1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Para Perempuan Berbagi Kisah Hadapi Tantangan Saat Pandemi

Devianti Faridz
16 Juli 2021

Dari harus merawat lansia, hingga sulit berkomunikasi sebagai tunarungu karena semua orang pakai masker. Para perempuan ini berbagi kisah agar orang-orang tidak menyerah saat pandemi.

https://p.dw.com/p/3wXeN
Hidup di tengah pandemi
Meski banyak pembatasan, hidup terus berlanjut di tengah pandemiFoto: Donal Husni/ZUMAPRESS/picture alliance

Di masa-masa awal pandemi COVID-19, Harpini Winastuti, 85, duduk diam termenung di rumahnya. Saat itu, dia mungkin tidak mengerti mengapa sudah berbulan-bulan tidak bisa bertemu dengan teman-teman di tempat para lansia bersosialisasi di Jakarta Selatan. Harpini didiagnosis menderita Alzheimer sejak tahun 2018. Namun pandemi menyebabkan dia kehilangan sebagian interaksi sosial yang dia sukai dan butuhkan.

"Dia punya aktivitas tiap hari Rabu di sebuah rumah di Cipete. Para lansia penderita demensia diajarkan gambar, merajut, menjahit, dan mewarnai. Yang hadir kelompok kecil sebanyak 4-5 orang dan mereka ditemani caregiver utama (perawat lansia, red.) atau yang paid (perawat pribadi). Begitu pandemi datang, sudahlah semua selesai. Tidak ada lagi pertemuan," ujar Miranti Hudan, 46, anak perempuan Harpini, kepada DW Indonesia.

Miranti Hudan, atau sehari-hari dipanggil dengan nama Mira, menggambarkan dirinya sebagai "Generasi Sandwich" yakni generasi yang harus merawat orang tua yang sudah lanjut usia dan anak-anaknya sendiri yang masih sekolah.

Sang bunda kian murung saat isolasi

Saat awal pandemi, Mira begitu menjaga kesehatan ibunda. Yang boleh menemui ibunya hanya Mira dan orang-orang tertentu di rumahnya. Namun lambat laun berkurangnya interaksi sosial berdampak pada kesehatan mental sang ibu.

Kisah perempuan di tengah pandemi
Miranti Hudan, 46, mengatakan kesehatan mental ibunya yang menderita demensia menurun saat harus isolasi.

"Awalnya dia tidak mengeluh karena tidak bisa keluar rumah, tapi kelihatan makin hari makin sedih dan diam. Dari situ mulai kelihatan merosotnya. Dalam kurun waktu singkat, banyak teman-teman ODD (orang dengan demensia) dalam grupnya mulai meninggal karena kondisi psikologis mereka menurun. Pandemi mulai bulan Maret dan Ibu meninggal bulan Juli," Mira menambahkan.

Mira bersyukur bahwa selama pandemi ada dukungan dari Alzi Indonesia, yakni kelompok penderita Alzheimer, tempat berbagi suka dan duka serta cara merawat anggota keluarga dengan demensia.

"Sebelum ikut Alzi Indonesia, kolesterolku tinggi dan tekanan darahku kumat. Kita suka lupa untuk mengurus diri kita sendiri," katanya. Selain sebagai wadah komunikasi para bagi para perawat lansia utama, grup ini juga didukung beberapa dokter geriatri atau dokter khusus lansia. Bantuan informasi medis yang diberikan online sangat membantu saat akses untuk menemui dokter geriatri secara langsung sangat berkurang, ujarnya. 

Mira bercerita bahwa sebelum pandemi, membawa ibunya untuk diperiksa darah dan urin di laboratorium saja sudah penuh tantangan karena ibunya sering kali mendadak emosional. Mira pun bercerita apa yang dia dengar dari teman-temannya yang juga merawat lansia dengan demensia.

"Di chat grup ODD, saya dengar bahwa (penderita demensia) yang sudah kena Covid jadi histeris, terus tegang dan matanya melotot. Mungkin mereka tidak tahu caranya untuk mengungkapkan perasaannya. Untung ibuku tidak tertular Covid. Dia memang sakit tapi meninggal secara alami (karena penyakit demensia)."

