1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penghilangan Orang dan Nasib Buruh Migran Dibawa ke Jenewa

Ayu Purwaningsih23 Maret 2007

Para delegasi Lembaga Swadaya Masyarakat LSM atau NGO Indonesia hadir dalam Sidang Dewan Hak-hak Asasi Manusia PBB yang berlangsung di Jenewa hingga 30 Maret mendatang.

https://p.dw.com/p/CTBU

Usai pekan lalu para menteri negera anggota menyampaikan pidato politik mereka, pekan ini giliran para pelapor khusus PBB dan NGO mengadukan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Bagaimana dengan laporan pelanggaran HAM di Indonesia?

Salju dan udara dingin menyelimuti Palais des Nations, gedung yang tengah menghelat Sidang Dewan Hak-hak Asasi Manusia Perserikatan-bangsa-bangsa di Jenewa. Namun buruknya cuaca menjelang akhir Maret ini, tidak sedikitpun menyurutkan langkah kaki para anggota delegasi Lembaga Swadaya Masyarakat LSM Indonesia, untuk menyodorkan laporan mereka tentang kondisi hak-hak asasi manusia yang terjadi di tanah air. Mereka hadir untuk menyuarakan hak para korban pelanggaran HAM yang selama ini diabaikan.

Para perwakilan LSM pemerhati HAM tersebut memanfaatkan sesi pelaporan dari para pelapor khusus PBB yang pada pertemuan ini menyuguhkan beberapa agenda terkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Diantaranya tentang pelanggaran HAM bagi para pekerja migran dan penghilangan orang secara paksa. Sementara pembunuhan di luar hukum termasuk aktivis HAM, maupun hak-hak masyarakat adat masih menjadi agenda berikutnya di pekan mendatang. Dalam sesi pembahasan pelanggaran HAM terhadap pekerja migran, Pelapor Khusus PBB untuk urusan buruh migran Jorge Bustamante melaporkan sejumlah pelanggaran HAM yang menimpa para buruh migran, termasuk Indonesia dan Korea Selatan, yang sempat disambangi Jorge beberapa bulan lalu. Saat mampir ke Malaysia, ia melihat sendiri pelanggaran HAM terhadap para buruh migran. Diantaranya jam kerja yang terlalu panjang, gaji yang tidak dibayar, hingga penyiksaan mental. Dan yang lebih mengejutkan, kenyataan bahwa ada butir dalam nota kesepakatan atau Memorandum of Understanding MoU antara Indonesia dan Malaysia tentang pekerja migran yang memperbolehkan majikan untuk mengambil paspor pekerja migran. Ketika bertandang ke Indonesia akhir Desember lalu, setelah mampir ke Malaysia, Jorge mengkritik habis kesepakatan Pemerintah Malaysia dan Indonesia tersebut.

Yang mengagetkan saya, aturan itu dilegalkan lewat nota kesepakatan yang ditandatangani oleh kedua negara. Fakta ini merupakan informasi publik dan didoukumentasikan untuk keperluan umum berdasarkan hasil nota kesepahaman termasuk diperbolehkannya majikan menyimpan paspor pekerjanya. Dengan melakukan itu mereka memicu serangkaian kondisi ynag merugikan para buruh migran.“

Dalam Sidang HAM PBB di Jenewa, Jorge merekomendasikan agar Indonesia dan Malaysia mengkaji ulang Memorandum of Understanding kedua negara yang ditandatangani Mei 2006 di Bali.

Sementara itu delegasi Indonesia LSM Migran Care dalam laporan tertulisnya, di Sidang Jenewa mempersoalkan hukuman mati terhadap buruh migran dan rencana undang-undang Malaysia yang membatasi ruang gerak buruh migran di Malaysia. Seperti diungkapan Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah.

„Ada 62 orang buruh migran yang terancam hukuman mati di mancanegara. Tiga diantaranya tengah menunggu vonis. Kami meminta UN Council menyelamatkan mereka dari hukuman mati.“

Secara umum para ahli independen PBB menyerukan pada negara-negara anggota PBB untuk meratifikasi kesepakatan internasional dalam perlindungan buruh migran, yang jumlahnya tercatat hampir 200 juta orang di dunia.

