1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dunia Nantikan "Show" Donald Trump dan Kim Jong Un

11 Maret 2018

Sebelumnya, Donald Trump dan Kim Jong Un saling melontarkan ancaman dan hinaan. Sekarang, tiba-tiba keduanya ingin bertemu. Ini perubahan yang mengejutkan, ujar kepala redaksi Asia DW, Alexander Freund.

https://p.dw.com/p/2u7CZ
Südkorea | Zeitungsleser - Treffen von Trump und Kim geplant
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Ahn Young-Joon

Semua bertepuk tangan, termasuk Cina dan Rusia. Rencana pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un akan menjadi momen bersejarah.

Jelas sudah pertemuan antara kedua pria alpha, Trump dan Kim, akan menjadi sorotan media dan masing-masing dapat menampilkan dirinya sebagai pemenang. Trump bisa mengklaim bahwa pendekatannya yang keras dan retorikaterhadap Korea Utara membuahkan hasil dan ia sukses meyakinkan sang "Rocketman."

Freund Alexander Kommentarbild App
Alexander Freund - Kepala Redaksi DW Asia

Sementara Kim Jong Un, akan menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang sukses bagi warganya yang terisolasi -  berkat tes nuklir dan rudalnya ia berhasil memaksa Trump, yang disebutnya "pria tua pikun", untuk berunding layaknya dua pihak yang setara.

Tapi yang lebih penting adalah melihat langkah-langkah apa yang akan disetujui oleh kedua pemimpin pada pertemuan puncak simbolik tersebut. 

Sebagai imbalan atas jaminan keamanan yang luas kepada Korea Utara dan kepemimpinannya, Kim dapat menyetujui penghentian uji coba nuklir dan rudal, bahkan pelucutan senjata nuklir di Semenanjung Korea.

Tapi Kim pasti akan menuntut harga tinggi untuk langkah seperti itu.

Sebagai gantinya, AS mungkin harus mengakhiri latihan militer bersama dengan Korea Selatan dan bahkan mungkin mengurangi kehadiran tentara Amerika di wilayah tersebut.

Bisa jadi Trump akan menyetujui kesepakatan seperti itu, karena dia bisa membanggakan kepada para pemilihnya bahwa dia telah melindungi AS dari rudal Korea Utara, sambil menghemat banyak uang pembayar pajak Amerika dengan mengurangi jumlah tentara yang ditempatkan di luar negeri.

Tapi masih diragukan apakah Korea Utara benar-benar sukses membuat bom hidrogen, dan mampu menyerang wilayah Amerika dengan rudalnya.

Biar bagaimanapun, aksi dan retorika Pyongyang berhasil. Korea Utara sekarang ditanggapi dengan serius dan berhasil mencapai meja perundingan.

Rezim Kim telah belajar dari masa lalu, dan dalam situasi apapun tidak ingin mengalami nasib yang sama seperti Saddam Hussein di Irak, atau Muammar Gaddafi di Libya.

Oleh sebab itu, Kim ingin memaksimalkan potensi ancaman Korea Utara. Tentu saja, sanksi yang kemundian menyertainya semakin menyulitkan negara yang sudah miskin itu. Namun warga Korut yang tertindas telah terbiasa dengan situasi seperti itu selama puluhan tahun.

Selain sosok kedua pria alfa tersebut, penting juga untuk melihat apa yang akan berubah bagi warga Korea Utara. Apakah mereka bisa hidup dalam kedamaian dan keamanan? Akankah keluarga yang telah terpisah selama berpuluh-puluh tahun bisa saling bertemu lagi? Apakah Korea Utara dan Korea Selatan akan dapat berangsur-angsur mengembangkan hubungan yang harmonis, dan bahkan bersatu kembali di masa yang akan datang?

Reunifikasi adalah harapan banyak pihak, apalagi setelah puluhan tahun menyakitkan dilewati dalam sejarah Korea.

Tapi kesenjangan antara Utara dan Selatan sekarang jauh lebih besar daripada yang ada antara Jerman Barat dan Timur pada saat masa reunifikasi. Rezim Korea Utara secara sistematis mengisolasi dan menindas rakyatnya, bahkan dengan mengoperasikan kamp konsentrasi.

Dalam konteks ini, pertemuan mendatang antara kedua pemimpin Korea serta showdown antara Trump dan Kim mungkin merupakan tonggak sejarah yang penting. Tapi untuk menciptakan rasa saling percaya dan rekonsiliasi akan memakan waktu lama dan hanya bisa berhasil jika orang-orang yang bersalah diadili. Saat itu terwujud, Trump dan Kim tinggal bagian sejarah saja.