1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pembantaian di Sekolah Dapat Dicegah?

12 Maret 2009

Pembunuhan yang terjadi pada sekolah menengah Albertville di Winnenden dekat Stuttgart, kembali menguak pertanyaan, apa yang dapat dilakukan negara, guna mencegah kasus yang mengerikan itu?

https://p.dw.com/p/HAlB
Suasana sehari setelah penembakan membabi-buta pada Sekolah Menengah Albertville, di Winnenden dekat Stuttgart.Foto: AP

Kasus pelajar yang membabi-buta di sekolah biasanya hanya terdengar terjadi di Amerika Serikat. Diawali di Columbine-Highschool tahun 1999, dimana 12 siswa dan seorang guru tewas. Kedua pelakunya yang berusia 17 dan 18 tahun kemudian bunuh diri. Penyebabnya, peraturan pemilikan senjata di Amerika dinilai terlalu liberal. Tetapi ketika bulan April 2002 kasus serupa juga terjadi pada sekolah lanjutan Gutenberg-Gymnasium di kota Erfurt, Negara-bagian Thüringen, Jerman ibaratnya 'terbangun'. Ketika itu Robert Steinhauser yang berusia 19 tahun membunuh 14 guru, dua pelajar dan seorang polisi, sebelum dia kemudian bunuh diri. Senjata yang digunakannya adalah 'pump gun'.

Sebagai pengikut olahraga menembak, Robert Steinhauser mudah membelinya. Oleh sebab itu batas usia bagi pemilikan senjata olahraga kaliber besar, dinaikkan menjadi 21 tahun. Selain itu mereka yang belum berusia 25 tahun juga harus lulus ujian kelaikan memiliki senjata. Tetapi berdasarkan peraturan Uni Eropa yang ditetapkan di Brussel, Menteri Dalam Negeri Jerman Wolfgang Schäuble berusaha menurunkan kembali batas usia itu menjadi 18 tahun. Hanya berkat protes masyarakat, hal itu diurungkan.

Di lain pihak menurut para pakar, tingginya batas usia untuk memiliki senjata secara legal, sebenarnya bukan faktor pencegah terjadinya tindak kekerasan, karena 90 persen dari senjata yang digunakan untuk melakukan pembunuhan diperoleh secara ilegal.

Motif pembunuhan yang terjadi di Erfurt hampir 7 tahun lalu juga diteliti. Ternyata siswa berusia 19 tahun itu tidak lulus, tetapi tidak berani mengatakan kepada orangtuanya. Artinya, dia juga takut tidak punya ijazah sekolah. Oleh sebab itu undang-undang persekolahan di Thüringen dan negara-negara-bagian Jerman lainnya kemudian diubah. Para pelajar sekolah lanjutan gymnasium, sesudah kelas 10 dapat ikut ujian. Dengan demikian mereka sudah mengantongi ijazah sekolah menengah realschule, seandainya tidak berhasil lulus dari gymnasium.

Kritik akan kurangnya dampingan psikologis bagi para murid yang menghadapi masalah, menjadi lantang. Muncul pertimbangan, bahwa setiap sekolah harus punya ahli psikologi yang dipercaya. Hanya saja pada prakteknya itu masih jauh dari kenyataan.

Memang dibandingkan dengan negara-negara lain, ahli psikologi sekolah di Jerman sangat sedikit. Kalau di Denmark tiap 800 murid sekolah didampingi oleh seorang ahli psikologi, dan di Perancis tiap 2.500 siswa, maka di Jerman hanya ada seorang ahli psikologi untuk lebih dari 10.000 pelajar. Tetapi jumlah psikolog saja, tidak menjamin berkurangnya kekerasan. Mengingat, di Amerika Serikat terdapat banyak ahli psikologi sekolah, tetapi tetap terjadi pembantaian di sekolah, seperti terjadi di negara-bagian Alabama juga pada hari Rabu (11/03) lalu.

Yang dirasakan lebih sulit lagi adalah memperketat pengawasan bagi permainan komputer atau videogames yang mencekokkan tindak kekerasan sampai pembunuhan ke dalam pikiran anak-anak remaja. Karena sebagian besar dari remaja yang membabi buta itu merupakan konsumen dari perangkat lunak atau permainan komputer yang menampilkan adegan pembunuhan secara sangat realistis. Di lain pihak walaupun permainan yang dibeli di toko diawasi dengan ketat, tetapi penyebar luasan perangkat lunak lewat internet berada di luar jangkauan pemerintah. (dgl)