1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Saling Berbicara bukan Saling Ancam

10 Januari 2018

Korea Utara dan Selatan adakan pembicaraan langsung pertama sejak dua tahun lalu. Itu bawa kemajuan dalam konflik. AS dan Cina harus dukung pendekatan tersebut secara aktif. Demikian opini Alexander Freund.

https://p.dw.com/p/2qcRf
Südkorea Nordkorea Gespräche in Panmunjom
Foto: Reuters/Korea Pool

Apapun bisa dicapai, kalau memang ada kemauan. Setelah retorika perang selama berbulan-bulan, kedua negara Korea secara mengejutkan menyetujui pembicaraan langsung. Dan ada hasilnya. Korea Utara akan mengirimkan beberapa atlit bersama perlengkapan dan pendukung ke Olimpiade Musim dingin di Korea Selatan! Kemungkinan tim kedua Korea akan berjalan bergandeng tangan memasuki stadion dalam upacara pembukaan dan penutupan. Itu pernah terjadi dalam Asian Games 2002 di Busan, Korea Selatan. Ketika itu seluruh dunia menyambutnya dengan gembira. Olah raga jadi jembatan antar kedua negara yang berseteru. Politisi ikut senang.
Tapi sekarang urusannya bukan diplomasi lewat olah raga. Melainkan yang jauh lebih penting lagi, yaitu kedua negara "bersaudara" yang bermusuhan itu, kembali saling berbicara setelah dua tahun terhenti. Mereka juga langsung menyepakati, bahwa "hotline" untuk hubungan telefon antar militer kedua negara kembali dibuka. Supaya misalnya, tidak terjadi kesalahpahaman yang akhirnya menyulut eskalasi. Kemungkinan juga, dalam rangka pesta tahun baru saat digelarnya Olimpiade Musim Dingin, akan ada pertemuan antar keluarga yang terpecah sejak berakhirnya perang Korea tahun 1953. Sementara itu Rusia dan Cina yang jadi pelindung Korea Utara juga menunjukkan kelegaan..

Kim Jong Un sukses dengan targetnya

Freund Alexander Kommentarbild App
Alexander Freund, Pimpinan Redaksi Asia

Ini perkembangan mengejutkan, setelah pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump selama beberapa bulan saling memprovokasi dengan uji coba roket, latihan militer juga sanksi-sanksi, dan saling menghina. Tetapi sebenarnya pendekatan ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Karena di kedua kubu yang sudah makin memanas juga terjadi pergerakan. Kim Jong Un sebenarnya bukan "rocketman" gila, yang membawa negaranya ke tepi jurang perang nuklir, melainkan perancang strategi yang gemilang. Dengan uji coba nuklir dan roketnya, ia membawa Korea Utara ke tempat yang diinginkan, yaitu meja perundingan.

Sekarang tidak ada cara lain, pembicaraan langsung harus dilakukan. Dan Kim Jong Un bisa memimpinnya dari posisi yang lebih kuat. Potensi bahaya, yaitu roketnya yang bisa mencapai wilayah AS, sudah cukup agar orang lain menanggapi Korea Utara dengan serius. Untuk negara tetangganya Korea Selatan dan Jepang, provokasi tak terkalkulasi jelas sangat berbahaya. Kim Jong un tentu akan terus melaksanakan program nuklir dan roketnya. Mengapa ia harus mengubah taktik ancamannya? Hanya karena "orang Amerika tua penderita demensia", demikian ia menyebut Trump, terus mencubit dan mengancam Korea Utara dengan pemusnahan total?

Kesempatan bagi AS

Di Korea Selatan, tawaran pembicaraan yang diberikan Kim Jong Un disambut dengan penuh rasa terima kasih, karena Presiden Moon Jae In mendukung politik pendekatan, yang berorientasi pada penyatuan kembali Jerman. Dalam pidatonya tentang masa depan negara, Moon Jae In yang dulu pengacara HAM Korea Utara dan lari ke Korea Selatan, menyatakan pandangannya dengan jelas. Yaitu memulai pembicaraan, bagaimanapun caranya. Kalau perlu lewat langkah-langkah kecil dalam topik-topik tidak kontroversial misalnya lingkungan hidup atau pemberantasan hama. Atau seperti sekarang, yaitu lewat olah raga.

Langkah menentukan sudah dilakukan, kini semua pihak harus bergerak. Dua negara yang terlibat, yaitu Cina dan AS juga mengambil langkah tepat dengan mendukung pendekatan tersebut, agar memungkinkan pembicaraan langsung secepatnya antara semua partai yang terlibat konflik. Dalam fase di mana uji coba roket tidak dlakukan, dan penghinaan serampangan tidak saling dilontarkan, situasi berbahaya bisa segera dipadamkan.

Lewat penengahan yang baik, AS juga bisa kembali tampil sebagai kekuatan penjaga keamanan yang bisa diandalkan dan ditanggapi serius di Asia. Dengan demikian kepercayaan yang hilang bisa diraih kembali. Biar bagaimanapun, politik sanksi berkepanjangan tidak menghasilkan apa-apa dan ancaman militer bukan opsi sebenarnyai. Kemungkinan, langkah pengembalian kepercayaan masih harus dilakukan, sampai sebuah pertemuan tingkat tinggi bisa digelar. Tetapi solusi diplomatis yang kini kembali bisa diraih setelah retorika perang selama berbulan-bulan, itupun sudah jadi sukses besar.

Penulis: Alexander Freund (ml/as)