1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kriminalitas

Pasar Gelap Tambah Penderitaan Pasien COVID-19 di India

Murali Krishnan
12 Mei 2021

Pasar gelap berkembang pesat ketika pasien COVID-19 di India berjuang untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit, obat-obatan, dan oksigen medis. Untuk sebuah tabung oksigen, keluarga pasien harus membayar Rp 11,6 juta.

https://p.dw.com/p/3tGx7
Kerabat pasien COVID-19 membawa tabung oksigen
Orang-orang yang putus asa memanfaatkan media sosial untuk meminta oksigen, obat-obatan, dan dirawat di rumah sakitFoto: Danish Siddiqui/REUTERS

Ketika Anumeha Kumar, seorang pegawai bank di selatan kota Hyderabad, terjangkit virus corona dan harus dirawat di rumah sakit, keluarganya terpaksa membayar hampir 43.000 rupee India (Rp 8,3 juta) untuk obat remdesivir yang dijual di pasar gelap.

"Kami tidak punya pilihan lain karena dia membutuhkan ini dan tidak tersedia di mana pun. Semua apotek mengatakan stok mereka habis dan kami telah mencoba mencari di mana-mana," kata Pradeep, saudara laki-lakinya, kepada DW.

Harga asli untuk 100 miligram obat tersebut berkisar antara 1.000 dan 5.400 rupee (Rp 193.500 hingga 1 juta).

Di pusat kota Indore, Rattanjeet Lal, seorang sopir taksi berusia 45 tahun, juga harus berkeliling selama lebih dari 10 jam mencari tabung oksigen untuk istrinya. "Saya akhirnya berhasil mendapatkan tabung oksigen 30 liter dengan harga hampir 60.000 rupee (Rp 11,6 juta), hampir tiga kali lipat dari harga normal," kata Lal kepada DW.

Beralih ke pasar gelap

Banyak orang India yang saat ini terpaksa beralih ke pasar gelap untuk mendapatkan pasokan medis penting. Beberapa oknum menimbun sejumlah komoditas penting yang kemudian menjualnya kepada orang-orang yang membutuhkan dengan harga tinggi.

Hal semacam ini memperburuk penderitaan pasien dan bahkan menyebabkan kematian. "Orang-orang terpaksa membeli kebutuhan mereka di pasar gelap untuk menjaga orang yang dicintai tetap hidup," kata Anil Bhan, seorang ahli bedah, kepada DW.

Pasar gelap tidak selamanya aman. Pada pekan lalu, kepolisian New Delhi menggerebek sebuah gedung di lingkungan mewah dan menyita lebih dari 400 konsentrator oksigen.

"Kami telah menangkap beberapa orang yang melanggar Undang-Undang Komoditas Esensial dan Undang-Undang Penyakit Epidemi. Kami sedang memburu dalang kejahatan ini, yang kami yakini merupakan seorang ternama," kata Atul Thakur, pejabat senior polisi.

Mengambil untung di tengah pandemi

Sejauh ini, polisi telah mengungkap lebih dari 110 kasus dan menangkap lebih dari 100 orang karena melakukan penipuan dengan janji dapat menyediakan obat-obatan dan pasokan oksigen. Sebanyak 52 kasus lainnya meliputi pemasaran dan penimbunan gelap.

Selain pasar gelap, operator ambulans swasta juga menetapkan harga selangit untuk membawa pasien COVID-19 ke rumah sakit. "Saya diminta membayar tunai untuk mendapatkan akses tempat tidur di rumah sakit dan ketika ibu saya keluar setelah sepekan, rumah sakit memberi saya tagihan hampir 200.000 rupee (Rp 38,7 juta)," kata Paneer Selvan, seorang mekanik dari negara bagian Tamil Nadu, kepada DW.

'Anda menjarah orang,' kata pengadilan

Banyak rumah sakit telah melanggar aturan tentang batasan harga dengan mengenakan biaya yang berlebihan untuk perlengkapan alat pelindung diri, perawatan di unit perawatan intensif dan kamar rumah sakit.

Di beberapa negara bagian, pengadilan bahkan harus mengintervensi kecurangan ini. Pada Senin (10/05), Pengadilan Tinggi Kerala menyatakan keprihatinannya dan mengatakan bahwa rumah sakit swasta menjarah pasien.

"Kami menemukan tagihan yang tidak masuk akal, Rs 22.000 (Rp 4,2 juta) untuk perlengkapan APD. Lihat tagihannya! Kami melihat bubur beras dikenakan biaya Rs 1.300 (Rp 250.000)," ungkap pengadilan.

"Bayangkan penderitaan warga yang berpenghasilan Rs 1.000 (Rp 193.000) dan tagihan sebesar Rs 200-300.000 (Rp 38.000 hingga 58 juta). Kami melihat penularan infeksi meningkat cepat. Siapapun dapat tertular. Anda menjarah orang. Kami harus turun tangan sekarang." (ha/pkp)