1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Informasi Salah Memperburuk Situasi Pandemi di India

4 Mei 2021

Berita yang salah, informasi yang tidak diverifikasi, dan teori konspirasi yang beredar di media sosial telah menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan, sekaligus jadi rintangan penanganan efektif pandemi di India.

https://p.dw.com/p/3svEb
Pandemi corona di India
Seiring kasus COVID-19 yang melonjak, banyak orang semakin mudah tertipu atas gelombang konten yang menyesatkan dan palsuFoto: Samuel Rajkumar/REUTERS

Selama 12 hari berturut-turut India melaporkan lebih dari 300 ribu kasus baru COVID-19 pada Senin (03/05), menjadikan total kasus di sana mencapai hampir 20 juta kasus.

Menurut data Kementerian Kesehatan India, dengan tambahan sedikitnya 368.147 kasus baru dalam 24 jam terakhir, total infeksi di India mencapai 19,93 juta. Sementara itu, kasus kematian bertambah 3.417 kasus menjadi sedikitnya 218.959 kasus.

Para ahli meragukan angka tersebut dan memperkirakan angka sebenarnya di seluruh negeri mungkin lima hingga sepuluh kali lebih tinggi dari penghitungan resmi.

India pun kian menghadapi kesulitan ketika persediaan medis seperti oksigen, obat-obatan penting, dan kapasitas tempat tidur rumah sakit habis.

Orang-orang di New Delhi tengah antre untuk mengisi tabung oksigen (02/05)
Orang-orang di New Delhi tengah antre untuk mengisi tabung oksigen (02/05)Foto: Sanjeev Verma/Hindustan Times/imago images

Pemerintah berjuang untuk menemukan strategi yang efektif untuk mengekang penyebaran virus. Namun, upaya mereka menjadi semakin berat karena menghadapi pemberitaan yang tidak benar, teori konspirasi, dan informasi yang tidak diverifikasi yang beredar di media sosial.

Informasi salah yang beredar tersebut berkisar tentang asal gelombang kedua di India, tingkat kemanjuran vaksin, hingga saran untuk meningkatkan kekebalan tubuh dengan menggunakan pengobatan rumahan.

"Terkait ini, informasi yang salah tentang kesehatan lebih umum dan beragam, diikuti oleh informasi yang salah terkait agama," kata Syed Nazakat, pendiri Health Analytics Asia, sebuah platform pengecekan fakta, kepada DW.

"Sebagian besar informasi kesehatan yang salah berkaitan dengan pandemi dan juga itu, ketika negara ini juga berada di tengah-tengah upaya vaksinasi besar-besaran," katanya.

'Kurang rasa hormat terhadap sains'

Pengamat dan aktivis mengatakan pihak berwenang belum mengambil tindakan yang cukup untuk menghentikan informasi yang salah ini. Faktanya, beberapa tokoh masyarakat dan pejabat senior sendiri bertanggung jawab atas penyebarannya.

Pada pertengahan April lalu, ketika jumlah kasus COVID-19 mulai meroket, V K Paul, seorang pejabat senior pemerintah yang merupakan penasihat virus corona bagi PM Modi, menyarakan agar orang-orang berkonsultasi dengan praktisi terapi alternatif jika mereka memiliki gejala ringan atau tanpa gejala.

Dia juga menyarankan orang untuk mengonsumsi "chyawanprash" (suplemen makanan) dan "kadha" (minuman herbal dan rempah-rempah) untuk meningkatkan kekebalan mereka.

Pernyataannya memicu kritik dari para dokter yang menyebut rekomendasi tersebut dapat mendorong orang untuk mencoba terapi yang belum teruji dan menunggu terlalu lama untuk mencari pertolongan medis.

"Ini mengherankan dan menyesatkan. Ini akan mendorong orang untuk duduk di rumah, meminum ramuan tersebut dan pada saat mereka sampai di rumah sakit, semuanya akan terlambat," kata Rajan Sharma, mantan presiden nasional Asosiasi Medis India, kepada DW.

Apar Gupta, Direktur Eksekutif Internet Freedom Foundation, juga memiliki pandangan serupa. "Ketika Anda memiliki pejabat publik yang mendukung hal itu, jelas ada kurangnya rasa hormat terhadap sains. Menurut Anda, apa efek yang didapatkan terhadap mereka yang mengonsumsi media sosial?" papar Gupta kepada DW.

Tingginya penggunaan media sosial

Para ahli meyakini bahwa tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah kepada media berita dan media layanan publik yang kurang berkualitas, ditambah dengan masyarakat yang terfragmentasi dan tingginya penggunaan media sosial, telah menyebabkan penyebaran informasi yang salah secara cepat dan luas.

Konsumsi konten media sosial telah meningkat pesat sejak pemerintah India memberlakukan penguncian nasional yang ketat pada Maret tahun lalu untuk mengendalikan penyebaran virus.

Aplikasi WhatsApp, yang memiliki lebih dari 500 juta pengguna di negara tersebut, menjadi platform di mana sebagian besar informasi yang salah tersebar.

"Meningkatnya jangkauan media sosial semakin mengintensifkan krisis informasi yang salah,” tutur Gupta.

Data kasus harian COVID-19 per satu juta penduduk di beberapa negara di dunia
Data kasus harian COVID-19 per satu juta penduduk di beberapa negara di dunia

Mengungkap rumor dan kebohongan

Dengan kasus COVID-19 yang melonjak di seluruh negeri, banyak orang yang semakin mudah tertipu dan menjadi mangsa gelombang peningkatan berita yang menyesatkan dan palsu. Desas-desus tentang efek buruk vaksin juga memengaruhi upaya vaksinasi massal di sana.

Selain itu, ada rumor tentang penggunaan nebulizer sebagai pengganti tangki oksigen medis yang saat ini sangat langka di negara tersebut. Lebih jauh, tersebar juga rumor yang mendorong konsumsi bawang putih, kayu manis, dan akar manis, sebagai tindakan pencegahan atau pengobatan COVID-19.

Ada juga rumor lainnya yang tengah beredar di media sosial, mengatakan bahwa orang India memiliki kekebalan yang lebih tinggi terhadap virus corona.

"Tidak ada bukti ilmiah untuk mendukung klaim absurd ini. Kami harus membantah klaim ini untuk membuat orang mengerti bahwa orang India tidak memiliki perlindungan genetik khusus terhadap virus," ujar seorang peneliti dari Alt News, sebuah platform pengecekan fakta nirlaba, kepada DW.

(rap/hp)