1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pansos Gerakan Indonesia Tanpa-Tanpaan

Indonesien, Nadya Karima Melati, Bloggerin
Nadya Karima Melati
4 April 2019

Indonesai Tanpa JIL, Indonesia Tanpa Pacaran, Indonesia Tanpa Femisnis - lalu berikutnya mau Indonesia tanpa apa lagi? Ini yang terjadi saat negara-negara lain berkompetisi teknologi. Simak opini Nadya Karima Melati

https://p.dw.com/p/3G6Q4
Symbolbild Frau Oberkörper
Foto: imago/Westend61

Pada tahun 2013 telah dideklarasikan gerakan ITJ atau Indonesia Tanpa JIL di Cisarua. Gerakan ITJ muncul atas respon kehadiran Jaringan Islam Liberal dan berusaha menjadi anti tesisnya. JIL adalah aliran liberalisme Islam yang mengedepankan rasionalisme dan memperbaharui tafsir-tafsir usang supaya Islam bisa kompetibel dengan moderenisasi abad ke-21. JIL memang sangat terkenal. Muncul pada awal 2001 sebagai mailing list kemudian melakukan diskusi offline dan sangat populer di kalangan kampus dan aktivisme. Hingga deklarasi ITJ tahun 2013, gerakan JIL masih di atas angin dan nama organisasi ITJ langsung ikut melejit bersama kepopuleran JIL. 

Penulis:  Nadya Karima Melati
Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: Nadya Karima Melati

Sedangkan pada tahun 2015 dan seterusnya muncul trend komedi baru di Indonesia bernama Stand Up Comedy. Tren ini dimulai ketika Raditya Dika roadshow tentang buku-buku humor yang berisi kehidupan pribadinya dan seketika menjadi gaya baru menulis pop di Idnonesia. Tiap kali roadshow peluncuran buku, Radit melakukan Stand Up Comedy dan tidak butuh waktu lama gaya komedi ini menyeruak.

Ciri khas Radit dalam komedinya adalah menyindir kaum jomblo, dan di atas kepopuleran Radity Dika dan Stand Up Comedy, muncul deklarasi Indonesia Tanpa Pacaran disingkat ITP. Tidak butuh lama untuk ITP populer, cukup mendompleng budaya jomblo-shaming dan mereka sudah menjadi buah bibir. Beda dengan pendahulunya, ITP lebih komersil dan membuat banyak pelatihan bagi muda-mudi.

Pada akhir Maret 2019, muncul kembali  gerakan dengan embel-embel "Indonesia Tanpa- ….” dengan isu yang lebih mutakhir dan menyesuaikan dengan tren populer- yakni Indonesia Tanpa Feminis dan cuma butuh waktu beberapa hari sampai mereka diangkat oleh media utama.

Di Balik Gerakan Tanpa ini dan itu

Jika menggunakan dialektika ala Hegel Tesis + Antitesis = Sintesis. Gerakan Tanpa ini-itu bahkan tidak pantas jika disebut antitesis.

Mereka hanya mendompleng kepopuleran gerakan massa sebelumnya dan menggunakan kosa kata mereka. Sekedar kosa kata dan bukan definisi atau terminologi. Untuk itu kata-kata yang mereka gunakan tidak punya pijakan dan produknya jualannya adalah kelas motivasi.

Gerakan Tanpa ini dan itu terkesan gerakan sosial dan menggunakan nilai dan moral konservatif sebagai argumen utamanya tapi itu justru kekuatan mereka.

Di balik brand nama yang berubah-ubah, mereka punya nilai konservatif sama dan sesungguhnya mereka adalah gerakan politik. Bukan sosial.

Tujuan mereka adalah mendapat sebanyak mungkin pendukung dan mengubah Indonesia sesuai dengan ideologi mereka yang konsevatif. Moral selalu mereka kedepankan untuk berargumen karena hanya itu yang mereka punya. Mereka bahkan bukan Islam dan tidak berdakwah. Mereka hanya menggunakan Islam sebagai justifikasi dan simbol kelompok. Tidak lebih.

Gerakan Indonesia Tanpa JIL, Indonesia Tanpa Pacaran dan Indonesia Tanpa Feminis punya rumusan yang sama: mereka melakukan anti tesis dengan menggunakan kosa kata dari gerakan yang populer terlebih dahulu.

