1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bata dari Sampah Plastik Jadi Ide Bisnis Dua Pengusaha Muda

5 Juni 2021

Sampah plastik kemasan yang ditolak bank sampah, di tangan dua pengusaha perempuan Indonesia ini diubah menjadi bahan bangunan: paving block atau lebih dikenal sebagai bata beton.

https://p.dw.com/p/3uSjn
Novita Tan perlihatkan cacahan plastik, bahan pembuat paving block
Novita Tan, salah satu pendiri RebricksFoto: Bay Ismoyo/AFP

Ovy Sabrina dan Novita Tan menggagas Rebricks karena resah dengan menumpuknya sampah plastik yang mencemari laut Indonesia. Dua orang yang bersahabat ini pun menawarkan solusi dengan cara mengubah kantong kresek dan kemasan sampo menjadi paving block.

Mereka memulai usaha tersebut sekitar dua tahun lalu, dengan mendatangi warung-warung makanan di Jakarta untuk berburu sampah kemasan dari kopi instan, bungkus mi instan, dan kantong kresek bekas.

Berkat sosial media, aksi mereka mendapat perhatian, dan sekarang mereka mendapat kiriman sampah kemasan dari para donor di seluruh Indonesia. Setiap hari mereka menerima kiriman sampah tanpa henti dan memenuhi pabrik kecil Rebricks di Jakarta.

Serpihan plastik kemasan setelah dicacah
Sampah plastik dicacah menjadi serpihan kecil dan dicampur dengan semen untuk membuat konblokFoto: Bay Ismoyo/AFP

"Ini memperlihatkan bahwa Indonesia sebenarnya punya kesadaran tinggi untuk mendaur ulang sampah plastik, tapi mereka tidak tahu di mana melakukannya,” ungkap Ovy Sabrina.

Bagaimana cara daur ulang plastik kemasan jadi beton?

Dua tahun lamanya kedua perempuan yang berusia 30 tahunan itu berupaya untuk menyempurnakan metode pengelolaan sampah mereka. Teknik membuat bata beton, mereka pelajari dari usaha bisnis bahan bangunan yang dikelola keluarga Sabrina.

Sampah kemasan yang terkumpul di pabrik, kemudian dicacah oleh para pekerja Rebricks menjadi serpihan kecil. Cacahan plastik ini kemudian dicampur dengan semen dan pasir, lalu dicetak menjadi bahan bangunan seperti paving block atau konblok.

Kelihatannya memang seperti bata beton biasa, namun jika sudah dilepas dari cetakannya maka terlihat cacahan plastik yang tercampur.

Aktivitas di pabrik Rebricks, Jakarta
Rebricks mempekerjakan empat karyawan untuk mengolah sampah plastik menjadi bata daur ulangFoto: Bay Ismoyo/AFP

Dua pengusaha perempuan ini mengaku metode yang mereka tempuh sebenarnya adalah untuk mengalih fungsikan limbah yang seharusnya berakhir di tempat pembuangan sampah atau lautan. Sejauh ini mereka mengolah sekitar empat ton sampah, dan jumlah ini akan terus bertambah.

"Setiap hari, kami dapat menghentikan sekitar 88.000 bungkus plastik sachet yang mengotori lingkungan,” kata Novita Tan, seraya menambahkan bahwa perusahaan mereka telah memproduksi lebih dari 100.000 batu bata.

Target bisnis dua pengusaha muda 

Beberapa pengusaha daur ulang sampah memilih untuk mengubah limbah plastik menjadi pot bunga atau payung dan dompet, namun Ovy Sabrina dan Novita Tan hanya ingin fokus pada produk bata beton. Mereka beranggapan bahwa material bahan bangunan akan menyentuh lebih banyak konsumen.

"Jika pendekatan kami adalah dengan menjual barang dekorasi yang mahal, maka hanya akan sedikit orang yang membeli produk kami,” tutur Sabrina.

Saat ini ada empat orang karyawan yang dipekerjakan di pabrik Rebricks. Namun, pengusaha muda ini ingin mengembangkan usaha mereka, dan mengaku sedang menjajaki kolaborasi dengan perusahaan besar.

Salah satu konsumen, Andi Subagio mengaku ia menggunakan bata daur ulang ini untuk membangun jalan setapak di restorannya. "Batu bata ini tidak serapuh batu bata biasa karena ada plastik di dalamnya,” kata Andi sambil menambahkan "Dan harganya juga tidak jauh beda.”

Bata dari daur ulang plastik buatan Rebricks
Perbedaan antara paving block biasa dengan bata yang berasal dari daur ulang plastikFoto: Bay Ismoyo/AFP

Indonesia penghasil sampah plastik dunia

Ide untuk menggagas Rebricks tebersit setelah Indonesia menjadi sorotan media karena tercatat sebagai negara penghasil limbah laut terbesar kedua di dunia, setelah Cina.

Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi limbah plastik laut sekitar 70 persenselama empat tahun ke depan. Beberapa kota di Indonesia telah melarang penggunaan plastik sekali pakai, namun tempat daur ulang sampah masih sangat langka.

Perhatian terhadap masalah sampah mencapai puncaknya tahun 2018 lalu setelah sampah plastik seberat enam kilogram ditemukan di dalam perut seekor paus sperma yang mati terdampar di perairan Pulau Kapota, Taman Nasional di Sulawesi Tenggara. (ts/yp)

(AFP)