1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Pendidikan

Pentingnya Kemandirian Belajar Anak di Masa Pandemi

Prihardani Ganda Tuah Purba
4 Mei 2020

Ketidakpastian akhir pandemi corona membuat Erudio Indonesia, sekolah non-formal setara SMA berbasis riset dan proyek sains dan seni pertama di Indonesia, ‘terpaksa’ merombak kurikulum dan sistem belajar siswanya.

https://p.dw.com/p/3bklR
Deutschland Symbolbild digitales lernen in der Corona-Pandemie
Foto: picture-alliance/dpa/D. Young

Sudah lebih dari sebulan, proses belajar mengajar jarak jauh atau daring dijalankan di Indonesia selama masa darurat COVID-19. Tidak ada yang bisa memastikan sampai kapan proses belajar mengajar dari rumah akan terus berlangsung. Pasalnya, kapan pandemi corona akan berakhir juga masih menjadi pertanyaan.

Di tengah ketidakpastian itu, salah satu sekolah yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat pun ‘terpaksa' merombak kurikulum dan sistem belajar siswanya sampai setidaknya akhir tahun 2020. Yakni Erudio Indonesia, sekolah non-formal setingkat SMA dengan program pendidikan berbasis riset dan proyek, khususnya seni dan sains pertama di Indonesia.

Corona mengubah sistem belajar secara drastis

Kepada DW Indonesia, Kepala Sekolah Erudio Indonesia Barry Mikhael Cavin Sianturi mengakui bahwa interaksi fisik antara guru dan siswa sejatinya menjadi kunci pembelajaran di sekolah yang ia pimpin. Namun, sejak imbauan belajar jarak jauh di masa darurat COVID-19 dikeluarkan, aktivitas tersebut secara otomatis berubah drastis.

Proses belajar mengajar dirasa semakin sulit, apalagi untuk kelas-kelas yang sifatnya membutuhkan banyak praktik, seperti misalnya kelas-kelas seni. "Misalnya belajar ilutrasi, animasi, belajar bikin instalasi seni, belajar bikin lukisan yang ukurannya besar-besar itu agak susah kalau belajar dari rumah,” kata Barry saat diwawancara DW, Kamis (30/04).

Meski untuk kelas yang sifatnya praktik dirasa sulit, Barry mengakui untuk aktivitas pembelajaran yang sifatnya lebih banyak diskusi, sekolah tidak memiliki masalah sama sekali. Pasalnya, pembelajaran lewat video conferencing yang dijalankan, sangat didukung oleh koneksi internet siswa yang cukup baik.

Barry Mikhael Cavin Sianturi
Kepala Sekolah Erudio Indonesia Barry Mikhael Cavin SianturiFoto: Privat

Pentingnya kemandirian belajar anak

Untuk mengatasi kesulitan dalam proses pembelajaran yang sifatnya praktik, pihak sekolah menurut Barry telah melakukan banyak eksperimen. Platform-platform online seperti google slides dan google classroom dimanfaatkan secara maksimal untuk membantu interaksi siswa dan guru dalam mengirim materi pembelajaran.

Namun, hal penting lain yang menurut Barry sangat diperlukan untuk mengatasi kesulitan dalam pembelajaran jarak jauh seperti saat ini adalah adanya "kemandirian belajar anak.”

Ia menuturkan bahwa jauh sebelum imbauan belajar jarak jauh diterapkan, sebagian besar proses belajar di Erudio Indonesia sejatinya telah diinisiasi oleh para siswanya sendiri. Artinya kurikulum di sekolah ini dibentuk berdasarkan materi atau proyek apa yang ingin dikerjakan oleh siswa.

Inilah yang menurut Barry mempermudah sekolah sampai pada akhirnya berani ‘melepas' siswa untuk belajar di rumah, tanpa takut terdistraksi dengan hal-hal lain yang mungkin mengganggu proses belajar anak. 

