1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nakhoda Kapal - Friedrich Stunzt

Uang tidak membuatnya bahagia. Hanya pekerjaannya saja yang memberinya rasa puas. Friedrich Stuntz, lelaki yang biasa disapa "Fritz" ini benar-benar mencintai pekerjaannya.

https://p.dw.com/p/N21p

Di atas kapal, hari-hari yang dilaluinya tak pernah sama. Apakah dia mengalami terbitnya mentari dari atas ruang kemudi kapal atau di bilik kapal atau di rumahnya, semuanya itu tergantung pada lamanya pelayaran. Dan juga tentu saja oleh berapa banyak awak kapal yang bertugas. Hanya ada satu hal dalam diri Fritz Stuntz yang tidak berubah sejak 30 tahun, yakni sarapan pagi. Sambil menebarkan senyum dia menjelaskan kebiasaannya di pagi hari, “Untuk sarapan pagi saya makan havermout dari hari Senin hingga Sabtu. Hanya hari Minggu saya makan telur dan roti.“ Sambil ditemani satu atau dua cangkir teh. Kopi baru menyusul beberapa jam setelahnya, kalau dia sudah duduk di atas kursi di dalam ruang kemudi.

Usia 68 tahun sebenarnya sudah lama tergolong usia pensiun. Namun sebagai seorang nakhoda kapal yang bekerja mandiri, dia masih saja berlayar selama beberapa hari dalam sepekan. Kebiasaan itu dibawanya sejak lahir. Leluhurnya juga dulu pelayar. “Di atas kapal orang bebas,“ katanya memberikan alasan mengapa dulu dia mau menapaki jejak profesi ayahnya.

Ruang Kemudi Kapal Ibarat Sebuah Cockpit Pesawat

Roda kemudi dari besi yang sudah tua memang masih dijumpai di atas kapal. Namun roda besi itu hanya menyisakan kenangan indah dari waktu lampau. Kini, kapten Stutz hanya perlu menggerakkan dua jari untuk mengemudikan kapalnya. Peralatan di ruang kemudinya kelihatan seperti di cockpit. Semuanya serba baru. Ada radar, radio komunikasi, komputer. “Dulu ketika saya memulai, saya harus belajar semuanya.“ Untuk menjadi nakhoda kapal, orang harus belajar sampai ke hal yang paling kecil. “Dulu kami berguru pada nakhoda yang punya sudah punya segudang pengalaman berlayar. Kini kami berguru pada orang-orang tamatan perguruan tinggi dan mereka merasa tahu lebih banyak.“

Mengemudikan kapal, menganalisa perubahan cuaca dan kedalaman air sungai, membersihkan dek dan ruang untuk barang muatan, melakukan inspeksi mesin –semuanya tentu menjadi bagian keseharian hidup seorang kapten. Namun usia yang semakin tua membatasi ruang gerak. Juga ruang gerak Fritz Stuntz. “Untuk kerja fisik, saya tak kuat lagi,“ akunya dan dia langsung menambahkan, “Namun berkat orang-orang yang kami pekerjakan di sini, saya tak perlu lagi menguras tenaga.“ Stuntz mempercayakan tugasnya ke pundak empat anak buahnya, yang benar-benar bisa dia andalkan.

Ketatnya Persaingan

Fritz Stuntz adalah seorang nakhoda kapal dengan segenap jiwa dan raga. Dia pemilik kapal dan dia sendiri juga mengemudikan kapalnya. “Memang rasanya sangat bagus memiliki kapal sendiri. Namun anggaran yang dikeluarkan pun sangat besar.“ Berapa uang yang nanti tersisa di kantongnya, itu baru terlihat pada akhir tahun. Biaya untuk perbaikan, menggantikan alat-alat yang rusak, mendatangkan peralatan baru, untuk semua keperluan itu dia harus menyisihkan banyak uang karena dia sendirti tak bisa meramal apa yang masih bakal terjadi hingga ke penghujung tahun.

Kapalnya yang sudah tua itu sekarang harus dilengkapi dengan peralatan teknik terbaru. Persaingan semakin ketat. “Bukan kapal tercantik yang paling banyak dipesan atau kapal yang paling aman, melainkan justru kapal yang menawarkan pengangkutan paling murah.“ Pergulatan untuk bertahan hidup di masa-masa krisis finansial seperti sekarang harus dia lewati dengan mengoperasikan kapalnya yang mengangkut pasir dan besi tua. Walaupun begitu Stuntz puas dengan hidupnya. Tak ada jalan hidup yang lebih baik baginya, demikian katanya.

Stres, Kata Yang Asing di Telinga Stuntz

Dengan perbicangan hangat dan humor, waktu di atas kapal berlalu begitu cepat. Fritz Stuntz tidak mengenal kata “Stres“. Dia punya obat sederhana yang mujarab, “Saya seorang manusia beriman. Apa pun yang terjadi, silahkan terjadi!“ Setelah dia berhasil mengantar muatan tanpa kendala, acara berikutnya adalah ganti kemudi – dari kemudi kapal ke kemudi mobil. Hal itu pun berlangsung cepat karena mobilnya selalu ikut dimuat di atas dek kapal. Hanya dalam beberapa menit, mobilnya bisa diturunkan dengan katrol. Lalu dia pulang ke rumahnya yang terletak di Virneburg, sebuah desa kecil di negara bagian Rheinland-Pfalz.

Di sana dia sudah dinantikan oleh istri dan keempat cucunya, anak dari putra tunggalnya, Torsten, yang juga bekerja sebagai nakhoda kapal. Selain keluarga, di rumah dia juga ditunggu oleh hewan piaraannya. Sama seperti dia, ruang hidup hewan-hewan itu pun berhubungan dengan air: ikan emas dan ikan carp (sejenis ikan air tawar) sudah tak sabar menanti tuannya untuk diberi makan.

Masih ada satu lagi acara rutin dalam hidup Fritz Stuntz, yakni membaca majalah “Der Spiegel“. Sang kapten memang tertarik dengan tema politik dan ekonomi. “Saya terlibat aktif di perkumpulan lokal partai CDU (Partai Uni Kristen Demokrat). Sering saya berusaha berbicara dengan politikus dan mengajukan kritik. Saya tak mau diakal-akali oleh mereka,“ tegasnya.

Acara harian Fritz Stuntz terisi padat. Pekerjaan yang begitu menyita waktu, urusan keluarga dan di samping itu kegiatan politiknya tidak menyisakan lagi banyak waktu luang. Namun dia selalu menyediakan waktu untuk bertemu dengan teman-temannya, berbicara dengan tetangga atau bermain kartu. “Kebanyakan orang hanya mau berkenalan dengan orang lain apabila mereka merasa bisa diuntungkan. Menjalin kontak dengan seseorang yang tidak membawa keuntungan apa-apa, itu pun bagi saya sangat menarik!“ katanya dengan penuh keyakinan. Fritz Stuntz… seorang yang terbuka dan jujur. Orang yang kata-katanya bisa dipercaya.

Elisabeta Milosevska/Samuel Limahekin

Editor: Yuniman Farid