Sesi bagi pelapor khususPBB tentang penghilangan orang secara paksa, berlangsung Rabu kemarin. Delegasi LSM Indonesia memasukkan laporan tentang kasus pehnghilang orang di Indonesia secara paksa, termasuk penculikan aktivis tahun 1997-1998 yang kasusnya kini melempem di Indonesia. Bagai bola pingpong, kasus tersebut dilempar kesana kemari. Mulai dari Komisi Nasional HAM kemudian Kejaksaan Agung dan kini teronggok di parlemen. Dalam laporan setebal lebih 1.000 halaman, Komnas menunjuk ada lima kejahatan dalam kasus penculikan tersebut, yakni: pembunuhan, perampasan kebebasan fisik, penyiksaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Namun sayangnya tidak disinggung bagaimana nasib 14 orang yang hingga kini tidak diketahui rimbanya, yaitu Yanie Afri, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugerah, Wiji Thukul, Ucok Munandar, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Naser. Kebanyakan dari merka adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik. Koordinator Human Right Working Group Rafendi Djamin, dari dalam gedung Sidang Dewan HAM PBB mengabarkan jalannya persidangan:

“Tidak ada klarifikasi yang diberikan pemerintah, termasuk aktivis-aktivis 97-98 yang dibahas oleh DPR dan respon dari kami NGO, kami menyampaikan bahawa penghilangan paksa merupakan hal serius di Indonesia karena hambatannya justru dilakukan oleh parlemen untuk menyerahkan ke panitia khusus, padahal kalau ada komitmen serius agar tak dipolitisir, harusnya bisa langsung dibahas di sidang paripurna DPR dan dibentuk pengadilannya.”

Sementara itu LSM Wahana Lingkungan Hidup Walhi membawa sejumlah kasus kejahatan korporasi dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat di Indonesia. Seperti dijelaskan anggota delegasi Ridha Saleh dari Walhi:

“Sejauh ini hampir tiga dekade terakhir, kejahatan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia tidak mendapat perhatian. Padahal mereka telah melakukan pelanggaran HAM dan kejahatan lingkungan. Misalnya Freeport, Newmont Minahasa dan Lapindo. Kami mendesak Dewan HAM PBB membentuk pelapor khusus untuk kejahatan koorporasi. Kedua isu masyarakat adat, pihak yang menjadi korban dalam kejahatan koorporasi dan pelanggaran HAM, kami minta mereka diakui dan dilindungi.”

Sesi lainnya tentang pembunuhan di luar proses hukum atau ekstra judisial akan berlangsung pada pekan mendatang. Pada saat itulah delegasi Indonesia menyerukan nasib aktivis HAM Munir yang dibunuh dalam penerbangannya ke Belanda beberapa tahun lalu.

Dalam persidangan Dewan HAM PBB yang berlangsung dari tanggal 12-30 Maret tersebut, delegasi NGO Indonesia menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang diam ketika ditawari untuk disambangi pelapor khusus untuk penghilangan orang secara paksa. Dalam pekan awal sidang, Menteri Kehakiman Hamid Awaluluddin lebih banyak mendesak Dewan HAM PBB untuk segera menyelesaikan proses pembangunan kelembagaan lembaga muda tersebut.

“Dewan HAM PBB diharapkan tak hanya merumuskan norma-norma baru HAM dan standar penegakannya, tapi juga seharusnya mendorong kerjasama teknis dalam hal membangun kesadaran masyarakat, juga lembaga-lembaga pendukung yang kemudian menerapkannya di masyarakat internasional.”

Hamid juga memaparkan langkah Indonesia dalam penerapan perlindungan HAM. Termasuk meratifikasi enam perjanjian internasional HAM, seperti misalnya Konvensi Pekerja Migran, Penyandang Cacat, dan Penghilangan Orang Secara Paksa. Ironisnya, pidato politik itu tidak seiring jalan dengan laporan pelanggaran HAM di Indonesia. Hal inilah yang disesali oleh para delegasi NGO Indonesia. Koordinator Human Right Watch Working Group Rafendi Djamin mengaku keheranan dengan sikap diam pemerintah Indonesia, kala ditawari kunjungan Pelapor Khusus untuk Penghilangan Orang Secara Paksa ke Indonesia.

“ Tidak ada tanggapan. Mengambil sikap silence dengan persoalan ini. Persoalannya adalah mereka harus menjual polemik pada parlemen saat ini. Sangat tidak mendukung politik luar negeri SBY (Soesilo Bambang Yudoyono).”

Bila pemerintah Indonesia memilih bersikap diam, kepada siapa para korban pelanggaran HAM tersebut dapat mengadu dan dilindungi?