1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikBangladesh

Para Penyiksa Dikerahkan sebagai Penjaga Perdamaian PBB

Arafatul Islam | Naomi Conrad | Birgitta Schülke
23 Mei 2024

Bangladesh dan Sri Lanka mengirim perwira yang terlibat dalam penyiksaan dan pembunuhan sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB. Ini hasil investigasi terbaru DW, Netra News, dan Süddeutsche Zeitung. PBB tutup mata?

https://p.dw.com/p/4g9L3
Pasukan perdamaian PBB di Kongo
Pasukan penjaga perdamaian PBB di Kongo. Ada yang dikirim dari Bangladesh.Foto: AFP via Getty Images

Ada sebuah foto yang sekilas tampak biasa saja. Diabadikan di  suatu hari yang cerah di tahun 2022, terlihat kelompok dua belas pria dan perempuan yang tampak ceria berkumpul bersama. Mereka berpose bersama. Semuanya mengenakan seragam militer – lengkap dengan lencana yang mengidentifikasi mereka sebagai perwira Mesir, Indonesia, dan Bangladesh.

Seorang pria dalam foto mengenakan baret biru muda penjaga perdamaian PBB. Kelompok tersebut baru saja menyelesaikan kursus pengenalan untuk tugas mereka di MONUSCO, misi PBB di Republik Demokratik Kongo.

Ada seorang pria botak berkacamata di tengah foto itu. Lengannya dengan santai merangkul bahu seorang perwira Indonesia. Sumber militer membagikan foto yang diambil dari media sosial tersebut kepada DW, media investigasi Netra News yang bermarkas di Swedia, dan surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung.

Sebelum perwira tersebut dialihtugaskan ke misi PBB, pria itu adalah wakil direktur sayap intelijen sebuah pasukan elite di Bangladesh: Batalyon Aksi Cepat, atau The Rapid Action Battalion (RAB).

Pasukan tersebut, yang terdiri dari polisi dan militer Bangladesh, dibentuk pada tahun 2004 dengan dukungan AS dan negara lain untuk memerangi terorisme dan kejahatan dengan kekerasan.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Namun metode mereka yang sangat brutal membuat negara ini segera terperosok dalam tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, sehingga menyebabkan mantan pendukungnya, Amerika Serikat, menjatuhkan sanksi terhadap Rapid Action Battalion (RAB) pada tahun 2021.

Dalam investigasi yang diterbitkan tahun lalu, DW dan Netra News mengungkapkan bahwa RAB melakukan penyiksaan, pembunuhan, dan penculikan – dan berupaya keras untuk menutupi kejahatannya. Sasarannya: Tersangka penjahat, aktivis oposisi, dan pembela hak asasi manusia.

Para anggotanya tampaknya beroperasi dengan keterlibatan dukungan dari tingkat politik tertinggi di Bangladesh, demikian menurut dua pelapor (whistleblowers). Klaim itu ditolak pemerintah di Dhaka dengan argumen "tidak berdasar dan tidak benar."

Pasukan RAB
RAB didirikan dengan dukungan awal dari AS dan negara lain untuk memerangi kejahatan dan terorisme.Foto: Netra News

Anggota RAB dikirim ke misi PBB

Setahun setelah pengungkapan tahun lalu itu, DW, Netra News, dan Süddeutsche Zeitung dapat mengungkap anggota unit terkenal ini tampaknya dikirim untuk misi penjaga perdamaian PBB. Dalam temuan kami, wakil kepala intelijen yang menjadi penjaga perdamaian PBB itu, bukanlah satu-satunya perwira yang berasal dari Rapid Action Battalion, yang oleh beberapa sumber kami dijuluki sebagai "pasukan kematian".

Selama berbulan-bulan, DW dan media mitra melakukan wawancara dengan sumber militer dan PBB di Bangladesh dan sekitarnya, menelusuri file rahasia militer, daftar penempatan, dan dengan susah payah mengidentifikasi para perwira itu  melalui Flickr, LinkedIn, dan Facebook.

Lokasi penugasan salah seorang pria di misi PBB ini dikuatkan dengan bantuan rute lari hariannya yang diunggah ke aplikasi joging. Selama berbulan-bulan, ia rajin berlari di sekitar Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah, yang merupakan pusat misi MINUSCA PBB. Di foto lainnya, ia berpose selfie di luar markas RAB di Dhaka.

