1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemilu zonder Ideologi

25 Desember 2013

Salah satu keluhan terbesar dari politik Indonesia hari ini adalah absennya gagasan. Kebisingan di ruang-ruang gedung parlemen atau talkshow televisi jarang menyentuh aspek ideologi atau program partai.

https://p.dw.com/p/1AJnE
Foto: privat

Salah satu keluhan terbesar dari politik Indonesia hari ini adalah absennya gagasan. Ruang-ruang gedung parlemen atau talkshow televisi memang bising menampilkan para politisi yang berdebat, saling mengecam, tapi masalahnya, perdebatan itu jarang menyentuh aspek ideologi atau program partai.

Secara tipologi, partai politik yang ikut dalam Pemilihan Umum 2014, terdiri dari partai Nasionalis, Tengah dan partai Islam. Tapi perbedaan diantara partai itu kabur, karena baik dalam anggaran dasar, maupun retorika, semua politisi dari ketiga spektrum itu tidak berani berbeda dalam tiga perkara: Nasionalisme, Relijius (Islam) dan Ekonomi Kerakyatan. Ketiga kata itu bisa anda jumpai hampir di semua anggaran dasar partai.

Perbedaan yang tidak begitu jelas semakin membingungkan, karena di tingkat praktek, partai politik tidak menjalankan policy sesuai platform.

Itulah yang menurut pemikir politik dari Universitas Indonesia Rocky Gerung -- membuat politik Indonesia kehilangan debat ideologis. Percakapan politik lebih banyak diisi euforia mengejar popularitas dan elektabilitas, tanpa mengukur kedalaman pengetahuan partai dan calon, tentang kebijakan yang akan mereka jalankan jika terpilih kelak.

“Politik kita banyak noise tapi tanpa voice,” kata Rocky kepada Deutsche Welle.

DW: Apakah anda melihat ada warna ideologis yang jelas diantara partai politik?

Rocky Gerung: Tak ada. Dalam pemilu nanti kan seharusnya yang dipertandingkan adalah kebijakan partai terhadap isu publik. Itu akan tertutup dengan pertandingan popularitas dan itu sudah terlihat. Orang tidak bisa membedakan partai Golkar dengan partai Nasdem, orang hanya melihat figur Aburizal Bakrie dengan figur Surya Paloh. Itu dilihat sebagai pertentangan diantara dua person. Itu sialnya politik Indonesia hari ini.

DW: Apakah ini terjadi karena proses ideologisasi dan pembentukan kepentingan dalam masyarakat sendiri belum selesai terbentuk, karena demokrasi kita belum lama?

Rocky Gerung: Betul dan sebetulnya yang dihasilkan reformasi adalah perangkat institusi yang kasat mata, sementara software di dalamnya yang seharusnya ideologis tidak ada. Ini berhubungan dengan gagalnya proses pendidikan politik selama orde baru dan proses itu tidak berlangsung sampai hari ini. Orang tidak faham bahwa sebenarnya politik adalah perselisihan rasional diantara ideologi-ideologi yang ada. Itu kan yang menjadi alasan ada banyak partai, karena artinya ada banyak kepentingan dan agregasi kepentingan dari mereka yang secara ideologis berbeda.

DW: Apakah anda samasekali tidak melihat ada debat yang “ideologis“ diantara partai Nasionalis, Tengah dan partai Islam?

Rocky Gerung: Tidak ada. Sebagai contoh misalnya, ada partai A dan B yang secara ideologis seharusnya bertentangan dari urusan bumi sampai akhirat, tapi bisa bersatu untuk urusan Pilkada. Mereka bersatu demi kursi bukan demi perselisihan kebijakan. Ini misalnya yang menyebabkan Perda (Peraturan Daerah) yang bersifat diskriminatif terhadap suatu agama atau perempuan, bisa didukung oleh partai yang sebetulnya Sekular. Kan aneh tuh, dasarnya apa? Transaksi suara!

DW: Kalau mau diukur derajatnya, partai mana yang lebih ideologis?

Rocky Gerung: PDI-Perjuangan jelas partai yang ideologis, dalam arti ada semacam jalan pikiran yang hendak ia perlihatkan. Tapi akhir-akhir ini jalan pikiran itu semakin mengerucut pada sejenis Soekarnoisme. Karena hanya itulah distingtif (pembeda) karakter dari partai itu untuk memperoleh legitimasi di bawah. Tetapi proyek politik kan bukan sekedar hanya bilang inilah Soekarnoisme. Kita mau lihat misalnya apa program ekonomi yang didasari oleh pikiran Soekarnois yang mungkin dilaksanakan di dalam situasi Globalisasi? itu musti diuji. Ujiannya adalah partai lain yang mendebat, tapi masalahnya partai lain yang nasionalis juga akan bilang: ya benar Ekonomi Kerakyatan! padahal dalam prakteknya tokoh-tokoh partai itu semuanya tidak pro-buruh misalnya. Ini semua terjadi karena pers tidak cukup tajam mempersoalkan hal-hal ini. Kenapa? Karena pers hanya ingin mendengarkan sensasi perdebatan bukan substansinya. Akibatnya politik banyak noise tapi tanpa voice.

Di kalangan politisi, ada dua kata yang dianggap “kotor“ dan karenanya dihindari: Pasar dan Sekularisme. Mendukung sistem Pasar, dengan gampang akan dituding sebagai anti rakyat, pro orang kaya dan diejek sebagai Kapitalis.

Sementara, mengaku sebagai seorang Sekular, akan dengan mudah dituduh anti agama atau bahkan lebih jauh lagi anti Islam. Masalah muncul karena labelisasi itu tidak disertai perdebatan yang dalam tentang gagasan di balik kedua kata itu.

DW: Tidak ada partai yang secara tegas mengaku pro-Pasar, semua mendukung Ekonomi Kerakyatan sebagai dasar pandangan ekonomi. Bagaimana anda melihat ini?

Rocky Gerung: Ada semacam rasa rendah diri yang dibungkus dengan Nasionalisme. Orang tidak bisa tampil dengan pikiran tanpa menyebut Ekonomi Kerakyatan walaupun prakteknya tidak begitu. Jadi pada akhirnya, kata rakyat menjadi semacam obat generik. Itulah yang menyebabkan tak ada debat ideologis karena tidak ada yang berani berbeda dalam pikiran. Berbedanya di dalam anggaran dasar, tapi begitu ada debat, semuanya bilang: ya kami juga Pancasilais, kami juga Kerakyatan. Itu memperlihatkan ada semacam kecemasan di dalam partai politik, yaitu kecemasan untuk disebut pro-Barat. Padahal Pasar itu bukan cuma Barat. (Sistem) Pasar adalah urusan rasionalitas dalam pembuatan kebijakan.

DW: Hal lain, kenapa tak ada satupun partai atau politisi yang juga berani secara terbuka mendukung Sekularisme?

Rocky Gerung: Ya, politisi itu semuanya traumatis. Menyebut kata Sekular nggak berani, menyebut kata Liberal nggak berani, jadi mau debat apa? kita kan nggak tahu desain PDI-P tentang toleransi apa? Memang mereka bilang… ya kami anti diskriminasi, tapi kan harus diuji. Karena sekali orang berani mengklaim ini negeri Sekular, maka konsekuensinya adalah: agama tidak boleh mencampuri negara. Tapi nggak ada yang berani mengatakan itu.

Rocky Gerung adalah ahli Filsafat Politik dari Universitas Indonesia.