1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikRwanda

Pahlawan Genosida Rwanda Divonis Bersalah Dukung Terorisme

20 September 2021

Kepadanya dijatuhkan sembilan dakwaan, antara lain makar dan terorisme. Tapi rival Presiden Paul Kagame itu menolak tuduhan kejaksaan, dan mengaku diculik paksa dari pengasingan di Dubai untuk diadili di Kigali.

https://p.dw.com/p/40Ynb
Paul Rusesabagina (ka.) bersama 19 terdakwa lain dalam pengadilan di Kigali, Rwanda, (18/2).
Paul Rusesabagina (ka.) bersama 19 terdakwa lain dalam pengadilan di Kigali, Rwanda, (18/2).Foto: Simon Wohlfahrt/AFP/Getty Images

Pengadilan Rwanda memutuskan Paul Rusesabagina terbukti ikut terlibat dalam kelompok bersenjata yang bertanggungjawab atas serangan teror. 

"Mereka (terdakwa) dinyatakan bersalah menjadi bagian dari kelompok teror ini – MRCD-FLN,” kata hakim Beatrice Mukamurenzi kepada 20 terdakwa, termasuk pahlawan genosida itu, Senin (20/9).

Rusesabagina dikenal lewat perannya mengecoh ekstremis Hutu demi melindungi pengungsi Tutsi yang berlindung di hotelnya. Saat itu sebanyak 800.000 warga etnis Tutsi dibantai dalam hanya tiga bulan. Kisahnya pernah difilmkan untuk diputar di bioskop dengan judul Hotel Rwanda.

Dalam pengasingannya usai tragedi tersebut, Rusesabagina banyak bersitegang dengan Presiden Paul Kagame, usai satu per satu tokoh oposisi menghilang tanpa jejak. Dia menuduh sang presiden bersikap otoriter, dan gemar menghasut kebencian anti-Hutu.

Saat diinterogasi dalam penahanan di Kigali, Oktober 2020 lalu, dia mengaku ikut membidani pembentukan sayap bersenjata di bawah Fron Pembebasan Nasional (FLN). "Kami membentuk FLN sebagai sayap bersenjata, bukan sebagai grup teroris seperti yang selalu dikatakan jaksa penuntut,” kata dia. 

Rusesabagina mengakui FLN  beroperasi di bawah partai politiknya sendiri, Gerakan Rwanda Untuk Perubahan Demokratis (MRCD), yang aktif sejak 2017. "Saya tidak membantah FLN melakukan tindakan kriminal, tapi peran saya hanya diplomasi,” imbuhnya. 

"Penghilangan paksa" di Dubai

Pada pertengahan 2018, kelompok bersenjata menyerang desa-desa terpencil di perbatasan dengan Burundi. Serangan paling mematikan terjadi di desa Nyabimata, di mana tiga orang meninggal dunia. 

Pemerintah menuduh FLN bertanggungjawab atas serangan tersebut. Beberapa bulan berselang, tulis harian New York Times, Rusesabagina merilis video di mana dia menegaskan akan mewujudkan perubahan "dengan segala cara.” 

Dari balik penjara, dia bersaksi tidak mengingat adanya video itu.

Kejaksaan menuntut hukuman seumur hidup dengan sembilan dakwaan, termasuk terorisme, penyanderaan dan pembentukan kelompok bersenjata dengan niatan makar. 

Namun belum sempat hakim membacakan putusan, salah seorang terdakwa jatuh sakit. Akibatnya sidang pembacaan putusan ditunda. 

Persidangan terhadap 20 terdakwa dimulai Februari silam, enam bulan setelah Rusesabagina tiba dengan pesawat dari Dubai. Pendukungnya menuduh dia diculik, bukan ditangkap. Dia diklaim ditipu oleh pemerintah Rwanda agar menaiki pesawat dan datang ke Kigali.

Organisasi HAM, Human Rights Watch, mengatakan penangkapannya memenuhi kriteria penghilangan paksa, dan merupakan pelanggaran serius hukum internasional.

Pemerintah Rwanda sebaliknya bersikeras Rusesabagina ditangkap dengan "surat penahanan internasional.” Hal ini dibantah oleh kuasa hukumnya, Vincent Lurquin, yang mengatakan aparat "menggotongnya menaiki pesawat jet pribadi, memberinya obat tidur dan membangunkannya di Kigali.”

rzn/hp (rtr, afp)