. Untuk mereka yang buta huruf, baik perempuan maupun laki-laki, UU itu seperti kitab suci Al Qu'ran. Sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat. Gerakan Perempuan butuh waktu 20 tahun untuk meyakinkan bahwa itu bukanlah sesuatu yang sakral, melainkan hasil karya dan interpretasi manusia, sehingga bisa diubah."


Pada akhirnya kaum perempuan itu berhasil. Sejak tahun 2004 tidak diperlukan lagi apa yang disebut sebagai pengawasan perkawinan. Sebelumnya, seorang perempuan tidak dapat membubuhkan sendiri tanda-tangannya pada akte perkawinan, melainkan hanya diwakili oleh seorang 'wali', misalnya ayahnya sendiri. Sekarang perwalian itu tidak diperlukan lagi. Walaupun begitu mula-mula banyak perempuan yang merasa takut dan ragu-ragu untuk menggunakan hukum yang baru itu. Sambil tersenyum Rabea Naciri mengingat masa awal mulai berlakunya UU keluarga yang baru


"Tahun 2004/2005 hampir tidak ada perempuan yang berani memanfaatkan UU itu. Mereka belum bersedia menikah tanpa diwakili oleh ayahnya. Tetapi menurut statistik kementrian kehakiman untuk tahun 2007, sudah semakin banyak perempuan yang menikah tanpa perwalian sang ayah. Ini merupakan perkembangan yang baik. Bagi saya artinya UU dapat mengubah praktek sehari-hari. Jadi kalau ada yang mengatakan kepada saya bahwa yang penting bukanlah UU melainkan apa yang dipraktekkan, yang dihayati dan mentalitas yang berlaku, maka itu tidak benar. Penjabarannya tidak semudah itu. Bahwa UU dapat mengubah praktek sehari-hari, dapat dilihat secara konkrit di Maroko."


Perempuan di Maroko, menurut Naciri selanjutnya, sekarang lebih merasa sebagai warga yang masuk hitungan dan semakin menyadari hak-hak mereka untuk ikut menentukan jalannya politik. Artinya UU baru mengenai keluarga itu berperan penting dalam perubahan kesadaran dalam masyarakat Maroko, dan itu bukan hanya pada kaum prianya, melainkan terutama pada kaum perempuannya sendiri. Rabea Naciri:


"Dewasa ini di Maroko ada pendapat feminin yang menghendaki kesetaraan. 10 tahun yang lalu, itu belum ada. Dalam hal-hal yang menyangkut perempuan, baik perempuan maupun laki-laki punya posisi yang sama. Kaum perempuan berbicara dengan bahasa yang sama seperti pria, walaupun menyangkut hak-haknya sendiri. Sekarang sudah lain. Perempuan punya pendapat lain dari pria, bila membicarakan hak-hak yang khusus, terutama UU keluarga, UU menyangkut kekerasan dan selanjutnya."


Demikian pula kaum perempuan yang biasanya bersikap hati-hati, sederhana atau bahkan mereka yang kurang berpendidikan pun, kini tidak ragu-ragu mengeluarkan pendapat secara terbuka. Tambahan lagi telah dibentuk pula berbagai organisasi perempuan yang baru. di antaranya sebuah organisasi yang menuntut hak untuk memiliki tanah bagi perempuan. Yang cukup mengherankan adalah kesediaan menteri kehakiman untuk bekerjasama dengan organisasi-organisasi non pemerintah. Demikian diungkapkan Rabea Naciri selanjutnya. Walaupun begitu kaum perempuan di Maroko masih menghadapi sejumlah rintangan yang besar di jalan untuk memperoleh kesetaraan yang lebih besar di segi hukum dan politik.


"Pada prakteknya masih banyak kesulitan. Dan itu menyangkut banyak hal. Misalnya menyangkut perkawinan di bawah umur. Banyak hakim yang menyetujuinya, seperti halnya dalam kasus poligami. Kesulitan lainnya adalah untuk memperoleh hak tinggal. Karena dalam UU baru itu tercantum bahwa dalam kasus perceraian seorang ibu dapat tetap tinggal dengan anak-anak mereka dalam rumah bersama, atau berhak mendapatkan tempat tinggal baru. Tetapi sampai sekarang badan peradilan belum berhasil melaksanakannya. Masalah juga masih dihadapi dalam soal perceraian, karena para hakim menginterpretasikan UU itu tidak selalu demi kebaikan kaum perempuan. Memang sudah banyak yang berubah, tapi masalah juga tetap masih banyak."


Setidaknya, meskipun di Maroko masih tetap ada pria yang menentang kesetaraan bagi perempuan, mereka tidak dapat lagi mengatakan secara terbuka seperti dulu dan mengacu pada UU keluarga yang dianggap sebagai kehendak Tuhan. Demikian pula hal-hal yang dulu ditabukan, kini dapat dibicarakan secara lebih terbuka. Bagi Rabea Naciri, itu sudah merupakan sensasi kecil, dan tonggak berikutnya dalam perjuangan gerakan perempuan di Maroko. (dgl)