1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Orang Indonesia, Homo WhatsAppensis?

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
6 Februari 2021

Soal hijrah dari WA ke platform lain. Geger Riyanto memperhatikan bedanya budaya Indonesia vs Jerman lewat kacamata Whatsapp.

https://p.dw.com/p/3ciXO
Aplikasi
Gambar IlustrasiFoto: picture-alliance/dpa/W. Kastl

Kalau Anda mahasiswa tingkat akhir, rasanya aneh kalau Anda tidak punya nomor WhatsApp pembimbing Anda. Kecuali pembimbing Anda baru mengenal SMS atau masih memakai telepon koin, Anda akan menghubunginya via aplikasi tersebut. 

“Apakah Bapak ada waktu besok?” demikian pesan yang Anda kirimkan suatu petang.

“Oke,” ia menjawab.

Urusan ia membalasnya tak nyambung, baru seminggu kemudian merespons, atau tidak menimpali sama sekali ialah hal lain. Yang bisa dipastikan kalau ia merupakan pembimbing Anda, Anda akan memiliki kontak WhatsAppnya.
 
Kawan saya di Jerman sudah menyusun disertasi sejak tahun 2012. Mau tahu apa? Ia tak pernah memiliki nomor WhatsApp maupun telepon pembimbingnya hingga hari ini. Mereka akan mengatur janji pertemuan selanjutnya melalui surel atau dalam pertemuan silam. Namun, tidak ada malam-malam di mana ia frustrasi dengan tulisannya sendiri, mengontak pembimbingnya via nomor teleponnya, dan mengharapkan jawaban langsung darinya.

“Adakah yang punya nomor Bruno?” teman saya dari Meksiko bertanya ke grup WhatsApp mahasiswa S3 nomor pembimbingnya di Universitas Heidelberg. Ia punya urusan mendesak dengan sang pembimbing. Grup WhatsApp hening. Tidak ada yang memiliki nomornya tampaknya. WhatsApp atau kontak aplikasi chatting merupakan akses kontak yang dianggap sangat pribadi. Seseorang sulit mendapatkan nomor yang lain kecuali ia dianggap seorang teman atau secara profesional dituntut berhubungan dekat dengannya.

Semua Lewat WhatsApp

Namun, di Indonesia asas yang lain berlaku. Kontak melalui WhatsApp bukan hanya dibagikan seperti kacang goreng. Ia akan mempermudah segala urusan ketimbang berhubungan lewat kanal-kanal komunikasi lain. Saya tak menyadari hal ini sampai dengan seorang kawan, peneliti antropologi dari Jerman, membagikan pengalamannya. Ia harus mengurus izin penelitian ke Kementerian Riset dan Teknologi. Ia menghubungi kantor yang berwenang via surel. Tidak ada yang membalas.

Perizinan penelitian yang ruwet mendadak jadi mudah selepas ia mendatangi langsung kantor Kemenristek terkait dan mendapatkan kontak WhatsApp salah satu stafnya. Ia tak lagi berada dalam labirin gelap birokrasi. Sang staf membimbing serta membantunya dalam setiap proses yang perlu ditempuhnya.

Barry Dunning, seorang warga negara asing yang bekerja di Jakarta membenarkan ini. “Di Indonesia, tampaknya tidak ada yang mengirimkan surel pekerjaan. Semuanya dilakukan melalui WhatsApp, khususnya WhatsApp groups,” tulisnya. Ia pun sempat kewalahan dengan banyaknya pesan yang terkirim via WhatsApp serta grup yang dibuat untuk setiap pekerjaan baru. 

Beberapa minggu berlalu, ia menjadi orang yang getol mengusulkan “ayo bikin grup buat [pekerjaan] ini.”

@gegerriy Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Lihat HP Terus

Dalam satu lokakarya di Frankfurt, saya sempat meminta teman saya buat melihat apa yang ada di meja para peserta. Yang di mejanya tidak ada gawainya, saya bilang, kemungkinan adalah orang Jerman. Terkaan ini sekadar lucu-lucuan dan bukan terkaan yang bertanggung jawab. Lucunya, terkaan ini cukup tepat.

Rekan saya orang Jerman merasa seseorang tak wajib membalas pesan di aplikasi chat dengan cepat. Ia memperlakukannya sama dengan surel. Ia dapat dijawab nanti selepas pekerjaan atau urusan yang tengah dihadapi kelar. Kita, agaknya, suka mengatakan demikian juga kepada diri kita sendiri. Pesan ialah urusan belakangan. Pada kebanyakan waktu, kenyataannya, kita tidak melakukannya. Ketika saya mengajar di kelas di Indonesia, mudah menemukan mahasiswa yang senyum-senyum sendiri sambil melihat ke arah selangkangan. Ia pasti terhibur dengan apa yang terpapar di gawainya, tentunya, bukan selangkangannya.

Seorang teman di Jerman yang sempat tinggal di Indonesia bertanya-tanya mengapa orang Indonesia tak bisa berhenti memeriksa gawainya. “Kalau saya sih,” saya cerita, “karena merasa dituntut membalas setiap pesan dengan cepat.” Saya merasa membalas pesan teman saya di Jerman di malam atau keesokan harinya ialah hal yang wajar. Namun, bila saya melakukan hal yang sama kepada teman-teman saya di Indonesia, mereka dipastikan akan mengeluh. Saya mengabaikan pesan bos saya untuk beberapa jam? Posisi saya bakal terancam.

Teman saya itu kontan merasa tercerahkan dengan pengamatan saya. Kami, lantas, sampai ke kesimpulan bahwa norma ini menjelaskan mengapa WhatsApp menjadi sarana komunikasi yang efektif bagi orang Indonesia.

Ramah-ramah?

Orang Indonesia acap menyandang predikat orang yang baik dalam survei-survei. Orang Indonesia paling ramah, katanya. Mereka juga yang paling dermawan dan ringan tangan dalam menolong. Saya biasanya menganggap survei semacam ini sebagai lucu-lucuan dan tidak relevan dengan pekerjaan maupun kehidupan saya. Namun, bukan tidak mungkin mereka juga ada benarnya.

Penjelasannya, bukan tidak mungkin orang Indonesia mudah merasa tidak enak bila ada permintaan dari orang lain dan akan meladeni permintaannya sampai habis dulu. Bukan tidak mungkin karena kita dididik untuk selalu bersama yang lain sejak kecil, kita tidak enak menolak ajakan percakapan dari yang lain. Dan pada akhirnya, ini berhubungan dengan mengapa orang Indonesia mudah diajak berkomunikasi via aplikasi pesan pribadi ketimbang surel, yang tidak kurang mengisyaratkan kehadiran aktif lawan berbicara.

Dan konsekuensinya sebenarnya juga tak selalu baik. Kita tak bisa menolak ketika sesudah tiba di rumah, pesan tentang pekerjaan masih datang bertubi-tubi. Kita tidak enak bila tak membalas pesan atasan meski jam menunjukkan masih dini hari. 

Orang Indonesia getol dan ramah di WhatsApp. Kita sebut saja mereka Homo WhatsAppensis. Akan tetapi, ini bukan kearifan khas Indonesia yang selalu membanggakan.

@gegerriy 
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. 
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini