1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Implementasi Inpres Nomor 5 Tahun 2019 Jauh dari Harapan

Rizki Akbar Putra
26 Agustus 2019

Pengamat menilai penerbitan Inpres Nomor 5 Tahun 2019 sebagai salah satu upaya pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan dinilai belum efektif.

https://p.dw.com/p/3OTGf
Indonesien Orang-Utans Bedrohung durch Waldrodung
Foto: Getty Images/U. Ifansasti

Presiden Joko Widodo telah resmi menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan keberadaan hutan alam primer dan lahan gambut serta komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) akibat deforestasi  dan degradasi hutan.

Sebagai informasi, Inpres ini sudah ada sejak tahun 2011 lalu yang mana diperbaharui setiap dua tahun sekali, dan akhirnya resmi dipermanenkan oleh Presiden Jokowi. Setidaknya ada delapan diktum yang tercantum dalam instruksi presiden tersebut.

Salah satunya yaitu diktum kesatu: "Penghentian pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi yang meliputi hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa atau tetap, dan hutan produksi yang dapat dikonversi, serta areal penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian lzin Baru.”

Instruksi tersebut ditujukan presiden kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Pertanian, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Sekretaris Kabinet, Kepala Badan Informasi Geospasial, serta para gubernur dan para bupati/wali kota.

Transparansi dan penegakan hukum

Kepada DW Indonesia, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, menyambut baik terbitnya Inpres tersebut, namun ia merasa implementasinya sangat jauh dari harapan.  Berdasarkan data Greenpeace Indonesia, tujuh tahun setelah moratorium diberlakukan (2012-2018) total deforestasi meningkat menjadi 1,2 juta ha, dibandingkan dengan tujuh tahun sebelum diberlakukannya moratorium (2005-2011) dengan total 800.000 ha.

Indonesien Kiki Taufik Leiter von Greenpeace Indonesia Global Forest Campaign
Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace IndonesiaFoto: Privat

Ia pun berpendapat bahwa Inpres Nomor 5 Tahun 2019 masih memiliki sederet kelemahan yang tidak akan menghentikan kerusakan hutan dan gambut, sumber emisi terbesar Indonesia saat ini. Salah satu kelemahannya yakni tidak ada tranparansi data dan informasi terkait peta kehutanan.

"Yang jadi masalah di situ ada pengecualian untuk wilayah yang sudah mendapatkan izin prinsip. Bagaimana publik bisa mendapat informasi jika izin prinsip tersebut tidak dibuka kepada publik? Jadi sampai saat ini publik tidak tahu seberapa besar izin prinsip yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah, karena pemerintah tidak pernah terbuka,” terang Kiki.

Selain itu, Kiki juga menambahkan peraturan dalam bentuk Inpres tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga tidak memberikan sanksi kepada yang melanggar instruksi presiden tersebut. Maka dari itu ia meyakini penegakan hukum merupakan langkah yang efektif dalam memerangi perusahaan-perusahaan ataupun para pelaku pengrusakan hutan dan gambut.

"Pemerintah dalam lima tahun terkahir ada kemajuan lah, sejak 2015. Pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG), dari sisi penegakan hukum mereka mulai memroses perusahaan yang terlibat dalam pembakaran hutan, dibawa ke pengadilan sampai ada putusan dari pengadilan. Yang paling kelihatan adalah, setelah itu diputuskan mereka (perusahaan) mendapat sanksi, tidak ada perusahaan yang membayar sanksi ke pemerintah karena tidak ada tindak lanjut pemerintah untuk menagih. Ya sanksi yang paling berat adalah dicabut izinnya,” tegas Kiki.

Lebih lanjut ia juga melihat adanya celah atas implementasi kebijakan ini, terutama perihal proses revisi peta indikatif hutan primer dan lahan gambut di Indonesia setiap enam bulan.

"Karena dari yang kita analisis, dari periode 2011 sampai 2018 ada 4,5 juta hektar hutan primer dan lahan gambut yang dihapus dari peta moratorium. Kemudian mereka masukkan 5,3 juta hektar ke dalamnya. Kelihatannya bertambah tapi belum tentu yang ditambah itu wilayah yang masih bagus,” papar Kiki kepada DW Indonesia.

Mangrovenbäume
Mangrove punya potensi besar menyerap emisi gas rumah kacaFoto: CC BY 2.0/Ron from Nieuwegein

Hutan Mangrove

Koordinator Staf Khusus Satgas Pemberantasan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115), Mas Achmad Santosa mengatakan ekosistem mangrove sangat berperan dalam upaya mitigasi dampak perubahan iklim. Ia menjelaskan bahwa hutan mangrove atau hutan bakau dapat menyimpan emisi gas rumah kaca lima kali lebih banyak dibandingkan dengan hutan daratan. Indonesia sendiri merupakan salah satu Negara dengan kawasan mangrove terbesar di dunia dengan luas 3,5 juta ha.

"Mangrove memiliki potensi yang sangat besar dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim, terutama dalam menyerap emisi GRK. Sekitar 22% hutan mangrove Indonesia yang telah dilindungi di dalam kawasan konservasi diperkirakan menyimpan emisi GRK sebesar 0,82-1,09 giga ton per hektar,” papar pria yang kerab disapa Otta ini, dalam pernyataan tertulisnya di laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Otta menambahkan bahwa Indonesia mengajak negara-negara yang memiliki mangrove menjajaki komitmen bersama untuk melakukan restorasi dan rehabilitasi mangrove sebagai upaya mengatasi dampak perubahan iklim.

Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal PBB dan Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP), Inger Andersen, menyebut hutan hujan Indonesia merupakan benteng alami pertahanan melawan perubahan iklim berdasarkan kemampuannya dalam mitigasi dan adaptasi.

rap/hp (dari berbagai sumber)