Masker, tantangan bagi penyandang tunarungu

Pandemi yang saat ini berlangsung di dunia memiliki dampak yang berbeda bagi tiap orang, tidak terkecuali bagi penyandang disabilitas. Termasuk Barbara Yanti, 47, penyandang tunarungu yang sehari-hari bekerja sebagai pengajar bahasa isyarat Jakarta tingkat 1 di Balai Kota DKI Jakarta.

Perempuan di tengah pandemi
Barbara Yanti, 47, sempat kesulitan berkomunikasi saat semua orang harus memakai masker.

Saat awal pandemi di Indonesia, semua proses belajar mengajar tiba-tiba berhenti, padahal ada kelas bahasa isyarat yang belum selesai jadwalnya. Seperti banyak pengajar lainnya di Indonesia, mereka terpaksa mempelajari dan mengajarkan metode belajar baru lewat media pertemuan daring melalui Zoom dan Google Meet.

Suatu hari suami Yanti pulang dari perjalanan tur motor ke Lampung. Sepulang dari tur, suaminya langsung sakit batuk dan demam. Beberapa hari kemudian ibu mertua dan Yanti pun jatuh sakit.

"Saat kondisiku mulai membaik, seorang teman semasa SMA mengajakku pergi makan bersama tujuh orang teman lainnya di bilangan Blok M. Salah satu temanku baru membuka usaha restoran di sana. Aku sempat bingung memikirkan bagaimana berkomunikasi dengan teman-teman dengar kalau menggunakan masker. Saat SMA mereka belum mengenal bahasa isyarat karena bahasa isyarat belum berkembang di Indonesia. Jadi malam itu aku harus melepas masker dan hanya memakai face shield supaya bisa berkomunikasi dengan mereka," ujar Yanti yang juga seorang guru SDLB Tunarungu Santi Rama, Jakarta.

Tak disangka, Yanti keesokan harinya kembali merasa pegal linu dan pusing serta kehilangan kemampuan penciuman - gejala yang cukup sering ditemui para penderita COVID-19. Setelah pemeriksaan antigen, Yanti dan anak perempuannya dinyatakan positif. Saat menjalani isolasi di RS Darurat COVID-19 Wisma Atlet Pademangan, Yanti sempat mengalami masalah komunikasi dengan tenaga kesehatan di sana.

"Sayangnya, semua dokter dan tenaga medis di Wisma Atlet Pademangan tidak ada satu pun yang bisa bahasa isyarat. Untungnya aku menjalani isolasi di Wisma Atlet bersama anakku Carissa yang membantu aku berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, karena di sana diwajibkan selalu memakai masker." 

Inspirasi dan harapan bagi perempuan

Yanti dan Mira adalah dua dari 23 perempuan yang terpanggil untuk menulis dan membagikan cerita mereka menghadapi pasang surut kehidupan saat pandemi dalam sebuah buku yang sedang digarap bersama. Kesemuanya adalah alumni Universitas Trisakti angkatan 1993 yang tergabung dalam sebuah chat grup.

Intan Pradina, 47, editor buku tersebut mengatakan bahwa sangat penting memberi dukungan emosional bagi perempuan lain. Selain pembaca bisa belajar dari pengalaman hidup berbagai penulis, kegiatan menulis buku dapat membahagiakan dan memberi rasa lega bagi penulisnya.

Banyak perempuan di Indonesia yang saat ini merasakan bahwa pandemi yang berkepanjangan terasa melelahkan dan akhirnya berdampak pada kesehatan mentalnya. "Kesehatan mental dapat berpengaruh pada fisik. Kalau psikis kita terganggu, otomatis semua bisa berantakan. Kalau sesorang merasa kesehatan mentalnya ada yang tidak beres, mereka harus segera cari info dan bertindak. Karena kalau dibiarkan bisa menyebabkan penyakit yang lebih berat dan harus ditangani oleh seorang profesional. Lebih baik ditangani di awal," kata Intan kepada DW Indonesia.

Para penulis berharap bahwa pada saat buku ini siap untuk dibaca oleh publik, para pembaca dapat memetik manfaat dan terinspirasi untuk tetap bersikap positif dan memiliki semangat hidup meski dikelilingi berita negatif selama pandemi berlangsung. (ae)