Tiga orang bekerja untuk RAB.
Tiga orang bekerja untuk Sayap Intelijen RAB.Foto: DW

Dua wakil kepala unit yang menjalankan sel penyiksaan berada di antara pasukan penjaga perdamaian

Kami menemukan lebih dari 100 anggota RAB yang menjalankan misi penjaga perdamaian, 40 orang di antaranya bertugas dalam lima tahun terakhir.

Meskipun kami tidak memiliki bukti bahwa setiap petugas itu terlibat dalam kejahatan, setidaknya tiga dari mereka – Nayeem A., Hasan T. dan Masud R. – bekerja untuk sayap intelijen RAB, dan dua di antaranya menjabat sebagai wakil direktur.

Menurut beberapa sumber, unit inilah yang menjalankan jaringan rahasia sel penyiksaan di seluruh Bangladesh, beberapa di antaranya berlokasi di rumah-rumah rahasia, yang lainnya tersembunyi jauh di dalam kompleks RAB.

Korban selamat dan sumber militer mengatakan kepada DW dan Netra News soal metode penyiksaan, eksekusi pura-pura, waterboarding, dan sengatan listrik di institusi itu.

"Kami punya semua alat yang diperlukan,” demikian salah satu mantan anggota RAB menjelaskan.

Salah satu metode brutal yang ia saksikan adalah dengan menempatkan orang yang ditahan di dalam sebuah kontainer dan memanaskannya dari bawah. "Pada titik tertentu suhunya tidak dapat dipertahankan,” dan tahanan tersebut, katanya tanpa basa-basi, "akan mengaku.”

Sel-sel penyiksaan, menurut sumber lain, adalah "tempat mereka mendapatkan informasi dari warga sipil."

Sebuah sumber di RAB mengatakan kepada DW, Netra News dan Süddeutsche Zeitung bahwa kedua wakil direktur tersebut terlibat dalam kejahatan, seperti penyiksaan dan eksekusi.

Meskipun klaim tersebut tidak dapat dibuktikan secara independen, beberapa sumber lain menegaskan, kemungkinan besar wakil direktur yang bertanggung jawab atas komando telah menyetujui apa yang terjadi di sel penyiksaan, atau setidaknya mengetahui apa yang sedang terjadi.

Namun, mereka kemudian ditugaskan sebagai penjaga perdamaian, untuk melindungi komunitas sipil yang rentan.

Gagasan penjaga perdamaian lahir setelah Perang Dunia Kedua. Sebuah pasukan berdasar perintah komunitas internasional yang terdiri dari tentara dan polisi yang diambil dari negara-negara anggota PBB, dikirim oleh Dewan Keamanan PBB ke negara-negara yang pemerintahannya gagal dan mengalami kekacauan.

Saat ini, puluhan ribu pasukan penjaga perdamaian dikerahkan secara global, dalam beragam konflik dan krisis, mulai dari Republik Demokratik Kongo, Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah hingga Kosovo dan Kashmir.

Terlepas dari cita-cita luhurnya sebagai operasi penjaga perdamaian – individu tentara dan kontingennya selama bertahun-tahun telah terlibat dalam skandal, yang selalu dikutuk oleh PBB.

Kritikus mengatakan misi penjaga perdamaian tidak efektif, sementara mereka yang membela penjaga perdamaian mengatakan misi mereka telah menyelamatkan banyak nyawa.

Pada tahun 2012, setelah beberapa skandal pelecehan seksual yang dilakukan oleh pasukan penjaga perdamaian menjadi berita utama, terutama terhadap anak-anak di Haiti, PBB menerapkan kebijakan hak asasi manusia baru bagi personelnya.

Dari 'pemerintahan yang kejam' ke pasukan penjaga perdamaian

Meskipun negara-negara yang menyumbang pasukan umumnya terus menyeleksi dan memeriksa personel militer yang mereka kirim ke misi PBB, dengan pengecualian komandan pasukan dan wakilnya, mereka harus membuktikan bahwa prajurit yang dikirim tidak melakukan atau dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam kasus Bangladesh, hal ini berarti "mereka meminta pemerintah yang kejam untuk kemudian memutuskan petugas mana yang melakukan tindak kekerasan atau tidak,” beber Meenakshi Ganguly, Wakil Direktur Asia Selatan di Human Rights Watch melalui sambungan telepon.

