1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Perempuan Indonesia Pendiri Sekolah di Mekkah

Sorta Caroline
5 Mei 2020

Tika Ramadhini, peneliti pada Leibniz Zentrum Moderner Orient Berlin, menelusuri kembali jejak sejarah yang nyaris terlupakan tentang muslimah Indonesia pendiri sekolah perempuan pertama di Mekkah: Khairiyah Hasyim.

https://p.dw.com/p/3Zd2c
Foto ilustrasi siswi sekolah di Arab Saudi
Foto ilustrasi siswi sekolah di Arab SaudiFoto: picture alliance/AP Photo/H. Jamali

Dari arsip-arsip majalah tua di Institut Linguistik, Geografi, dan Etnologi Leiden dan berbekal pemahaman Bahasa Belanda tua, Tika Ramadhini mengumpulkan potongan cerita perjalanan muslimah Indonesia yang beribadah haji ke Mekkah. Ziarah ke Mekkah bagi masyarakat Hindia-Belanda memang telah popular sejak awal abad ke-14. Pada 1932, jumlah peziarah perempuan sudah mencapai 35% dari total seluruh haji yang datang dari Indonesia.

Saat itu Indonesia yang masih dalam kolonialisasi Belanda menduduki urutan kedua sebagai peziarah terbanyak setelah British-Hindia (Pakistan – Bangladesh kini). "Sudah banyak yang menulis hubungan antara Mekkah dan Nusantara tapi selalu tentang laki-laki. Tapi tentang perempuan, tidak pernah ada cerita detailnya, aku pun tertarik menggali lebih lanjut,” ujar Tika optimis. Konsulat Belanda di Den Haag dikunjunginya demi menelusuri arsip dari Konsulat Belanda di Jedah yang didirikan tahun 1873. Konsulat Belanda di Jedah mulanya didirikan untuk memantau pergerakan nasional yang mungkin timbul di kalangan Jawi(Jawa) saat melakukan ziarah ke Mekkah.

Tak pantang menyerah, Tika bertandang ke Jombang hingga Arab Saudi, menelusuri puing sejarah sekolah perempuan hingga riwayat hidup sang pendiri. Penelusuran Tika mulai membuahkan hasil, perempuan yang datang dari Indonesia ternyata tak sekedar menunaikan ibadah haji. Banyak dari mereka memilih menetap, mengikut suami, menuntut ilmu, dan mendirikan sekolah di Mekkah.

Tika Ramadhini
Penulis: Tika RamadhiniFoto: privat

Nyai Khairiyah Hasim dan Jee Abdallah Falimban

Tika pun berkisah tentang Khairiyah Hasyim, anak kedua dari Kiai Haji Hasyim Ashari dan Nyai Nafiqah. Pendidikan Islam dan penguasaan kitab klasik seorang Khairiyah Hasyim didapatnya langsung dari sang ayah, sosok pendiri Nadhatul Ulama. Khairiyah lahir di Jombang tahun 1906, sempat menjadi pemimpin pesantren, menggantikan suaminya yang meninggal di usianya yang ke 27 tahun. 1938 Khairiyah pindah ke Makkah untuk menikah dengan ulama Jawi, K.H. Muhaimmin yang mengajar di Madrasah Darul Umum.

Panjangnya perjalanan jalur laut menuju Mekkah dari Nusantara bisa memakan waktu hingga satu bulan, hal membuat para peziarah tak segera pulang. Mereka memilih tinggal sementara untuk sekedar belajar agama hingga baca tulis di Madrasah Darul Umum.

Belum ada sekolah perempuan saat itu di Mekkah. Banyak yang tidak baca tulis bahkan tidak bisa berhitung sederhana. Khairiyah yang prihatin dengan situasi ini pun mendirikan Madrasah Banat pada tahun 1942, fasilitas pendidikan perempuan pertama di Mekkah. Banyak jamaah haji dan migran yang datang ke sekolah ini, dan beberapa kaum perempuan elit dari Mekkah. Pendidikan perempuan masih dianggap tidak penting saat itu, baru di tahun 1960 Pemerintah Arab Saudi membuka sekolah dasar untuk perempuan.