Begitu pula dengan nama yang digunakan, Indonesia + Tanpa + Gerakan yang sedang Hype. Terlalu naif jika bilang bahwa orang yang berada di balik brand ini adalah orang yang sama. Tokoh-tokohnya mungkin berbeda tapi mereka punya garis nafas ideologi yang sama yakni konservatif. Gerakan ITJ misalnya digawangi oleh kelompok FPI yang bersinggungan dengan HTI.

Gerakan ITP diinsiasi oleh La Ode Munafar dalam laman Facebooknya sendiri terang-terangan mengaji HTI sejak kelas 2 SMA. Menolak Feminisme sudah gencar sudah di lakukan oleh sayap muslimah HTI. Tercatat sejak tahun 2015 mereka melakukan demonstrasi anti-Feminis namun Gerakan Indonesia Tanpa Feminis baru meledak pada akhir 2019 ini.

Saya tidak mau berasumsi apakah mereka mereka punya hubungan, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk itu. Tapi saya mencurigai hal tersebut melalui pola yang sama pada organisasi sebelumnya dan simbol-simbol yang mereka gunakan.

Kita tidak boleh melihat gerakan Indonesia Tanpa-tanpaan sebagai sesuatu yang putus satu sama lain. Gerakan penolakan feminisme sudah dilakukan melalui mimbar akademik ataupun gerakan akar rumput, secara akademik mereka memiliki thinktank dan melalui thinktank ini wacana mereka menolak ideologi yang sedang pop dibentuk. Adalah INSIST (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) yang bermarkas di Kalibata, Jakarta Selatan. INSIST rajin mencetak buku tentang bahaya Jaringan Islam Liberal dan sayap perempuannya membentuk organisasi AILA (Aliansi Cinta Keluarga) yang gencar menolak RUU PKS hingga membuat Judisial Review ke MK supaya LGBT dipenjara.

Mereka murni gerakan politik yang ingin mengubah sesuatu sesuai dengan ideologi mereka. Mereka ingin pengikut sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu tanpa harus bersusah-susah berpikir dari dasar, lebih baik ambil yang sedang populer kemudian bikin versi negatifnya. Islam hanya digunakan sebagai kamuflase untuk justifikasi gerakan ini, karena jika memang penganutnya benar-benar beragama mengamalkan agama Islam, mereka tidak akan menolak pencerahan dan kesetaraan dalam kemanusiaan.

Bagaimana Menyikapi Gerakan Seperti Ini?

Kini ketika Feminisme menjadi kosakata yang trendi pasca merebaknya perlawanan terhadap pelecehan, kelompok politik konservatif ini menggunakannya. Mereka tidak perlu capek-capek mempelajari teologi Mutazillah dan membuat argumen, tidak perlu juga membuat materi humor apalagi susah payah belajar tentang feminisme. Hal yang diperlukan oleh mereka adalah mengambil elmen-elmen budaya populer dan menjadi kontra dari hal tersebut. Seperti petisi anti-Blackpink atau mengharamkan PUBG.

Gerakan Indonesia Tanpa-tanpaan hanyalah strategi marketing politik yang memanfaatkan tren ideologi atau budaya yang sedang populer untuk menjadi sarana mereka panjat sosial khususnya melalui media. Dengan pemberitaan dan terus-terusan kita membahas mereka, kita sama saja memberikan jalan bagi agenda politik mereka untuk berkembang.

Lantas apa yang dilakukan untuk menyikapi kelompok politik konservatif semacam ini? Pertama kita harus melihat ke dalam diri kita. Siapakah yang mempopulerkan mereka? Itu adalah diri kita sendiri. Kita masih berpikir dalam kerangka persaingan bahwa gerakan kita lebih baik dari mereka. Lalu kita beramai-ramai melakukan hinaan kepada mereka. Popularitas mereka berada pada jari jemari kita. Kita yang memberikan peluang bagi orang-orang yang sedang ingin mencari tahu terarah pada wacana Indonesia Tanpa Ini dan Itu. Foucault menyatakan di mana ada kekuasaan, di situ ada perlawanan. Perjuangan kelompok feminis menghasilkan banyak kemajuan bagi kelompok perempuan di Indonesia mulai dari UU Anti KDRT hingga afirmasi dalam pencalonan legislatif. Jangan biarkan wacana feminisme yang kita bangun hari ini menjadi teralih. Jangan sampai kita akan sibuk "membela” bahwa feminisme tidak begitu dan begini dibandingkan membangun pemikiran dan cara bagaimana feminisme memanusiakan perempuan.

Penulis @Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.