Pemerintah Bangladesh, jelas Ganguly, "tampaknya tidak merasa bahwa orang yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia perlu diadili dan dimintai pertanggungjawaban.” Memang hanya sedikit anggota RAB yang pernah diadili.

Oleh karena itu, ia bersama beberapa organisasi hak asasi manusia lainnya, baik di Bangladesh maupun internasional, telah lama menyerukan agar RAB dilarang sepenuhnya dalam operasi penjaga perdamaian.

Bukan hanya mereka yang memberikan peringatan: Pada bulan Agustus 2019, Komite Menentang Penyiksaan  (Committee against Torture), sebuah badan PBB yang terdiri dari para ahli independen yang memantau hak asasi manusia di negara-negara anggota PBB, menerbitkan laporannya tentang Bangladesh.

Penulis laporan itu menyuarakan keprihatinan atas "banyak laporan” mengenai kasus-kasus di mana anggota RAB "telah dituduh melakukan penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, penahanan rahasia, penghilangan dan pembunuhan di luar proses hukum terhadap orang-orang yang berada dalam tahanan mereka.”

Paukan pendajaga perdamaian PBB.
Lebih dari dua juta pasukan penjaga perdamaian PBB telah dikerahkan di seluruh dunia.Foto: picture-alliance/ dpa

'Kekhawatiran besar'

Salah satu penulis laporan ini adalah Jens Modvig, seorang dokter yang menjalankan aktivitas "Dignity", Institut Anti Penyiksaan Denmark, sebuah LSM yang bertempat di sebuah blok perkantoran sederhana di Kopenhagen.

Saat membuat kopi di dapur kecil organisasi tersebut, ia mengenang "keprihatinan besar” para pakar atas laporan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pasukan keamanan Bangladesh. "Itu adalah sebuah istilah, yang "tidak mereka gunakan secara enteng", katanya.

Rekomendasi komite, kata Modvig, adalah, "mantan dan anggota RAB saat ini tidak diperbolehkan melakukan tugas dalam operasi penjaga perdamaian."

Namun penyelidikan kami menunjukkan mereka tetap dikirim ke misi penjaga perdamaian PBB.

DW, Netra News dan Süddeutsche Zeitung mengirimkan beberapa permintaan wawancara di depan kamera ke Departemen Operasi Penjaga Perdamaian PBB. Mereka menolak semua permohonan itu.

Sebaliknya, PBB setuju untuk menanggapi secara tertulis temuan-temuan tersebut: "Kami tidak memiliki sumber daya untuk menyaring setiap orang, dan memiliki kebijakan jangka panjang yang menempatkan tanggung jawab khusus pada negara-negara yang berkontribusi terhadap pengiriman tentara dan polisi," tulis seorang juru bicara.

Dalam kasus Bangladesh, juru bicara tersebut melanjutkan, Penjaga Perdamaian PBB "terus terlibat secara bilateral dengan otoritas nasional untuk menyampaikan kekhawatiran mengenai tuduhan serius pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan pertahanan dan keamanan, khususnya oleh anggota RAB”.

PBB rentan terhadap pemerasan?

Kami akhirnya menemukan satu orang yang bersedia untuk mengungkapkan hal ini: Andrew Gilmour, yang merupakan mantan Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Hak Asasi Manusia. Saat ini, ia mengepalai Yayasan Berghof di Berlin yang mengadvokasi perdamaian global. Ia seorang diplomat PBB yang katanya, memilih jas yang dikenakannya sesuai dengan topik wawancara dan suasana hati.

Untuk cerita tentang penjaga perdamaian dan pelanggaran hak asasi manusia, dia mengenakan jas warna biru muram.

Jika masih bekerja di PBB, katanya, "Saya mungkin tidak akan bisa menceritakan hal ini secara jujur ​​dan mengatakan kita punya pasukan yang sangat tidak berguna dan ada juga yang sangat brutal."

