1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nasib Korban Pencemaran Minyak Selalu Diabaikan

30 Juli 2010

Dalam banyak kasus pencemaran, perusahaan-perusahaan besar selalu bisa membayar pengacara-pengacara yang lebih baik dan akhirnya mereka menang.

https://p.dw.com/p/OYEz
Kapal Exxon Valdez berusaha menyalurkan muatan minyaknya ke kapal tanker yang lebih kecil, dalam bencana pencemaran di Alaska, 24 Maret 1989Foto: AP

Tanggal 24 Maret 1989 terjadi bencana pencemaran minyak yang sangat parah di Amerika Serikat. 40 ribu ton minyak mentah menyembur keluar dari kapal tangki minyak perusahaan Exxon Valdez dan mencemari kawasan sekitar Selat Prince William, di Alaska. Wilayah pesisir yang indah tinggal menjadi kenangan. Ratusan ribu burung dan ikan, serta ribuan mamalia mati.

Ganti Rugi Yang Tak Kunjung Datang

Warga sekitar langsung dijanjikan ganti rugi dalam jumlah besar. Tetapi realitasnya sangat beda, ujar Cindy Baxter dari Greenpeace, yang telah mengikuti cerita naas ini selama bertahun-tahun. "Setelah bencana ini Exxon membawa tuntutan ganti rugi ke instansi pengadilan. Jumlah 5 milyar Dollar yang awalnya dijanjikan menyusut menjadi 500 juta Dollar. Banyak orang yang tadinya menunggu ganti rugi, sekarang sudah meninggal. Ini juga berlaku kepada banyak pekerja yang turut serta dalam proses pembersihan cemaran minyak. Banyak dari mereka yang jatuh sakit karena zat-zat kimianya, yang digunakan oleh Exxon Valdez," ungkap Cindy Baxter.

Cindy Baxter cukup yakin, bahwa kelanjutannya akan mirip seperti ini dalam kasus bencana "Deepwater Horizon" di Teluk Meksiko. Sampai sekarang BP sudah mengeluarkan lebih dari tiga milyar Dollar untuk penanggulangan pencemaran. Dari jumlah ini, ganti rugi bagi korban tidak sampai 150 juta Dollar. Di sebagian besar wilayah bencana, bidang pariwisata dan perikanan tidak jalan lagi, padahal ini merupakan dua sumber utama mata pencarian warganya.

Flash-Galerie Ölpest USA
Ekosistem wilayah Teluk Meksiko juga turut rusak karena pencemaran minyak yang ditimbulkan akibat tenggelamnya anjungan minyak milik BP Deepwater HorizonFoto: AP

Bukan Yang Pertama dan Terakhir

Kasus Exxon Valdez bukanlah kasus satu-satunya. Masih ada kasus Probo Koala yang masih ditangani pengadilan di AMsterdam, Belanda. Agustus 2006, kapal kargo "Probo Koala" membuang sekitar 500 ton limbah beracun ke sebuah pembuangan sampah terbuka di Pantai Gading. Bencana ini menewaskan setidaknya 17 orang dan puluhan ribu menderita sakit sampai sekarang. Limbah ini terdiri dari sampah minyak mentah yang sangat beracun.

Kontraktornya adalah salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia, Trafigura. Tanpa mengaku salah, perusahaan ini menyepakati perjanjian dengan pemerintahan di Abijan dan membayar 150 juta Euro untuk pembersihan dan pembuangan limbah beracun tersebut. 31 ribu korban di kawasan bencana diberikan ganti rugi kecil, masing-masing senilai 1000 Euro atau sekitar 10 juta Rupiah.

Juga setelah akhir proses pengadilan di Amsterdam kali ini, warga di sana tidak bisa terlalu beharap akan mendapat ganti rugi tambahan. Justru sebaliknya, penduduk di wilayah kumuh Akuedo di Abijan harus kembali hidup di daerah yang tercemar, karena sampai sekarang limbahnya juga tidak dibersihkan.

Keruk Keuntungan Tanpa Pedulikan Masalah Sosial

Hal yang sama juga terjadi di delta Sungai Niger di Nigeria. Perusahaan Royal Dutch Shell mengebor minyak di sini dan mendapat banyak uang. Sementara penduduk di sana tidak dapat apa-apa. Sejak 50 tahun banyak perusahaan asing yang memproduksi minyak di wilayah ini. Menurut perkiraan para aktivis pelindung lingkungan, dua milyar liter minyak sudah mencemari delta Sungai Niger sejak itu. Ini sebanding dengan jumlah minyak yang menyembur ke laut dalam bencana kapal tangki minyak Exxon Valdez setiap tahunnya.

Minyak mentah menghancurkan rawa-rawa, hutan bakau dan sungai-sungai lain di Delta Sungai Niger. Ini adalah wilayah sebesar Portugal. Aktivis perlidungan lingkungan Ankio Briggs mengatakan:

Terserah dimana minyak dibor, perusahaan-perusahaan besar selalu mendapat keuntungan besar dan akibat sosialnya harus ditanggung oleh penduduk setempat. Dan dampak yang ditimbulkan bencana pencemaran minyak, menurut pakar Greenpeace Cindy Baxter, masih akan dirasakan sampai beberapa generasi.

Helle Jeppesen/Anggatira Gollmer

Editor: Yuniman Farid