1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pakistan Dalam Bayangan Sang Mesias

Esther Felden17 Januari 2013

Seorang ulama membuat geger politik Pakistan. Tahir ul-Qadri memobilisasi ribuan orang untuk menentang korupsi. Ia mewakili ketidakpuasan yang merajalela di kalangan masyarakat bawah. Siapa sebenarnya sosok berjubah ini?

https://p.dw.com/p/17LAK
Tahir ul Qadri, a prominent religious scholar, talks to supporters during a sit-in protest in Islamabad, Pakistan, 15 January 2013. Thousands of supporters of Tahir ul Qadri, who started his march from the eastern city of Lahore on 13 January, reached Islamabad on 15 January, to demand political reforms. Tahir ul Qadri, wants authorities to implement election reforms ahead of a parliamentary vote which should be held within 60 days after the term of the current assembly expires in March 2013. EPA/T. MUGHAL pixel Schlagworte
Foto: picture-alliance/dpa

Sampai beberapa bulan lalu tidak seorangpun mengenal sosok ulama yang kini menggoyang panggung politik Pakistan itu. Muhammad Tahir ul-Qadri baru berjejak di tanah airnya bulan Desember, setelah menetap lama di Kanada. Kehadiran Qadri di Islamabad membawa aroma yang sama seperti kepulangan Imam Khomeini ke Iran nyaris tiga dekade lalu.

Sekitar seratus ribu penduduk menyambutnya di jalan-jalan kota Lahore. Qadri bersumpah, 14 Januari akan menjadi hari bagi "revolusi demokratis," hari ketika "satu juta orang" akan membanjiri Islamabad untuk menuntut reformasi undang-undang hak pilih dan pembentukan pemerintahan transisi. Dalam Pemerintahan transisi Perdana Menteri Raja Pervez Ashraf dan para pendukungya tidak mungkin ikut serta. 

Hari perhitungan yang dikumandangkan Qadri urung terjadi. Hingga 14 Januari ia masih belum tiba di Islamabad. Terlalu banyak manusia yang memblokir jalannya untuk menyambut sang idola. Aksi long march yang bermula dari Lahore itu baru tiba sehari kemudian di Jinnah Aveneu, sebuah jalan protokoler selebar enam jalur yang membentang antara tepi barat Islamabad hingga ke Istana Kepresidenan di Timur. Selama itu pula para pendukungnya bertahan di sepanjang jalan, meski jarum temperatur menunjukkan minus lima derajat celcius.

Qadri lantas memberikan ultimatum selama 24 jam bagi pemerintah Pakistan untuk memenuhi tuntutannya. Tapi kabinet Ashraf tetap bergeming. Sejak saat itu Qadri bertahan di Islamabad. Ia berulangkali tampil untuk mengulang tuntutan atau cuma sekedar memompa daya tahan para pendukungnya.

Ahli Hukum Yang Taat Beragama

Meski tinggal di Kanada selama nyaris sepuluh tahun dan berstatus sebagai warga negara, sosok berusia 61 tahun yang sering tampil dengan rambutnya yang putih keabu-abuan dan pandangan serius di balik kacamata itu bukan muka baru di tanah airnya.

Qadri lahir pada 19 Februari 1951 di provinsi Punjab. Setelah menyelesaikan studi hukum di Lahore, ia dengan cepat merangsek ke barisan terdepan gerakan Islam moderat di Pakistan. Qadri sempat diangkat sebagai penasehat Mahkamah Agung dan pengadilan Syariah untuk urusan hukum Islam, sebelum kemudian ditarik untuk jabatan yang sama oleh Kementrian Pendidikan Pakistan.

Tahun 1981 ia mendirikan gerakan "Minhaj ul-Quran" yang mendeklarasikan tatanan sosial berbasis al-Quran sebagai wujud "Islam sejati". Organisasi bercorak Islam Sunni itu hingga kini terwakili di 90 negara, di antaranya Indonesia, dan memiliki 500 pesantren di seluruh dunia. Simpatisan "Minhaj ul-Quran" dikenal berhaluan moderat dan liberal.

Hal ini juga diutarakan oleh Dr. Christian Wagner, seorang pakar Pakistan di Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Politik di Berlin. "Ia tidak sehaluan dengan kelompok esktremis Islam di Pakistan. Tulisan-tulisannya juga banyak membahas agama-agama lain," kata Wagner kepada DW. "Tuntutan Qadri lebih mirip Islam moderat seperti yang kita kenal dari Pakistan." Nama Qadri melambung saat mengeluarkan fatwa mengharamkan aksi bom bunuh diri tahun 2010 saat masih berada di Kanada. Menurutnya pelaku pemboman merupakan musuh Islam.

Sejumlah orang mencurigai Qadri sebagai perpanjangan tangan militer. Pemerintah Pakistan menudingnya berusaha menunda penyelenggaraan pemilu dengan menggelar aksi protes.

Ambisi Politik

Aksi demonstrasi di Lahore dan Islamabad beberapa hari lalu bukan manuver politik pertama yang dibuat Qadri. Ambisi politiknya dimulai tahun 1989 saat ia mendirikan Partai "Gerakan Rakyat Pakistan." 13 tahun kemudian Qadri bahkan mencalonkan diri untuk jabatan perdana menteri.

Namun rencananya kandas seusai pemilu, kata penulis Pakistan Mohsan Raza Khan, "partainya cuma mendapat satu kursi di parlemen dan Presiden Pervez Musharraf bahkan tidak mempertimbangkannya untuk jabatan di kementrian." Sebagai konsekeuensinya Qadri mengundurkan diri dari parlemen dan mengungsi ke Kanada.

Buat Khan kepulangan Qadri ke Pakistan sama mengejutkannya seperti aksi long march ke Islamabad, "ia mengumpulkan ribuan orang dan mendesak reformasi sistem pemilu," katanya. "Ada seorang demonstran di Islamabad yang lantaran memiliki dua kewarganegaraan tidak memiliki hak suara," tukasnya menambahkan.