1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pameran Dunia Pelacuran

29 Mei 2006

Sebuah pameran unik di Hamburg, diselenggarakan dengan riset mendalam. Sampai diperpanjang untuk memberi kesempatan pada para penonton Piala Dunia 2006.

https://p.dw.com/p/CPWx
Herbertstrasse, jalan khusus pelacuran di Hamburg
Herbertstrasse, jalan khusus pelacuran di HamburgFoto: dpa

Sementara di Indonesia gempar pro dan kontra memperdebatkan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi/ RUU APP, di kota Hamburg Jerman sejak bulan November 2005 diselenggarakan pameran tentang Pekerja Seks dengan tema "Pelacuran, antara Miton dan Kehidupan Nyata."

Elisabeth von Dücker, penggagas dan kurator menyatakan, pameran ini dipersiapkan lebih dari tiga tahun. Dijelaskannya:

"Pameran ini ingin menggambarkan bahwa pelacuran itu adalah dunia kerja yang digeluti oleh terutama kaum perempuan yang memiliki kehidupan primadinya juga. Jadi kaum perempuan pekerja seks itu adalah, manusia normal saja, yang masuk ke industri ini untuk mencari hidup"

Von Dücker menegaskan pula, harus dibedakan antara dunia pelacuran sebagai profesi sah para pekerjanya, dengan pelacuran paksa yang melibatkan suatu sindikat kejahatan.

"Kami menentang pelacuran paksa. Karena pelacuran paksa adalah kejahatan. Berbeda dengan pelacuran, yang merupakan suatu profesi".

Elisabeth von Dücker juga menyatakan dukungannya pada berbagai kelompok yang berusaha mencegah terjadinya pelacuran paksa selama Piala Dunia 2006. Sebuah kelompok menyatakan, setidaknya 40.000 perempuan akan membanjiri Jerman selama Piala Dunia 2006, sebagai pekerja seks dadakan. Sebagian besar di antara mereka adalah perempuan yang dipaksa menjadi pelacur.

Hamburg merupakan salah satu kota yang paling banyak di sorot, akrena di sini terdapat sebuah kompleks hiburan malam terbesar, dan pusat pelacuran resmi paling besar di Jerman. Namun justru karena itu, banyak warga Hamburg yang yakin, pelacuran paksa itu tidak akan banyak terjadi di kota pelabuhan ini. Karena sistem pengelolaan industri seks di sini sudah sangat tertata.

Wilayah pelabuhan seringkali merupakan tempat subur untuk tumbuhnya pelacuran. Bukan kebetulan, Hamburg adalah pelabuhan terbesar di Jerman dan terbesar kedua di Eropa. Dan pameran yang diadakan di Museum der Arbeit ini, seperti membuka selayar tabu dan menggelitik pergumulan moral di masyarakat.

Inggrid Wärning seorang guru dan juga pembuat film dokumentasi tentang pameran berkomentar :

"Bagi saya agak aneh pergi ke tempat pameran tsb. Sebab saya pikir, oh...Tuhan...oh Tuhan. Apa yang harus saya lihat di sana? Sedikit menakutkan. Walaupun bagi saya Pekerja seks bukan hal yang baru. Saya tinggal di Hamburg dan kenal tempat-tempat pelacuran.Tetapi melalui pameran untuk memasuki alam kehidupan pelacur hal ini membuat perasaan saya gelisah. Saya tidak bisa menggambarkan perasaan saya karena sangat kompleks."

Di pameran yang berlangsung selama setengah tahun ini, dunia pelacuran dipresetasikan sangat memikat dan artistik. Baik dalam penataan ruang, penyajian material yang cukup informatif dan sistimatis. Sehingga kendati banyak benda-benda yang berkaitan dengan masalah seksual dipamerkan, tidak ada kesan cabul. Dari mulai celana dalam, kutang sampai alat bantu hubungan seks.

Misalnya, ruang pertama pameran diciptakan seperti salon atau kamar tidur. Dinding, tempat tidur, sofa, serta peralatan kamar, semua berwarna merah. Di atas tempat tidur berserakan pakaian dalam perempuan. Dalam ruang ini pengunjung diajak merasakan suasana kamar tempat bermain cinta. Ruang selanjutnya diciptakan seperti lorong, kamar-kamar dengan ilustrasi suara tawar menawar antara penjajah dan pembeli seks. Atau suara bagaimana pria mau dan sanggup membayar tinggi asalkan diperkenankan berhubungan seks tanpa kondom. Sehingga suasananya seperti sedang menyusuri bordil atau kompleks pelacuran. Dalam ruang setiap kamar mempunyai tema sendiri.

Tema, bagaimana situasi tempat bekerja menunggu tamu dan cara pelayanan pekerja seks. Misalnya, pelacur yang bekerja di jalanan, di kompleks pelajuran, di klub, panti pijat, telepon seks,dsb. Dipapar juga sejarah industri seks, kaitan pelacuran dan narkotika serta perdagangan manusia, pelacur dan para pelanggannya, Kesehatan , pekerja seks imigran, bagaimana situasi pekerja seks di eropa dan negara lainnya, perjuangan para pekerja seks untuk menuntut haknya,dll.

Ketika Inggrid Wärning sebagai pengunjung ditanya, apa maknanya pameran Pekerja seks bagi masyarakat Ia menjawab :

"Untuk masyarakat atau untuk orang banyak, ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengenal dunia yang selalu disembunyikan atau ditabukan. Juga bagi kaum pria yang pergi ke pelacur secara sembunyi-sembunyi dan tak pernah membicarakannya kepada siapapun lalu kemudian datang ke pameran bersama istri atau pacarnya. Hal ini merupakan sebuah tema baru, tentunya. Pameran ini penting untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas bagi masyarakat untuk melihat kembali persoalan pekerja seks sebagai bagian dari persoalan mereka."

Sebagai profesi legal di Jerman, pelacuran menghasilkan uang pajak bagi kas negara sekitar 14 miliar per tahunnya. Pajak ini dikutip pemerintah, bagik dari para pelacur yang terorganisasi, maupun dari para pelacur independen. Para pelacur sendiri, seperti dikatakan Kaiser, seorang pengamat dunia huburan malam Hamburg, berhak mengadu kepada polisi, jika mendapat perlakuan buruk dari pelanggannya.

Dikatakan Kaiser: "Dulu para pelacur tak mau melapor kalau mendapat kekerasan atau ditipu pelanggannya. Karena pelacuran sendiri merupakan tindakan melanggar hukum. Jadi kalau melapor, si pelacurnya sendiri bisa diotangkap. Namun sesudah menjadi pekerjaan legal, dan pelacurnya terdaftar, ia bisa melaporkan pelanggan kepada polisi. Jadi, ia dilindungi hukum".

Kendati begitu, dalöam kenyataannya, tetap saja banyak pelacur yang menjadi korban dari berbagai persoalan. Dan hal itu tergambar dengan sangat menarik, di pameran dunia pelacuran di Hamburg: Sexarbeit: Prostitution – Lebenswelten und Mythen. Pameran ini sedianya berlangsung sampai Juni, namun diperpanjang hingga Agustus. Untuk memberi kesempatan pada para penggemar bola yang datang untuk Piala Dunia, agar bisa memperoleh gambaran lain dari dunia kerja paling tua di dunia.