Ia menyimpulkan, Bangladesh bukanlah kasus yang unik: "Ini bukan pertama kalinya negara-negara anggota memasukkan orang-orang dengan catatan hak asasi manusia yang buruk untuk bertugas di batalion yang mereka tugaskan ke PBB." Kadang-kadang, katanya, "bisa seluruh pasukan yang terlibat dalam suatu tindakan, menindas orang-orang di negara mereka sendiri, misalnya, atau bisa jadi juga ada individu-individu pelanggar HAM."

Gilmour menekankan berulang kali bahwa PBB melakukan yang terbaik untuk mencegah hal itu terjadi.

Namun dia mengakui, jika PBB menekan negara-negara terlalu keras, ada risiko negara-negara tersebut mengancam akan menarik seluruh pasukannya. "Cukup sulit untuk melakukan sesuatu, jika pemerintah negara anggota tersebut bersikeras untuk mengajukan kontingen atau individu."

Dalam satu kasus, ia mengenang, "sebuah negara yang sangat penting dalam menyumbangkan pasukannya pada sejumlah operasi penjaga perdamaian mengatakan, oke, kita akan menarik semuanya sekaligus." Oleh karena itu, jelasnya, Sekretaris Jenderal PBB pada saat itu "pada dasarnya harus pergi ke negara tersebut dan meminta maaf kepada kepala negara bersangkutan."

Jika tidak, empat operasi penjaga perdamaian PBB akan gagal, kata Gilmour.

Kesaksiannya sepertinya menunjukkan satu hal: Bahwa jika menyangkut pasukan penjaga perdamaian, PBB tampaknya rentan terhadap ancaman.

Sebuah sumber di PBB setuju. Bahkan jika ada kritik sekecil apa pun, para pejabat di Bangladesh – salah satu kontributor utama pasukan PBB – mengancam akan menarik pasukan mereka.

Pada bulan Maret tahun ini, sekitar 6.000 pasukan penjaga perdamaian Bangladesh dikerahkan secara aktif di seluruh dunia.

Namun masih belum jelas apakah Bangladesh akan benar-benar menghadapi ancaman ini dan dengan demikian kehilangan akses terhadap misi-misi PBB, yang sangat menguntungkan baik bagi tentara maupun negara yang mengerahkan mereka.

Menurut pejabat pemerintah, Bangladesh telah menerima lebih dari 2,5 miliar USD selama 23 tahun terakhir. Individu pasukan penjaga perdamaian juga menerima gaji yang lebih tinggi dibandingkan di negara asal mereka.

Juru bicara Penjaga Perdamaian PBB menolak klaim bahwa PBB tampaknya tidak berdaya ketika dihadapkan pada ancaman: "Penyumbang pasukan terbesar saat ini berkontribusi kurang dari 10% dari total 65.000 personel yang dikerahkan. Oleh karena itu, tidak ada satupun negara penyumbang pasukan yang dapat memberikan ancaman yang dapat melemahkan kelangsungan operasi penjaga perdamaian, dengan menarik semua pasukan mereka".

Tangan PBB sepertinya terikat

Menurut Gilmour, ada alasan mengapa tangan PBB sepertinya terikat. Ketika dia "sangat, sangat muda,” mayoritas pasukan penjaga perdamaian PBB berasal dari negara-negara seperti Swedia dan Irlandia, jelasnya.

Namun beberapa tahun kemudian, ketika Perang Dingin hampir berakhir pada awal tahun 1990-an, dan dihadapkan pada misi-misi yang lebih mematikan, pemerintah negara-negara Barat mulai menarik pasukan mereka keluar dari operasi penjaga perdamaian, dan lebih memilih untuk membayar ongkosnya.

Pemerintahan negara demokratis harus mempertimbangkan, apakah mereka mampu membayar ongkos dari korban jiwa tertentu. Demikian menurut sumber politik dari sebuah negara Eropa Barat yang memiliki pengetahuan mendalam tentang cara kerja PBB. Jika tentara yang dikerahkan ke misi PBB kembali dalam kantong mayat, jelasnya, pemerintah mereka akan segera melakukan penyelidikan parlemen.

Hal itu, tambahnya, bukanlah masalah yang harus dihadapi oleh negara-negara seperti Bangladesh. Pada saat yang bersamaan, ia mengakui bahwa misi penjaga perdamaian PBB sangat menguntungkan baik bagi individu tentara maupun pemerintah untuk mengisi pundi-pundi uang mereka.