"Karena kemandirian anak dalam belajar sudah terbentuk, jadinya sebenarnya cukup mudah. Tapi memang pada akhirnya gurunya juga harus set up secara proper bagaimana caranya ketika misalnya lagi pelajaran fashion design, lighting-nya cukup bagus untuk ketika dia mencontohkan itu bisa kelihatan ke anak-anaknya, semua materi visualnya harus disiapkan sebelumnya juga menggunakan banyak platform-platform online,” ujar lulusan Imperial College London, Inggris, itu.

Pertemuan virtual pelajar di Erudio Indonesia
Pertemuan virtual Erudio IndonesiaFoto: Erudio Indonesia

Virtual gathering jadi solusi atasi kerinduan siswa 

Lebih jauh, Barry menyatakan bahwa platform-platform online juga jadi senjata bagi sekolah untuk menjawab kerinduan siswa berinteraksi dengan guru dan teman-temannya.

Pertemuan sekolah secara virtual (virtual school gathering) dilakukan secara rutin sebanyak satu kali dalam dua minggu, di mana semua siswa dapat bercerita tentang hal-hal yang justru tidak ada kaitannya dengan pelajaran. Misalnya tentang "hobi, game, film, atau tentang kegelisahan mereka.”

"Itu semuanya difasilitasi supaya soal interaksi itu bisa kembali jadi mereka juga tidak stressful berada di rumah setiap saat,” pungkas Barry.

Tidak hanya itu, sesi-sesi pengayaan seperti meditasi, olahraga dan kampanye-kampanye hidup sehat juga turut dilakukan agar interaksi antar siswa tetap terjalin.

Skenario terburuk

Di tengah ketidakpastian kapan pandemi corona ini akan berakhir, Erudio Indonesia menurut Barry sudah menyiapkan skenario pembelajaran jarak jauh atau online sampai akhir tahun 2020. 

"Kita coba silabusnya kita obrak-abrik lagi supaya segala sesuatu nya tetap bisa tersampaikan walaupun harus melalui pembelajaran jarak jauh,” ujarnya.

Tidak hanya skenario untuk proses belajar mengajar saja, skenario untuk beberapa momen krusial seperti penerimaan siswa baru dan masa orientasi sekolah juga terpaksa diubah menjadi online, kata Barry. "Harusnya semua sekolah sudah mempersiapkan ke arah sana,” jelasnya.

Menurut Barry, inilah mengapa merdeka belajar atau mandiri belajar secara menyeluruh menjadi penting dalam situasi pandemi seperti saat ini. Bukan hanya mandiri belajar di tataran anak dan guru, tapi juga di sekolah.

"Bahwa harusnya sekolah tidak menunggu instruksi dari pemerintah tapi kepala sekolah, jajaran kepemimpinan di sekolah, guru-guru harusnya bisa selangkah lebih jauh untuk mempersiapkan apa yang bisa dilakukan” jelas Barry. "Jangan ketika instruksinya datang baru semuanya bersiap. Itu nanti akan sudah terlalu terlambat.”

Makna belajar perlu diperluas

Tidak seperti sekolahnya yang diuntungkan dengan akses internet yang baik, Barry tak menampik bahwa masih banyak sekolah di pelosok Indonesia yang tidak memiliki sarana pendukung untuk melakulan pembelajaran jarak jauh atau online.

Salah satu solusi yang ia tawarkan untuk mengatasi hal ini adalah menggerakkan komunitas guru-guru lokal di daerah. 

"Sesederhana rencana belajarnya dibuat lalu difotokopi lalu disebar ke rumah itu mungkin bisa dilakukan, diselipkan ke pagar, diselipkan ke pintu rumah untuk sekedar anaknya nanti bisa menjadikan itu panduan untuk mereka belajar sehari-hari,” jelasnya.

Namun, yang jauh lebih dibutuhkan di situasi sekarang ini menurut Barry adalah pemaknaan belajar yang lebih luas.  "Bukan hanya sekedar ketika di depan laptop mengerjakan soal atau belajar materi-materi seperti sosiologi, kimia, fisika, terus geografi, tapi juga memaknai bahwa lagi nonton YouTube juga bisa jadi belajar, lagi ngobrol itu juga bisa jadi belajar, berinteraksi dengan keluarga itu juga bisa jadi belajar,” pungkasnya. (gtp/rap)