1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PerdaganganAsia

Perang Dagang AS, Cina Bidik Afrika Pasarkan Panel Surya

David Hutt
17 September 2024

Penerapan tarif ekspor panel surya milik Cina di Asia Tenggara oleh AS merepotkan Cina. Negara itu kini membidik Afrika sebagai pasarnya.

https://p.dw.com/p/4kfwm
Panel surya di Can Tho, Vietnam
Modul surya buatan Uni Eropa diperkirakan berharga sekitar $0,34 per watt. Sementara buatan Cina dan Asia Tenggara dijual sekitar $0,15 per watt.Foto: Thomas Imo/photothek/imago images

Cina tengah mendekat ke sejumlah negara di Afrika untuk memasarkan dan menjadi mitra investasi untuk produksi panel surya mereka. Langkah ini muncul setelah perusahaan panel surya milik Cina yang beroperasi di Asia Tenggara, khususnya di Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Kamboja, berpotensi menghadapi peningkatan tarif oleh Amerika Serikat (AS).

Cina menyetujui pinjaman senilai $4,61 miliar untuk Afrika pada 2023. Ini adalah peningkatan tahunan pertama sejak mencapai puncaknya pada $28,4 miliar pada tahun 2016. Sekitar 68% dari dana ini diberikan hanya ke Angola saja.

Sejak keluar dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada bulan Desember, Angola telah mencari cara untuk memperkuat keuangan dan ketahanan pangannya.

Salah satunya dengan mengembangkan sektor perikanan dan menarik lebih banyak investasi yang menciptakan lapangan kerja di pedalaman, Menteri Keuangan Angola, Vera Daves De Sousa, mengatakan kepada kantor berita Reuters.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Negara itu sebenarnya kaya akan cadangan logam dan limpahan sumber daya pertanian seperti tebu, kopi, kapas, dan ternak. Namun, sumber daya tersebut selama ini diabaikan karena Angola 95% bergantung kepada minyak sebagai sumber pendapatan ekspor.

Menurut De Sousa, Beijing seharusnya menawarkan lebih dari sekadar pendanaan lebih lanjut untuk membantu Angola menurunkan inflasi tinggi dan menambah lapangan kerja dalam jangka pendek, tetapi juga memastikan negara itu memiliki industri tangguh yang dapat diandalkan di masa depan.

Jika tidak, Cina terancam kalah bersaing dengan Eropa. Menurut Daves De Sousa, Eropa mengharuskan Angola membeli produknya, dan sebagai imbalannya akan menyalurkan pendanaan baru dengan lebih mudah.

"Kami akan membeli lebih banyak panel surya dari Eropa karena pendanaannya berasal dari sana."

Pembatasan ekspor oleh AS dan Eropa telah membuat Cina kelebihan kapasitas dalam produksi kendaraan listrik dan panel surya. Mencari pembeli untuk barang-barang tersebut menjadi agenda utama bagi Beijing saat menjadi tuan rumah Forum Kerja Sama Cina-Afrika awal September. 

Sebagai pemberi pinjaman bilateral terbesar di dunia, Cina mulai mengubah ketentuan pinjamannya ke Afrika, menyisihkan lebih banyak untuk ladang tenaga surya dan pabrik kendaraan listrik, sambil mengurangi infrastruktur besar-besaran.

Sementara itu, dalam pernyataan bersama dengan Afrika Selatan, kedua negara berupaya memperluas kerja sama dalam energi terbarukan, penyimpanan energi, transmisi, dan distribusi, kata pernyataan itu. Namun, dokumen itu tidak menyertakan investasi baru atau janji pembiayaan tertentu. 

Asia Tenggara produksi 40% modul surya milik Cina

Negara-negara ini menyumbang sekitar 40% kapasitas produksi modul surya di luar Cina. AS kemungkinan akan segera mengenakan tarif tambahan kepada negara-negara itu dengan tuduhan membantu Cina menghindari bea masuk AS.

