1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peneliti Tuntut Toleransi Antar Bangsa

Ronny Arnold14 Februari 2013

Dalam proyek "Science goes to school" sejumlah mahasiswa S3 mendatangi sekolah-sekolah di Dresden dan mendorong penelitian ilmu pengetahuan serta toleransi. Aksi itu disambut baik dan banyak peminatnya.

https://p.dw.com/p/17dtL
Handschlag © Peter Atkins #30180407 Symbolbild Entwicklungshelfer, Entwicklungshilfe,
Symbolbild EntwicklungshilfeFoto: Peter Atkins/Fotolia

Hati seekor ikan sangat kecil, kata Olivia. Murid sekolah Dresden yang berusia 16 tahun itu sedang melihat lewat mikroskop. Ia melihat pembulu darah, mata dan sirip ikan. "Cool!" katanya, kemudian mencatat apa yang dilihatnya di atas kertas.

Avinash Chekuru membantu Olivia dalam pekerjaan dengan mikroskop. Sejak 2008 ia bekerja di Dresden dan saat ini sedang menulis S3 di pusat penelitian terapi regeneratif. Pria berusia 26 tahun dan berasal dari India itu termasuk delapan peneliti, yang mengunjungi kelas sepuluh di sekolah Hans Erlwein Gymnasium. "Kami menunjukkan kepada para murid dengan sederhana, mengapa kita meneliti organisme ini", kata Chekuru. Mereka menjelaskan agar para murid mengerti dan termotivasi mungkin untuk berkuliah di bidang itu, dan mengadakan penelitian.

Setiap Bulan di Sekolah Berbeda

Para mahasiswa S3 itu sekarang sudah mengunjungi 21 kelas di 11 sekolah di Dresden, dan menunjukkan rahasia ilmu pengetahuan alam. Tetapi mereka tidak hanya ingin menimbulkan minat atas ilmu pengetahuan. Mereka juga ingin mempromosikan toleransi antar bangsa. Anggota tim itu berasal dari berbagai negara. Orang Serbia, India, Yunani, Italia dan Jerman. Sekali sebulan para mahasiswa S3 ini mengunjungi sebuah sekolah. Proyek mereka namanya "Science goes to School". Proyek itu dimulai dua hari lalu, dan merupakan ide bersama yang dicetuskan Universitas Teknis Dresden dan Istitut Max Planck.

Science goes to School: Wissenschaftler Ivan Radin erklärt seine Forschung Copyright: DW/Ronny Arnold
Ivan Radin menjelaskan sebuah penelitian kepada para murid.Foto: DW/R. Arnold

Eksperimen disambut baik para murid. Mereka dengan giat ikut ambil bagian dan mengajukan pertanyaan. Mereka juga tertarik pada kerjasama para peneliti internasional dengan berbagai kebudayaan ini. Mereka bertanya, mengapa para mahasiswa S3 memilih untuk berkuliah di Dresden, bagaimana situasi di negara asal mereka, situasi pendidikannya, juga perbedaan kebudayaan.

Menghilangkan Prasangka Buruk

Dalam bincang-bincang dengan Avinash Chekuru, Olivia segera menyadari bahwa gambarannya tentang India tidak sepenuhnya benar. Ia dulu jelas punya prasangka buruk, bahwa "India miskin dan tidak ada yang berfungsi baik." Tetapi situasi pendidikan rupanya tidak seburuk seperti yang ia bayangkan, kata Olivia. Avinash Chekuru sangat pintar. "Sementara saya tidak," kata Olivia. Pada kenyataannya, ia belum mengenal banyak orang India, juga orang asing pada umumnya.

Science goes to School: Der indische Wissenschaftler Avinash Chekuru beobachtet die Schüler Copyright: DW/Ronny Arnold
Avinash Chekuru membantu para murid menggunakan mikroskop.Foto: DW/R. Arnold

Tim itu juga mencakup peneliti demensia, Fanny Böhme. Dua hal penting bagi peneliti perempuan warga Dresden itu. Menggerakkan murid untuk menyukai ilmu pengetahuan dan menunjukkan, bahwa hubungan yang berdasarkan toleransi bisa membuka banyak pintu. "Kami berusaha menjelaskan kepada mereka, bahwa dalam penelitian sudah normal untuk bekerjasama secara internasional, dan mentolerir perbedaan kebudayaan dan latar belakang agama", kata Böhme. Jadi para peneliti adalah teladan baik bagi seluruh masyarakat.

Pembunuhan Cetuskan Ide Proyek

Proyek itu berawal pada peristiwa penembakan yang terjadi di Dresden. Lima tahun lalu, istri seorang mahasiswa S3 asal Mesir, Marwa El Sherbiny, ditembak mati di Dresden. Pembunuhan di ruang sidang itu terjadi akibat rasa benci terhadap Islam. Demikian diakui si pembunuh. Kasus pembunuhan Marwa El Sherbiny ketika itu menjadi kepala berita, menyulut banyak diskusi dan sejumlah besar demonstrasi menentang sikap anti orang asing.

Ketika itu, para rekan suami Marwa El Sherbiny, yang terdiri dari peneliti papan atas dari berbagai negara, mencari cara untuk memerangi sikap anti orang asing, yang bisa mereka lakukan sendiri. Dari situlah muncul ide "Science goes to school". Proyek ini sukses, dan sekarang sudah mendapat penghargaan beberapa kali.

An undated picture made available by the family of Egyptian Marwa El Sherbiny on 05 July 2009 shows her (L) and her husband (R) posing during their wedding in Cairo, Egypt. Marwa El Sherbiny was stabbed to death by the German defendant at a courtroom in Dresden, where her husband was accidentally shot by German police on 01 July 2009. The stabbing happened shortly before the woman, aged 32, was to give evidence in an appeal lodged by the man against a conviction for insulting behaviour. The body of the Egyptian woman had been handed over to her brother Tareq el-Sherbini and expected to arrive to Cairo on 05 July 2009 EPA/FAMILY HANDOUT NO SALES / EDITORIAL USE ONLY +++(c) dpa - Bildfunk+++
Marwa El Sherbini (kiri), yang dibunuh di Dresden lima tahun lalu.Foto: picture-alliance/dpa

Di akhir pelajaran dan pertemuan dengan para peneliti internasional, Katrin Landgraf, guru biologi dan kimia memberikan tanggapannya. Baginya, kunjungan para peneliti "merupakan keuntungan besar" bagi murid. Kunjungan itu membuat para murid lebih pintar dan lebih toleran. Ia sudah sering mengalami, bagaimana para murid remaja masih menceritakan kunjungan para ilmuwan muda, lama setelah pertemuan itu lewat. "Banyak murid terkejut, bahwa orang-orang dari begitu banyak negara bisa berhubungan dengan damai. Juga bekerja bersama dan meneliti bersama,“ kata Landgraf.