1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peraturan Pertambangan Baru Tidak Surutkan Investor Asing

12 Maret 2012

21 Februari 2012, pemerintah memberlakukan peraturan baru tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia. Investor tidak punya banyak pilihan.

https://p.dw.com/p/14JDi
Pabrik batu baru di Tanjung Enim
Pabrik batu baru di Tanjung EnimFoto: Reuters

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 Pasal 97 menyebutkan, setiap pemegang izin usaha pertambangan asing setelah 5 tahun sesudah berproduksi wajib mendivestasikan sahamnya sebanyak 51 persen kepada peserta Indonesia secara bertahap.

Walaupun peraturan terbaru ini dianggap dapat merugikan perusahaan asing, terutama perusahaan yang baru akan berinvestasi di Indonesia, belum ada satu perusahaan yang menyatakan akan menghentikan produktivitasnya. Indonesia masih menjadi tujuan investasi pertambangan.

Situasi politik, terutama di negara Afrika, membuat perusahaan pertambangan internasional tidak memiliki banyak opsi negara tempat berinvestasi. Banyak negara kaya tambang di Afrika dianggap terlalu berseiko. “Situasi politik menjadi momok terbesar bagi insudtri pertambangan saat ini,“ dikatakan Avril Cole, pengamat investasi pertambangan, penulis risiko politik dan perubahan peraturan yang mempengaruhi industri pertambangan.

Nasionalisasi Perusahaan

Perusahan pertambangan besar, yang memberikan masukan bagi negara, dianggap sering dianakemaskan oleh para pemerintahan. Hal ini meyebabkan, banyak politisi populis yang memanfaatkan situasi ini untuk kampanye mereka.

Tahun 2011 lalu, perusahaan global Ernst & Young, yang juga berkantor di Jakarta, menyebut nasionalisasi sumber tambang dalam berbagai bentuk merupakan risiko terbesar yang dihadapi penambang asing. Tercatat setidaknya 25 negara yang telah atau berencana untuk meningkatkan pendapatan pemerintah lewat pajak atau royalti pertambangan.

“Nasionalisasi sumber daya terkadang didorong oleh keserakahan saja. Tapi sering kali juga karena pemerintah berada dalam tekanan politik yang berat, karena tidak mampu memanfaatkan sumber daya yang ada secara memadai,” dikatakan Peter Leon, kepala perusahaan hukum Webber Wentzel di Afrika Selatan.

Para penasehat industri berpendapat nasionalisasi sumber daya lebih memojokkan para perusahaan tambang kecil. Perusahaan tambang besar hampir tidak terpengaruh, karena biasanya mereka memiliki perlindungan yang lebih baik dan keamanan yang lebih terjamin melalui kontrak mereka.

Mengikuti Permainan

Investor dan konsultan pertambangan memperkirakan peraturan pertambangan seperti yang baru dikeluarkan Indonesia dapat menjadi sebuah tamparan baru bagi industri pertambangan. Tapi diperkirakan, secara keseluruhan hal ini tidak akan menyurutkan perusahaan asing untuk berinvestasi. Walaupun memang risiko meningkat, tapi permintaan terutama dari pasar Asia masih tinggi dan juga masih besar keuntungan yang dapat diraih.

Mike White, direktur eksekutif Bank IBK Capital, Toronto, Kanada, mengatakan, risiko politk yang tinggi biasanya tidak membuat investor besar menarik uang mereka dari sektor pertambangan. “Apakah ini akan mempengaruhi pengambilan keputusan dana? Ya. Akan tetapi saya tidak berpikir, ini akan mempengaruhi jumlah invesatasi mereka dalam sektor pertambangan,” dikatakan Mike White. “Ini tidak akan membuat mereka pergi. Tapi yang pasti mereka akan mengalokasikan uang mereka.”

Selain risiko politik yang lebih tinggi, sumber tambang sendiri kini semakin sulit untuk ditemukan. Maka tidak heran, jika suatu saat sebuah pemerintahan mengubah peraturan pertambangan, tidak banyak pilihan yang ada selain untuk tetap tinggal dan mengikuti keinginan pemerintah. “Anda harus pergi ke negara berkembang dan Anda harus mengikuti peraturan mereka,” kata Alec Granger, presiden East Asia Minerals, perusahaan eksplorasi kecil asal Kanda yang juga memiliki aset di Indonesia. “Apakah itu du Afrika Selatan, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia atau Mongolia. Anda harus bermain sesuai aturan di negara tersebut.”

Yuniman Farid/rtr

Editor: Luky Setyarini