Akibatnya, banyak perusahaan asal Cina mengurangi operasional mereka di Asia Tenggara. Langkah ini ditengarai akan mempersulit upaya Uni Eropa dalam memperluas kapasitas panel surya mereka.

Setelah Cina, Asia Tenggara adalah wilayah terbesar kedua yang memproduksi panel surya. Wilayah ini menyumbang lebih dari 80% impor panel surya AS pada kuartal keempat 2023, menurut S&P Global Market Intelligence.

Pada tahun 2022, pemerintahan Biden memerintahkan penangguhan tarif selama dua tahun untuk impor panel surya dari Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam untuk mencegah gangguan dalam penyebaran panel surya domestik. Hal ini dilakukan sembari meningkatkan manufaktur AS. Namun, moratorium ini berakhir pada Juni 2024, yang langsung memicu reaksi dari produsen panel surya utama milik Cina.

Pada bulan yang sama, perusahaan fotovoltaik asal Cina, Longi Green, mengumumkan penangguhan produksi di pabrik baterai di Vietnam, sementara Trina Solar memulai penutupan pemeliharaan di fasilitas produksi mereka di Thailand dan Vietnam.

Beberapa produsen telah mengalihkan produksi ke Indonesia dan Laos, yang untuk saat ini belum terancam penetapan tarif oleh AS. Indra Overland, Kepala Pusat Penelitian Energi di Institut Urusan Internasional Norwegia, mengatakan kepada DW bahwa tarif dapat mendorong diversifikasi industri lebih lanjut di kawasan tersebut. Menurutnya, ini belum tentu negatif.

Produksi dari Asia Tenggara berpindah?

Kekhawatiran tentang masa depan industri ini tetap tinggi. Awal tahun ini, Departemen Perdagangan AS meluncurkan penyelidikan apakah produsen solar di empat negara Asia Tenggara yang disebutkan di atas menerima subsidi pemerintah dan melakukan dumping produk di pasar AS.

Pada bulan Agustus, Bloomberg melaporkan bahwa beberapa perusahaan AS melobi tarif setinggi 272% untuk semua impor solar dari negara-negara ini.

"Ada kekhawatiran, apalagi bila Donald Trump kembali terpilih, tentang stabilitas pilihan manufaktur alternatif ini," kata Deborah Elms, kepala kebijakan perdagangan di Hinrich Foundation di Singapura, kepada DW. 

"Jika AS mengintensifkan tindakan kerasnya terhadap produk dengan konten Cina, hal itu akan mempersulit pabrik-pabrik di Vietnam dan tempat lain untuk mengirimkan panel surya jadi ke AS," tambahnya. "Meski saat ini kecil kemungkinannya, bisa jadi UE akan melakukan hal yang sama, yang akan melemahkan bisnis untuk investasi di Asia Tenggara."

Tahun lalu, dua perusahaan surya terbesar di dunia, Jinko Solar dan TCL Zhonghuan, telah mengumumkan investasi signifikan di Timur Tengah.

Namun, analis percaya bahwa produsen surya utama Cina ini tidak akan meninggalkan Asia Tenggara dalam waktu dekat. Meskipun tarif AS lebih tinggi, perusahaan-perusahaan ini masih diprediksi mendapat untung dari pasar Amerika.

UE juga telah mengenakan tarif pada impor surya Cina, tapi EU juga bersikap lebih lunak terhadap impor dari Asia Tenggara. Meskipun beberapa produsen panel surya telah menutup operasi mereka di Malaysia, Vietnam, dan Thailand, banyak yang tetap buka dan ingin meningkatkan ekspor ke India dan Eropa.

Para analis memperingatkan bahwa kelebihan panel surya yang diproduksi di Asia Tenggara dapat merusak industri manufaktur surya domestik UE. Menurut Wood Mackenzie, modul surya buatan UE berharga sekitar $0,34 (€0,31) per watt, dibandingkan dengan $0,15 per watt di Cina dan Asia Tenggara.

Laporan tambahan oleh Reuters.

Diadaptasi dari artikel DW Inggris