1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Optimisme vs Pesimisme di KTT Iklim

14 November 2006

Para utusan resmi memandang adanya perkembangan positif. Sementara dalam pandangan para wakil masyarakat sipil konferensi ini berjalan terlalu lamban.

https://p.dw.com/p/CIxi
Menteri Lingkungan Kenya Kivutha Kibwana
Menteri Lingkungan Kenya Kivutha KibwanaFoto: AP

Dunia mengalami perubahan iklim yang sangat cepat, yang diakibatkan ulah manusia. Yang paling jelas, terlihat dari drastisnya peningkatan ketinggian permukaan laut dan mencairnya bongkahan es di kutub bumi. Kedua hal itu, serta berbagai bukti sangat kuat lainnya menyangkut peran manusia dalam merusak lingkungan dipapar dalam sebuah laporan yang akan diluncurkan Februari nanti.

Laporan itu disusun berdasarkan penelitian selama 6 tahun oleh sekitar 2000 ilmuwan dunia yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC. Data-data penelitian itu dibawa IPCC dalam Konferensi Perubahan Iklim Dunia yang berlangsung di Nairobi, Kenya, sejak tanggal 6 hingga 17 November mendatang. Disebutkan Rajendra K. Pachauri, Kepala IPCC, dengan bukti-bukti itu seharusnya para peserta Konferensi Perubahan Iklim terdorong untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang berarti.

Di pihak lain, para wakil organisasi resmi cukup optimis, bahwa sejumlah pencapaian positif bisa dipacu di pekan kedua konferensi Nairobi. Misalnya mengenai topik adaptasi, atau langkah penyesuaian terhadap perubahan iklim, yang ditujukan bagi rakyat di dunia ketiga yang terutama banyak menggantungkan hidup dari alam, seperti petani dan nelayan. Para wakil dunia ketiga, baik pemerintah dan organisasi non pemerintah, mendesakan anggaran dana adaptasi untuk rakyat kecil yang terkena dampak, disertai pencairan gampang dan segera. Perundingan mengenai masalah adaptasi ini sepertinya akan menghasilkan keputusan yang lumayan. Seperti digambarkan Yvo de Boer, Kepala Sekretariat Urusan Iklim PBB:

"Saat ini saya sangat optimis. Saya kira pekan pertama ini berjalan dengan sangat baik. Kami berbicara sangat konstruktif mengenai masalah yang dihadapi negara-negara berkembang. Kami sedang merampungkan sebuah program kerja untuk jangka 5 tahun yang berkaitan adaptasi, atau penyesuaian dampak perubahan iklim. Ini sangat penting untuk negara-negara berkembang. Sejauh ini, dicapai kemajuan yang sangat berarti. Kami juga merundingkan bantuan-bantuan dana yang ditujukan untuk membantu negara-negara itu dalam proses-proses adaptasi. Misalnya pembangunan tanggul. Ini berlangsung sangat konstruktif."

Optimisme ini diamini oleh Kivutha Kibwana, Menteri Lingkungan Kenya yang juga ketua panitia penyelenggara.

Lain pejabat organisasi resmi, lain pula wakil organisasi masyarakat. Christoph Bals, ahli iklim dari Germanwatch, justru merasa gemas. Menurutnya, para perunding di Konferensi Nairobi ini harusnya lebih tanggap dalam membahas berbagai topik gawat. Dikatakannya:

"Minggu pertama ini sangat lamban. Para perunding lebih banyak bersilat lidah, sehingga tidak banyak perkembangan berarti. Karenanya kami berharap, para menteri lingkungan lebih dinamis dalam perundingan-perundingan itu. Mereka harus berunding dengan tekad lebih besar untuk mencapai hasil. Untuk itu para menteri harus memperluas mandat masing-masing. Sekarang ini, para perunding selalu sibuk dalam perdebatan teknis dan karenanya cuma mengakibatkan mandeknya perundingan. Ini sangat menyedihkan."

Namun terlepas dari kritik-kritik itu, Kivutha Kibwana melihat, pencapaian dalam perundingan pekan pertama ini harus diikuti berbagai langkah kongkret. Disebutkan Kivutha Kibwana:

"Kita mengharapkan bahwa negara-negara maju bersama negara berkembang dan negara miskin akan bekerja bersama. Pasti ada kepentingan nasional masing-masing, namun ada tanggung jawab untuk memastikan bahwa kita berbuat nyata untuk mengatasi perubahan iklim di seluruh muka bumi. Lalu kita menantikan langkah berikutnya dari negara-negara maju untuk mendukung negara yang lebih lemah, lebih miskin, dalam hal dana adaptasi, alih teknologi, peningkatan keahlian khusus menghadapi perubahan iklim dan lain-lain."

Konferensi Perubahan Iklim masih akan berlangsung hingga 17 November mendatang. Dan selama sepekan tersisa ini, para perunding akan berjuang menghasilkan berbagai kesepakatan menangani perubahan iklim. Sayangnya, negara pencemar terbesar, dipastikan masih tidak akan terlibat dalam langkah nyata mengurangi kadar emisi gas rumah kaca.