Khariyah Hasim tak sendirian mengajar di Madrasah Banat, ia dibantu oleh guru perempuan lain Jee Abdallah Fatimban. Suami Jee Fatimban, Syekh Muhammad Hussain al Falimban, juga guru di Madrasah Darul Ulum. Tahun 1947, Syekh Hussain dan Jee Fatimban, turut mendirikan madrasah perempuan yakni Madrasah al Fatah al Ahliyah. Kelima anak mereka, yang kebetulan semuanya perempuan, menjadi guru di sekolah itu. Madrasah al Fatah al Ahliyah ini juga dianggap pelopor pendidikan perempuan di Mekkah.  

Setelah Khariyah kembali ke Indonesia di tahun 1958, Madrasah Banat diperkirakan tutup karena kendala finansial. Sedangkan Madrasah al Fatah al Ahliyah bertahan lebih lama hingga 1999 sebelum diambil alih oleh pemerintah Saudi Arabia.

"Perkembangan pemikiran Islam itu tidak linear. Ada pertukaran nilai-nilai islam antar negara berbeda di Mekkah. Perkembangan Islam juga tidak central-periphery, seperti anggapan sentralnya dari Mekkah lalu dibawa ke Indonesia karena Indonesia diangap periphery. Tapi sebenarnya Indonesia juga membawa nilai islam yang berbeda ke Makkah lewat ulama, pelajar, dan migran yang lama-kelamaan (berpengaruh) juga kepada masyarakat Arab,”jelas Tika

Sulitnya Menemukan Catatan Tertulis Sejarah Perempuan Nusantara

Tika mengaku sulit mencari data tertulis saat melakukan penelitiannya. Pasalnya saat itu banyak perempuan yang tidak menulis kisah hidupnya atau memilih bersembunyi di balik sosok pria. Kesenjangan pendidikan antar perempuan dan laki-laki saat itu begitu besar, tak semua perempuan beruntung bisa belajar berhitung, membaca, dan menulis.

Meminjam metode sosiologi dan antropologi Tika pun menggali "the other” atau "yang asing” di mana sumber data bukan berasal dari sumber formal seperti dokumentasi pemerintah atau pihak penguasa tapi lewat masyarakat sekitar dan pantauan mereka dalam kehidupan masa itu. Penggalian unsur the other dilakukan Tika lewat oral history atau cerita mulut ke mulut(rumor). Tika pusaudin menemukan secercah harapan, untuk menulis kembali sejarah yang sebelumnya tak pernah diketahui mengenai perempuan Indonesia pendiri sekolah di Makkah.

Tika Ramadhini menghadiri Workshop "Woman and The Transregional Circulation of Knowledge".
Tika Ramadhini menghadiri Workshop "Woman and The Transregional Circulation of Knowledge".Foto: privat

Bagaimana rumor menjadi fakta sejarah? "Kadang apa yang disebut fakta sejarah bukanlah fakta, melainkan accepted history atau pengetahuan yang diterima. Sejarah memang menulis apa yang terjadi di masa lalu, tapi kita tak pernah bisa menulis sejarah dalam pengertian merekonstruksi persis apa yang terjadi di masa lalu, melainkan interpretasi dari saksi mata atau sumber tertulis saat itu,” jelas Tika.

Rumor menjadi metode diskusi yang senantiasa berkembang hingga diterima menjadi suatu fakta umum. "Pada akhirnya, pembacaan kritis terhadap rumor ini dapat berguna untuk mengetahui bagaimana penulisan sejarah perempuan yang diterima secara global. Menuliskan kembali sejarah bagi mereka yang tidak memiliki kekuatan untuk menulis.”

Tika mengakui kini sudah banyak perempuan Islam yang turut serta dalam pengembangan ilmu pengatahuan. Baik laki-laki maupun perempuan punya hak yang sama dalam menimba ilmu, mengembangkan pengetahuan. Jangan sampai melupakan satu hal yang penting: "Perempuan juga punya peran penting dalam interpretasi ajaran Islam,” tegas Tika. (fs/yf)

 ***Tika Ramadhini adalah kandidat doctor bidang sejarah di Humboldt Universität yang berasal dari Jakarta kelahiran 1992. Kini ia sedang menyelesaikan desertasinya tentang Perempuan Indonesia di Mekkah abad ke-20.