1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemilihan Presiden di Timor Leste

Bernd Musch-Borowska8 April 2007

Timor Leste mengadakan pemilihan presiden untuk pertama kalinya setelah memperoleh kemerdekaan 1999 lalu. Apakah presiden yang baru akan berhasil memperbaiki situasi di Timor Leste?

https://p.dw.com/p/CItV

Lima tahun setelah merdeka, rakyat Timor Leste akan memilih presiden baru Senin (09/04). Xanana Gusmao yang sekarang menjadi presiden akan mencalonkan diri untuk menjadi perdana menteri dalam pemilu beberapa bulan mendatang. Perdana menteri yang sekarang, Jose Ramos-Horta, mencalonkan diri untuk posisi presiden. Dari delapan kandidat, ia dianggap sebagai calon yang kemungkinan menangnya paling besar. Dan ia yakin, pemilihan presiden akan berlangsung dengan lancar.

Keadaan Keamanan Memburuk

Dalam beberapa bulan terakhir di ibukota Dili terjadi sejumlah bentrokan tantara kelompok remaja yang bersaing. Selain itu juga terjadi pembakaran gedung dan penjarahan. Negara itu terpecah belah antara Timur dan Barat, antara polisi dan militer, antara pengikut partai pemerintah Fretelin dan oposisi, serta antara orang yang mencapai keberhasilan setelah Timor Leste merdeka dan yang tidak berhasil.

Aparat keamanan internasional dan polisi PBB ikut menjaga keamanan sehingga pemilihan dapat berjalan tenang serta sesuai peraturan. Brigadir Jenderal Mal Rerden dari militer Australia memberikan keterangan tentang rencana mereka. Di dekat tempat pemberian suara akan ditempatkan lebih banyak penjaga keamanan. Selain itu situasi dianalisa, sehingga penempatan tentara dapat diatur.

Keadaan Perekonomian Tidak Membaik

Sejak kemerdekaan 5 tahun lalu, keadaan perekonomian Timor Leste tak banyak berubah. Menurut laporan terakhir PBB tentang perkembangan dunia, negara itu berada pada posisi 142, yaitu setelah Kamboja, Myanmar dan Papua Niugini, serta berada pada tempat terakhir dalam daftar negara-negara Asia. Sebagian besar rakyat Timor Leste berada dalam kemiskinan.

Pemilihan presiden dan pemilihan umum beberapa bulan mendatang dianggap sebagai penunjuk arah masa depan negara yang kerap dilanda krisis tersebut. Namun demikian, banyak yang ragu bahwa situasi benar-benar akan membaik. Pastur Martinho da Silva Gusmao, yang menjadi anggota komisi pemilihan berkata, melalui pemilihan hanya wajah-wajah para pemimpin saja yang berubah. Krisis akan tetap ada, karena sampai saat ini Timor Leste belum mempunyai strategi untuk mengubah situasi secara mendasar.

Kemungkinan Kekerasan Baru?

Aparat keamanan internasional menduga, setelah pemilu akan kembali terjadi kerusuhan. Dikhawatirkan, pendukung calon yang kalah akan menyebabkan gelombang kekerasan baru. Karena partai pemerintah Fretelin, dengan calonnya Francisco Lu-Olo yang sekarang menjadi ketua parlemen, juga yakin akan menang.

Sementara itu, dalam kampanyenya, calon favorit Jose Ramos-Horta menyerukan agar kekerasan dan bentrokan dihentikan. Menurutnya, kekerasan selalu menjadi bagian sejarah Timor Leste. Dalam perjuangan menuju kemerdekaan sejumlah besar orang tewas, tetapi bukan hanya akibat tindakan militer Indonesia. Banyak warga Timor Leste saling membunuh. Demikian ditambahkan Ramos-Horta. Budaya kekerasan ini harus dihentikan.

Profil Ramos-Horta

Jose Ramos-Horta sudah lama menjadi politisi penting Timor Leste. Saat Indonesia mengokupasi negaranya 1975 lalu, Ramos-Horta sedang berada di New York. Di depan DK PBB ia mengusahakan pengakuan bekas koloni Portugal itu sebagai negara merdeka. Selama 25 tahun pendudukan Indonesia, Ramos-Horta antara lain menjabat menteri luar negeri pemerintah Timor Timur di pengasingan. Ia juga menjadi jurubicara perlawanan Timor Timur. Setelah negara itu merdeka 1999, ia kembali ke tanah air dan menjadi menteri luar negeri. Tahun lalu ia menjadi perdana menteri, setelah Mari Alkatiri dipaksa mengundurkan diri dari jabatan, karena diduga ikut bertanggungjawab menyebabkan krisis politik.

1996 lalu Ramos-Horta dan Uskup Timor Timur Carlos Belo mendapat hadiah Nobel perdamaian. Tahun lalu Ramos-Horta juga dipertimbangkan untuk menjadi pengganti Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan. Tetapi ia menolak dengan alasan, tidak mungkin menjadi sekretaris jenderal PBB yang baik, jika meninggalkan negaranya dalam krisis. (ml)