1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Serba Pertama di Jerman: Dari Demo, Hingga Menangis Bombai

Billy Juniar
15 Januari 2021

Selama 12 tahun hidup di Jerman, pengalaman serba pertama dan hal-hal konyol yang sederhana ini tidak pernah saya lupakan. Oleh Billy Juniar.

https://p.dw.com/p/3no7I
Menikmati Currywurst di Hackescher Markt, Berlin, Mei 2004
Menikmati Currywurst di Hackescher Markt, Berlin, Mei 2004Foto: Billy Juniar

Topik perkuliahan dan kehidupan di Jerman memang topik yang serius. Tapi di sini saya akan membagikan pengalaman lucu yang terjadi sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di negeri ini. Untungnya, pengalaman-pengalaman konyol ini tidak saya alami sendirian! Saya bersama lima teman saya pun memulai petualangan kami di Jerman.

Awalnya, saya memperdalam Bahasa Jerman di Goethe Institut Surabaya selama 9 bulan, sebelum memutuskan berangkat ke Jerman untuk melakukan tes masuk Studienkolleg. Kalau di Indonesia, tes ini seperti ujian untuk naik ke kelas 13.

Singkat cerita, tahun 2004 lalu, saya tiba di Berlin dan beberapa bulan kemudian saya pindah ke Leipzig untuk memulai Studienkolleg kelas T (untuk jurusan teknik). Setelah lulus di tahun 2005 saya pindah ke Karlsruhe, Jerman Selatan, untuk mengambil jurusan Chemieingenieurwesen (Teknik Kimia) hingga saya mendapatkan gelar Dipl.-Ing (setara gelar Master). Setelah lulus kuliah, saya sempat bekerja di Jerman selama 3 tahun sebelum saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

Jujur, saya sedikit nervous karena ini adalah pertama kalinya saya (begitu juga teman-teman saya) akan berada di pesawat dalam waktu yang cukup lama. Terbayang betapa membosankannya duduk berjam-jam. Karena kami memesan tiket sendiri-sendiri, tempat duduk kami pun berpencar.

Waktu itu saya masih ingat, takjub dengan adanya telepon di setiap kursi yang bisa digunakan untuk menghubungi penumpang lain. Keren banget, dalam hati saya! Akhirnya, setelah menonton banyak film untuk membunuh kebosanan, saya pun iseng dengan mencoba menelepon teman saya yang ada di kursi belakang. Setelah tahu fungsi telepon itu, kami pun saling menelepon dan menanyakan bagaimana kabar mereka di kursi masing-masing.

Billy Juniar
Billy JuniarFoto: Billy Juniar

Hari pertama disambut dengan demo buruh

Akhirnya kami sampai di Berlin tanggal 30 April. Karena sudah sangat lelah dan jetlag, kami berenam langsung menuju apartemen. Keesokan harinya, kami berencana untuk berjalan-jalan dan mengunjungi beberapa obyek wisata di kota Berlin. Tak terasa kita sampai di distrik Kreuzberg. Kami melihat ada kedai es krim yang tampak lezat dan kami pun memutuskan untuk membeli. Belum selesai saya memikirkan varian apa yang akan saya beli, saya mendengar teriakan yang semakin lama semakin kencang dan suasana semakin menegangkan.

Kami mencoba berjalan ke arah teriakan dan mencari tahu ada apa sebenarnya. Ternyata, banyak orang berbondong-bondong ke arah kami dengan mengangkat aneka papan berisi tulisan tentang buruh. Kami baru menyadari bahwa hari itu adalah tanggal 1 Mei, Hari Buruh Internasional.

Dalam hati saya berkata, "Ternyata di Jerman ada demo juga, ya!”

Kami batal membeli es krim dan cepat-cepat "melarikan diri” ke tempat yang lebih sepi! Padahal aksi demo tersebut berlangsung damai. Hanya saja, buat kami yang pertama kali menyaksikan demo, kami parno!

Dimulai dari "Öl"

Karena kami berenam akan memasak di apartemen, maka kamipun menuju ke supermarket untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan. Salah satunya, minyak goreng. Supermarket yang cukup besar sempat membuat kami bingung dimana lorong tempat minyak goreng. Akhirnya saya bertanya pada salah satu karyawan di sana. Hitung-hitung praktek Bahasa Jerman, nih!

Saya: "Wo ist das Olregal? Ich brauche ein Ol" (Dimana letak minyak goreng? Saya membutuhkan minyak)

Karyawan: "Wie Bitte?" (Apa?)

Saya: "Ein Ol" (Minyak)

Karyawan: "Ich verstehe Sie nicht." (Saya tidak mengerti maksud Anda)

Dalam hati, saya bertanya-tanya apakah gaya Bahasa saya yang terlalu medhok Jawa, sampai-sampai pelayan itu tidak mengerti?

