1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemilu Kontroversial Thailand

3 Februari 2014

Pengunjuk rasa anti pemerintah Thailand bersumpah akan turun ke jalan menjatuhkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, setelah upaya mereka menggagalkan pemilihan umum akhir pekan lalu.

https://p.dw.com/p/1B1lA
Foto: Reuters

Para demonstran dari kelompok oposisi mencegah proses pemilihan umum di ribuan tempat pemungutan suara pada hari Minggu, membuat jutaan orang tak bisa mempergunakan hak pilihnya dan mendorong otoritas pemilu untuk menunda hasil pemungutan suara hingga surat-surat suara sampai ke semua konstituen, tanpa menjelaskan secara khusus kapan itu akan terjadi.

Hanya ada sedikit tanda-tanda berakhirnya kebuntuan, dengan partai berkuasa Puea Thai bersiap menghadapi gugatan pengadilan atas pemilu, serta sejumlah langkah hukum lainnya yang diajukan terhadap Yingluck.

Para musuh menuding perdana menteri Yingluck adalah boneka dari kakaknya Thaksin Shinawatra, yang digulingkan oleh militer pada 2006 dan kini tinggal di Dubai untuk menghindari hukuman penjara atas tuduhan korupsi. Tuduhan yang dibantah oleh Thaksin yang menuding pengadilan itu lebih bermotif politik.

Kontroversi pemilu

Ratusan pengunjuk rasa memulai demonstrasi pada hari Senin (3/2) di seluruh Bangkok untuk menaikkan dukungan dan dana bagi tiga bulan kampanye mereka untuk menjatuhkan pemerintah.

Para demonstran ingin Yingluck mundur dan memberi jalan bagi pembentukan ”Dewan rakyat” yang ditunjuk untuk melakukan reformasi mengatasi korupsi dan tuduhan pembelian suara yang dilakukan klan Thaksin dalam politik Thailand.

Dengan tidak adanya hasil resmi mengenai jumlah pemilih, kedua pihak mengaku sukses dalam pemilu, yang berlangsung relatif damai setelah adu tembak pada Sabtu pekan lalu di pinggiran Bangkok yang memicu kekhawatiran bentrokan serius diantara kedua kubu politik yang bertikai.

“Menurut konstitusi pemilu harus digelar di hari yang sama. Sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan,“ protes juru bicara demonstran yakni Akanat Promphan kepada para wartawan sebelum melakukan aksi unjuk rasa awal pekan ini.

”Sudah jelas bahwa pemilu ini harus dibatalkan,“ kata dia.

Kelompok oposisi mengatakan bakal membongkar beberapa panggung protes yang mereka bangun di ibukota namun dengan tetap mempertahankan metode “melumpuhkan“ kota yang mereka lakukan selama ini.

Partai yang berkuasa mengklaim bahwa surat suara dipakai oleh lebih setengah dari 44 juta warga Thai yang mempunyai hak pilih. Gangguan atas tempat pemungutan suara sebagian besar terjadi di Bangkok dan wilayah selatan yang menjadi basis kuat kelompok oposisi.

“Itu menunjukkan bahwa setengah dari masyarakat menginginkan demokrasi dan menginginkan sebuah parlemen yang terbentuk oleh kelompok mayoritas,“ kata juru bicara partai Prompong Nopparit.

“Ini bukan kemenangan Puea Thai tapi kemenangan rakyat yang mencintai demokrasi dan perdamaian,” tambah dia.

Menteri Perburuhan Chalerm Yubamrung, yang bertugas mengawasi para pengunjuk rasa terkait pemberlakuan keadaan darurat memprediksi Puea Thai akan meraih ”antara 265 hingga 289 kursi" dari hasil pemungutan suara, yang diboikot oleh partai oposisi terbesar yakni Partai Demokrat.

Gugatan hukum

Pada pemilu terakhir 2011, partai Yingluck memenangkan lebih dari setengah dari 500 kursi yang tersedia.

Pemimpin partai Demokrat, Abhisit Vejjajiva, membenarkan bahwa pihaknya akan mengajukan keberatan hukum atas “pemilu yang tidak sah” karena tidak mencerminkan kehendak konstituen atau rakyat”.

Komisi Pemilu Thailand mengatakan 10.000 dari hampir 94.000 tempat pemungutan suara tidak bisa melakukan pemungutan suara, mempengaruhi jutaan orang, meski masih belum jelas berapa banyak dari mereka yang memang akan mempergunakan hak suaranya.

Bahkan jika Yingluck menang, dia akan tetap memainkan peran sebagai penguasa sementara dengan kekuasaan terbatas atas pemerintahan hingga pemilu dengan jumlah pemilih yang mencukupi akan membentuk komposisi parlemen yang kuorum.

ab/hp (afp,ap,rtr)