1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Organisasi KTT Iklim di Kopenhagen Kacau

17 Desember 2009

Konferensinya sekarang memasuki masa kritis dan sulit. Tepat di fase panas itu terjadi kekacauan organisasi di Kopenhagen, dengan mundurnya ketua KTT Iklim Connie Hadegaard.

https://p.dw.com/p/L6TZ
Polisi Denmark yang kewalahan beban tugas, menangkap demonstran pengritik KTT Iklim di Kopenhagten.Foto: AP


KTT Iklim di Kopenhagen tetap menjadi tema komentar dalam tajuk harian-harian internasional.

Harian liberal Italia La Stampa yang terbit di Turin dalam tajuknya berkomentar : Barangkali, di fase yang kelihatannya amat sulit ini, diwarnai dengan pengunduran diri secara mendadak ketua konferensi, para kepala negara dan kepala pemerintahan yang berkumpul di Kopenhagen tetap masih dapat mencapai kesepahaman. Atau bahkan mungkin mereka membubuhkan tanda tangannya di bawah sebuah kesepakatan hasil kompromi bersama. Namun, tetap saja kesepakatan semacam itu merupakan hasil yang mengecewakan. Sebab, setelah perdebatan tajam dalam beberapa hari silam, kesepakatan yang akan tercapai ibaratnya tidak lebih dari sekedar udara panas yang gampang menguap.

Harian Swiss Basler Zeitung yang terbit di Basel berkomentar : Pergantian kepemimpinan KTT, setelah fase awal konferensi yang sebagian kacau balau, dimana perundingan selalu mengalami kemacetan, secara reflex akan ditafsirkan sebagai kegagalan Connie Hedegaard. Terlebih lagi, ketua KTT Iklim itu menyatakan mundur di tengah fase perundingan yang amat kritis. Tapi sebetulnya praduga itu keliru. Sebab pergantian pimpinan sudah diputuskan sejak awal konferensi. Tujuannya agar Obama, Merkel dan Sarkozy dalam tahap akhir konferensi, akan berhadapan dengan ketua konferensi yang posisi politiknya setaraf. Yang lebih parah ketimbang pergantian personal puncak yang tidak dikomunikasikan secara baik, adalah hasil sementara konferensi yang kurang berbobot.

Harian radikal kanan Spanyol El Mundo yang terbit di Madrid berkomentar : Hasil akhir dari KTT Iklim paling banyak adalah kompromi minimal. Tapi satu hal sudah dapat dipastikan dari sekarang. Dari sisi organisasi, KTT Iklim di Kopenhagen sudah gagal total. Setiap harinya, ribuan peserta harus terlantar di luar gedung konferensi, karena di dalam gedung tempatnya tidak cukup. PBB memberikan akreditasi bagi 46.000 peserta, walaupun diketahui kapasitasnya terbatas hanya untuk 15.000 peserta. Di sisi lainnya, para penentang sistem terlibat bentrokan kekerasan di jalanan dengan polisi Denmark yang kewalahan menghadapi situasi di luar kemampuannya. Jika KTT Iklim itu dianggap sebagai acara “happening art“ menyangkut dampak mengerikan perubahan iklim, seharusnya bukan kekacauan semacam itu yang ditampilkan.

Dan terakhir harian Perancis Le Figaro yang terbit di Paris mengomentari peranan presiden Nicolas Sarkozy dalam KTT Iklim itu : Perancis berusaha menciptakan ketertiban dalam situasi kacau itu. Sarkozy mendekati Brazil, sebuah negara kunci bagi perlindungan iklim, mengingat negara pemilik hutan tropis terbesar itu sedang berada pada tahap pembangunan. Juga mendekati negara-negara Afrika, yang merupakan benua yang paling parah dilanda dampak perubahan iklim. Targetnya, menemukan konsensus agar negara-negara besar itu dapat diajak ikut berada di perahu yang sama. Tidak peduli, apakah di Kopenhagen akan tercapai kesepakatan atau tidak. Pembentukan sebuah organisasi perlindungan iklim global kini sudah sangat mendesak.

AS/AR/dpa/afpd