Jumlah pasukan penjaga perdamaian nyaris 'tidak pernah cukup'

Hasilnya: "Sangat, sangat sedikit pasukan yang sangat terlatih dan bestandar barat untuk misi PBB,” kata Gilmour, sebuah pernyataan yang juga didukung oleh tokoh resmi PBB. Saat ini, lima kontributor terbesar adalah Nepal, India, Rwanda, Bangladesh dan Pakistan.

"Jumlah pasukan hampir tidak pernah cukup”, kata Gilmour. "Jadi itu berarti PBB tidak bisa mengatakan, oke, kami akan menerima kelompok ini karena kami pikir negara ini menghormati hak asasi manusia. Dan maaf, kami tidak akan menerima Anda."

PBB "tidak mempunyai pilihan seperti itu.”

Mengingat situasi yang ada, Gilmour menyimpulkan, "di mana ribuan orang bisa terbunuh jika tidak ada pasukan penjaga perdamaian PBB, ketika Anda harus menyeimbangkan keadaan – mungkin mengirimkan dua atau tiga apel busuk adalah pilihan yang tidak terlalu buruk, dibandingkan ribuan orang terbunuh..."

Warga di Sri Langka
Tentara Sri Lanka membombardir warga sipil dan rumah sakit selama bulan-bulan terakhir perang saudara.Foto: Amarathaas

Sri Lanka: 'impunitasnya sangat besar'

Ini adalah pengakuan yang membuat Frances Harrison ‘terkejut'. Dia adalah mantan koresponden asing yang kemudian menjadi aktivis yang mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia di Sri Lanka.

Laptopnya berisi sekumpulan folder berkode warna berisi foto dan kesaksian, yang mendokumentasikan kekejaman yang dilakukan dalam perang saudara brutal selama puluhan tahun, antara tentara Sri Lanka dan separatis Macan Tamil, yang berakhir sangat kejam pada tahun 2009. Kedua belah pihak melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan, yang menurut PBB kemungkinan besar merupakan kejahatan perang.

Di antara dokumen Harrison yang sangat banyak, terdapat foto agak buram yang menunjukkan sekelompok perwira Sri Lanka yang terlindungi dari hujan dengan payung besar berwarna-warni, memandang puluhan mayat yang berjajar di atas terpal. Seorang perwira menunjuk ke arah mayat-mayat itu.

Namanya Shavendra Silva.

Dia adalah komandan divisi ke-58, yang melakukan "pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, yaitu pembunuhan di luar proses hukum,” demikian menurut Departemen Luar Negeri AS, yang menjatuhkan sanksi terhadap Shavendra Silva pada Februari 2020 atas dakwaan kejahatan perang yang dilakukan dalam perang saudara di Sri Lanka.

Silva diduga terlibat pelanggaran hak asasi manusia.
Pada tahun 2020, AS menyebut Silva terlibat pelanggaran hak asasi manusia.Foto: AFP

Pada tahun 2019, Sri Lanka mempromosikan dia ke posisi puncak, menjadi Panglima Angkatan Darat. Menyusul protes internasional, termasuk dari badan hak asasi manusia PBB sendiri, Departemen Operasi Penjaga Perdamaian mengumumkan, mereka akan menangguhkan penempatan tentara Sri Lanka di masa depan, kecuali "jika penangguhan tersebut akan membuat operasi PBB menghadapi risiko operasional yang serius."

Namun angka yang diterbitkan PBB menunjukkan, pada tahun 2019 Sri Lanka mengirimkan 687 tentara penjaga perdamaian ke misi PBB. Satu tahun setelah pengangkatan Silva, negara itu masih mengirimkan lebih dari 665 tentara.

Juru bicara Penjaga Perdamaian PBB menjelaskan dalam tanggapan tertulisnya, "karena jika ditangguhkan, maka akan membuat operasi penjaga perdamaian PBB menghadapi risiko operasional yang serius, oleh karena itu pengecualian dibuat untuk kontingen ini, sementara pengerahan yang ada masih dalam peninjauan.”

Hal ini, tentu saja, berbeda dengan pernyataannya sebelumnya, bahwa tidak ada satupun anggota pasukan yang dapat melemahkan operasi penjaga perdamaian dengan menarik pasukannya.

