Musim Semi Kurdi
22 Mei 2013Malam hari di Derik, sebuah kota di perbatasan Suriah dengan Turki dan Irak yang mayoritas penduduknya suku Kurdi. Ratusan orang berkumpul di gedung kebudayaan untuk membicarakan politik.
Asya Muhammed Abdullah berbicara di podium, penuh semangat. Ia wakil Ketua Partai Uni Demokrat, mitra Partai Buruh Kurdistan, PKK di Suriah. Ia meminta hadirin memperjuangkan hak-hak mereka. Pertemuan semacam ini tidak mungkin terjadi sebelum pecahnya perang Suriah.
Jelas Asya Muhammed Abdullah: "Sejak 30 tahun kaum Kurdi Suriah memperjuangkan haknya dan karena itu banyak kawan kami dipenjara dan tewas disiksa." Partai Baath yang berkuasa tidak mengakui sebagian besar hak dasar suku Kurdi. Bahkan pada tahun 60-an, sekitar 20 persen dari dua juta penduduk Kurdi di Suriah dicabut kewarganegaraannya.
Pergerakan kekuasaan
Perang saudara telah mengubah Suriah. Saat revolusi pecah, Assad mengembalikan status kewarganegaraan warga Kurdi. Lebih jauh, ia memutasi militer Suriah keluar dari kawasan Kurdi. "Perubahan datang dengan revolusi. Kita tidak mulai dari nol, kami sudah menyiapkan solusi untuk masalah Kurdi ", ungkap Asya Muhammed Abdullah.
Nyatanya dengan bantuan PKK, kedua pasukan pembela rakyat Kurdi, YPG dan sayap militernya PYD sudah menguasai sebagian kawasan itu. Kata Asya Muhammed Abdullah, "Kami meyakini sebuah model yang demokratis bagi seluruh Suriah. Demokrasi adalah solusi bagi masalah Suriah. Kami tidak menginginkan Suriah yang terpecah belah dan percaya bahwa seluruh bangsa bisa hidup bagai bersaudara dalam sebuah Suriah yang demokratis“, tegasnya bersemangat.
Kehadiran Militer, Pengakuan Budaya
Di balik perbatasan, PKK bernegosiasi dengan pemerintah Turki. Pembicaraan itu berdampak positif terhadap situasi di kawasan Kurdi Suriah. Meskipun terbatas, pembukaan jalur perbatasan membawa keuntungan ekonomi dan militer bagi warga Kurdi.
Sepanjang jalan utama Qamishlo, ibukota tak resmi Kurdistan, pasukan pembela YPG membangun pos pemeriksaan. Dekat barikade berwarna merah-kuning-hijau, warga muda bersenjata memeriksa setiap kendaraan bermotor.
Komandan YPG Rezan Ibrahim menerangkan, "Kami menentang pertumpahan darah dan pertempuran bersenjata di Suriah, tapi situasi memaksa kami mengangkat senjata. Jika di masa depan, pemerintah memberi kaum Kurdi semua haknya, kami akan berpartisipasi dan mendukungnya." Tapi tambahnya, "bila hak-hak kami dicabut lagi, kami siap berjuang menggunakan senjata.“
"
Di bawah Assad dulu kaum Kurdi dilarang menggunakan bahasanya dan merayakan tahun baru "Nouruz“ secara terbuka. Berkembangnya kekuasaan politik dan militer mendorong berseminya kembali budaya Kurdi.
Pesimis Di balik Harapan
Tapi tidak semua perkembangan ini positif, perang meninggalkan kota yang tercabik-cabik. Di mana-mana listrik mati, sampah dan reruntuhan bergunung di jalan-jalan. Harga pangan melejit dua kali lipat. Layanan kesehatan hampir tak tersedia karena sebagian besar dokter hengkang. Juga banyaknya kelompok politik yang bergerak memberatkan situasi bagi warga sipil. Selain itu, situasi keamanan begitu labil.