Sebelum saya menjawab lagi, ternyata teman saya sudah menemukan minyak gorengnya dan memanggil kami. Pelayan itupun mengikuti kami dan mengajarkan pengucapan yang benar. Saya benar-benar lupa kalau pelafalan Öl ("o" dengan titik dua di atasnya) tidak sama dengan Ol. Yaelah.. Gitu amat ya bahasa Jerman!

Berbagai macam minyak goreng di Jerman
Berbagai macam minyak goreng di JermanFoto: picture-alliance/Okapia/H. Reinhard

Pertama kali menangis bombai

Tinggal sendirian dan jauh dari keluarga mengharuskan saya untuk memiliki keahlian lain selain bahasa Jerman. Yaitu mengiris bawang! Karena Jerman terkenal dengan wurst (sosis), saya penasaran untuk mencoba, seenak apa kah sosis Jerman itu?

Saya pun memutuskan untuk menumis sosis dengan bawang bombai. Seumur hidup, baru sekali itu saya mengiris bawang! Bombai yang saya iris jumlahnya banyak, mengingat masakan ini untuk porsi ber-enam. Dan baru sekali itu juga saya merasakan pedasnya mata akibat mengiris bombai sampai mata berair. Sampai-sampai kami mencari akal untuk menghindari mata pedih ketika mengiris bawang, dari menahan napas agar tidak mencium aroma bawang yang menyengat hingga memakai kacamata renang supaya mata tidak berair.

Saat kami tinggal bersama, acara masak-memasak sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Suatu ketika, housemate saya yang bernama Ferry merebus babat di dapur (Yeah, jauh-jauh ke Jerman, yang dimakan tetep babat dong! Belinya di supermarket Jerman ada kok. Hehe).

Kebetulan saat itu hanya saya dan Ferry di rumah. Sambil menunggu matang, Ferry malah pergi ke kamar untuk istirahat. Eh, kebablasan! Ferry tertidur pulas dan saya sedang menonton Bundesliga di TV.

Asap mulai memenuhi ruangan dan saya pun mencium bau gosong. Saya membangunkan Ferry. Kami cepat-cepat membuka jendela dapur dan menutup celah di bawah pintu apartemen agar asap tidak keluar karena di balik pintu ada alarm detektor asap.

Fiuhh! Untungnya alarm detektor asap tidak sampai berbunyi. Karena jika berbunyi maka otomatis unit pemadam kebakaran akan datang dan kami harus membayar denda yang lumayan mahal.

Billy Juniar bersama teman-teman kampus di sebuah Festival internasional di Karlsruhe, Mei 2013
Penulis bersama teman-teman kampus di sebuah Festival internasional di Karlsruhe, Mei 2013Foto: Billy Juniar

Pertama kali merasakan keju Prancis

Ketika di Karlsruhe, kampus saya mengadakan festival kebudayaan Prancis dan seorang teman menawarkan irisan roti dengan topping keju khas Prancis yang entah apa namanya. Saya sendiri kurang begitu suka dengan keju, tapi karena saya merasa sungkan akhirnya saya pun menerima roti dan topping keju tersebut. Sebelum saya cicipi, keju itu cukup menyengat baunya.

Keju yang ga ada baunya saja saya tidak suka. Apalagi yang bau kaos kaki seperti ini. Saya pun memutuskan untuk mencicipi sedikit, dan benar saja. Saya gak doyan! Aroma menyengat memenuhi seluruh rongga mulut saya. Tapi lagi-lagi saya masih terbawa adat Indonesia yang merasa sungkan kalau tidak menghabiskan makanan yang sudah diberikan. Saya pun menelan dengan sangat terpaksa sampai habis. Benar-benar menimbulkan trauma! Mungkin ini juga yang dirasakan oleh bule ketika mencium aroma terasi, ya? Hehehe.

Saya yakin sebagai orang yang merantau ke negeri asing seperti saya, pasti akan mengalami culture shock dan suka duka berada jauh dari Tanah Air. Tapi saya juga percaya ada banyak pengalaman berharga dari kehidupan di Jerman. Membuat saya lebih disiplin, mandiri, juga semakin toleran dengan perbedaan antar budaya yang sangat mencolok. Saya berharap pengalaman yang sudah saya peroleh bisa saya tularkan di lingkungan saya di Indonesia.

*Billy Juniar pernah tinggal di Jerman selama kurang lebih 12 tahun (2004 - 2016). Alumni dari University of Karlsruhe (KIT) program study Chemical Engineering. Setelah lulus kuliah, sempat berkarir profesional selama 3 tahun di Jerman sebelum memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)