Seperti yang terdokumentasi dalam beberapa foto, Shavendra Silva, dengan seragamnya yang dihiasi medali, kerap kali menjadi tokoh yang melepas baret birunya.

"Dapatkah Anda bayangkan bagaimana rasanya menjadi korban perang saudara, pelanggaran hukum, dan kemudian melihat hal itu," tanya Harrison, kemarahan terdengar jelas dalam nada suaranya. "Ini adalah impunitas yang sangat besar dan tidak ada yang melakukan hal apa pun untuk menghentikannya."

Harrison telah memperingatkan PBB dan negara-negara lain selama bertahun-tahun, tentang tentara Sri Lanka yang mungkin terlibat dalam kejahatan perang namun dikerahkan sebagai penjaga perdamaian.

Pada tahun 2019, dia meperingatkan PBB tentang seorang perwira yang akan ditugaskan sebagai Komandan Kompi Kontingen di Mali.

PBB tampaknya tidak menanggapi peringatannya dengan serius. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk mengetahui, bahwa pria tersebut sebenarnya ditugaskan sebagai Komandan Kompi Kontingen di Mali pada tahun 2019 – hanya beberapa hari setelah peringatan yang disampaikan Harrison. Sebuah foto menunjukkan dia di bandara, dengan baret biru PBB di kepalanya, dengan tangan tergenggam bersama Panglima Angkatan Darat Shavendra Silva.

Dan, penelitian kami menunjukkan, dia masih ditempatkan di Mali hingga tahun 2021.

Peringatannya, ujar Harrison, "diabaikan begitu saja".

Juru bicara Penjaga Perdamaian PBB menulis kepada DW, Netra News, dan Süddeutsche Zeitung bahwa mereka menanggapi "tuduhan ini dengan serius". Namun, lanjutnya, "tidak ditemukan informasi yang tersedia pada saat itu, yang memberikan alasan masuk akal untuk percaya bahwa individu tersebut mungkin bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia".

'Tidak ada yang peduli siapa yang dikerahkan Bangladesh'

Penyelidikan kami menunjukkan satu hal: Dalam pemilihan pasukan, Departemen Operasi Penjaga Perdamaian PBB dihadapkan pada dilema yang sulit.

Mereka harus menerima pasukan yang mereka ketahui dalam beberapa kasus mungkin telah melakukan pelanggaran atau, ketika dihadapkan pada ancaman dari negara-negara yang menyumbang pasukan untuk menarik kontingen mereka, mereka menutup mata untuk menegakkan misi yang disebutkan menyelamatkan nyawa kelompok paling rentan di lapangan.

Dalam kasus Bangladesh, penelitian kami menunjukkan, PBB tampaknya memilih opsi kedua.

Sebuah sumber politik dari sebuah negara Eropa Barat menyimpulkan, tidak seorang pun yang benar-benar peduli, siapa yang dikerahkan Bangladesh, mengingat kurangnya pasukan untuk misi PBB. Dan, tambahnya, pasukan dari negara-negara militer seperti Bangladesh pada umumnya terlatih dengan baik.

Hal ini dapat menjelaskan mengapa, di tempat pelatihan PBB yang luas di Bangladesh dekat ibu kota Dhaka, seorang jenderal mengatakan kepada DW dalam kunjungan yang direkayasan dengan baik baru-baru ini, bahwa Bangladesh sebenarnya berencana untuk memperluas kontribusinya terhadap misi pemelihara perdamaian PBB.

Hal ini menunjukkan, katanya, ketika perwira bagian pers berdiri di sampingnya, "betapa mereka menghargai kami.”

Tentu saja yang dia maksud adalah PBB.

Kami mengonfrontasi masing-masing petugas yang disebutkan dalam laporan kami ini, serta pemerintah Bangladesh dan Sri Lanka dengan temuan kami. Mereka tidak menanggapi.

Departemen Operasi Penjaga Perdamaian PBB menekankan bahwa "sebagian besar pasukan bekerja dengan baik, meskipun banyak dari mereka beroperasi dengan sumber daya terbatas di lingkungan yang menantang."

(ap/as)

Editing: Mathias Bölinger, Lewis Sanders

Cek fakta: Julett Pineda

Dukungan legal: Florian Wagenknecht