1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Bencana

NASA: Kecepatan Gempa Palu Kejutkan Ilmuwan

5 Februari 2019

Gempa bumi di Palu diklaim bergerak dalam kecepatan 14.760km per jam di sepanjang sesar Sulawesi. Temuan tersebut mengubah persepsi dan pemodelan ilmiah tentang kecepatan gempa bumi.

https://p.dw.com/p/3Cisc
Foto sebelum dan sesudah gempa bumi yang disertai fenomena likuifaksi tanah mengguncang Palu.
Foto sebelum dan sesudah gempa bumi yang disertai fenomena likuifaksi tanah mengguncang Palu.Foto: picture-alliance/DigitalGlobe

Gempa bumi yang meluluhlantakkan kota Palu di Sulawesi Tengah September 2018 silam tergolong peristiwa langka yang cuma terjadi sebanyak 15 kali dalam catatan sejarah geologi. Gelombang seismik bergerak menelusuri sesar Bumi dengan kecepatan super yang memecahkan batas kecepatan geologis, klaim ilmuwan dari Laboratorium Propulsi Jet NASA (JPL) di Pasadena, California, AS.

Studi yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature Geoscience itu mengungkap retakan bergerak di sepanjang sesar dalam kecepatan yang sangat tinggi dan memicu gelombang naik turun atau sisi ke sisi yang mengguncang permukaan tanah dan menyebabkan likuifaksi. Getaran yang tercipta jauh lebih kuat ketimbang pada gempa bumi yang lebih lambat.

Baca juga: Memprediksi Gempa Susulan dengan Bantuan Komputer

Untuk mengungkap temuan tersebut ilmuwan menganalisa pengamatan resolusi tinggi spasial terhadap gelombang seismik yang disebabkan gempa bumi, radar satelit dan citra optis. Metode ini diperlukan buat menghitung kecepatan, tempo dan tingkat magnitudo gempa berkekuatan 7,5 pada skala Richter di Sulawesi Tengah.

Menurut JPL, gempa di Palu bergerak dalam kecepatan stabil, yakni 14,760 km per jam, dengan getaran terbesar terjadi selama satu menit. Gempa bumi biasanya terjadi dalam kecepatan antara 9.000 hingga 10,800 km per jam. Ilmuwan menemukan, dua sisi dari sesar sepanjang 150 kilometer itu bergeser sepanjang lima meter - jumlah yang menurut ilmuwan sangat besar.

"Memahami bagaimana sesar bergerak pada gempa bumi besar bisa membantu menyempurnakan pemodelan bahaya seismik dan desain bangunan serta infrastruktur lainnya agar bisa menahan gempa bumi di masa depan," kata salah satu penulis studi, Eric Fielding, ilmuwan JPL.

Menurut studi, Sesar yang retak menciptakan ragam jenis gelombang di tanah, termasuk gelombang geser yang menyebar dengan kecepatan 12.700 km per jam. Dalam gempa berkecepatan tinggi seperti di Palu, retakan yang bergerak cepat menyalip gelombang geser yang lebih lambat dan menciptakan efek domino yang menghasilkan gelombang seismik yang lebih mematikan.

Baca juga:Balaroa dan Petobo Terancam Jadi Kuburan Massal 

"Getaran yang intensif serupa seperti dentuman sonik pada pesawat jet," kata Lingsen Meng, seorang profesor di University of California dan salah satu penulis studi.

Ilmuwan terkejut oleh kecepatan gempa di Palu yang sangat konstan, mengingat bentuk sesar di Sulawesi Tengah sendiri. Selama ini ilmuwan meyakini gempa bumi berkecepatan tinggi alias supershear hanya terjadi pada sesar yang berbentuk lurus sehingga tidak menciptakan banyak rintangan bagi pergerakan gempa bumi.

Namun citra satelit patahan Palu justru menampilkan dua lekukan besar. Data menunjukkan gelombang sesimik bergerak dalam kecepatan konstan melalui dua lekukan tersebut.

Temuan tersebut mengubah persepsi ilmuwan dan pemodelan ilmiah terkait retakan gempa bumi, klaim penulis lain, Jean-Paul Anmpuero dari Université Côte d'Azur di Nice, Prancis. Meski begitu dia mengatakan pemodelan ini dikembangkan dengan jenis patahan yang ideal dan terdiri atas material yang homogen.

Baca juga: Bencana Palu Akibatkan Kerugian Rp 13,82 Triliun

"Patahan asli dikelilingi oleh batuan yang retak atau sudah diperhalus oleh gempa bumi sebelumnya," kata dia seperti dikutip di laman JPL. "Dalam teorinya, kecepatan yang tidak mungkin terjadi pada batuan yang sempurna bisa terjadi pada batuan yang sudah rusak."

Tidak lama setelah gempa mengguncang Sulawesi Tengah, lembaga antariksa Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) dan European Space Agency (ESA) memutar satelitnya agar bisa mengambil citra yang lebih detail dari Sulawesi untuk membantu analisa ilmiah. Data tersebut mendasari penelitian UCLA.

rzn (jpl, ucla)