1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Minyak Juga Diperebutkan di Libya

22 Agustus 2011

Segera setelah timbulnya perlawanan di Libya, jelas bahwa prosesnya berjalan berbeda dari di Tunisia dan Mesir. Karena segera setelah kerususuhan pertama dan penempatan militer, Barat tuntut pergantian rejim.

https://p.dw.com/p/12LNu
A Libyan oil worker, works at a refinery inside the Brega oil complex, in Brega east of Libya, on Saturday Feb. 26, 2011. Production at Brega has dropped by almost 90 percent amid the country's crisis because many employees have fled and few ships are coming to offload the product. (AP Photo/Hussein Malla)
Seorang pekerja kilang minyak Libya di Brega (26/02)Foto: AP

Mencengangkan, bagaimana Barat begitu cepat mengangkat suara, segera setelah pecahnya revolusi di Libya. Terutama Perancis. Itu pasti mengejutkan, karena dalam hal Tunisia, Perancis sikapnya berbeda. Awalnya bahkan Perancis menawarkan dukungan bagi Presiden Ben Ali. Sementara sekarang, dalam hal Libya, Perancis menjadi negara Eropa pertama yang mengakui pemerintahan sementara yang didirikan para pemberontak di Benghazi. Kemungkinan itu menjadi upaya untuk memperbaiki kelalaiannya dulu menyangkut Tunisia.

Namun apakah sikap Perancis bermotivasi politik murni, atau apakah kepentingan ekonomi juga memegang peranan? Setidaknya itu perkiraan pakar Libya Alfred Hackensberger. "Waktu itu Presiden Perancis Nicolas Sarkozy geram. Ia menerima Gaddafi dengan kemewahan, dan sejumlah kontrak ekonomi juga diputuskan. Sebagian dari kontrak itu akhirnya tidak diindahkan oleh Gaddafi, misalnya soal jet tempur. Gaddafi akhirnya memesan dari Rusia,“ demikian Hackensberger.

Kepentingan Ekonomi

A security guard stands at at a gate inside the Zawiya Oil Refinery in Zawiya, west of Tripoli, Libya Thursday, March 3, 2011. Libya, which sits on the most reserves in Africa and is a major exporter to Europe, continues to produce oil, though experts say it's unclear how much will eventually make it to international ports. (Foto:Ben Curtis/AP/dapd)
Penjaga keamanan di gerbang masuk penyulingan minyak Zawiya di sebelah barat ibukota Tripoli (03/03)Foto: dapd

Kepentingan ekonomi juga bisa menjadi alasan bagi abstain Rusia dalam pengumpulan suara menyangkut resolusi 1973 dari DK PBB terhadap Libya. Karena perusahaan pengekspor senjata milik pemerintah Rusia menandatangani perjanjian dua milyar Dolar dengan Libya beberapa hari lalu. Itu mencakup penjualan panser, jet tempur dan jet untuk pelatihan. Luis Martinez, direktur Pusat Studi Internasional (CERI) di Paris memberikan penjelasan tentang sikap Rusia. Menurutnya, negara itu khawatir kehilangan klien utamanya untuk ekspor senjata. Rusia juga cemas bahwa proyek perusahaan gasnya, Gazprom, akan dipertanyakan. Bagi Rusia, Libya seperti Irak kecil, yang membeli banyak senjata dan memiliki kepentingan sama.

Tetapi bagi Rusia ini bukan sekedar masalah bisnis senjata. Dari bisnis minyak dengan Libya keuntungan besar juga bisa diraih. Tahun 2007 saja Gazprom, perusahaan gas Rusia, sudah membeli lisensi pengeboran minyak di daerah padang pasir Libya dari perusahaan Italia, ENI. Ini adalah perusahaan penggali minyak asing dan investor terbesar di Libya. Sebelum perlawanan terhadap Gaddafi dimulai, ENI mengebor sekitar seperempat dari jumlah seluruhnya hasil pengeboran minyak, yaitu 1,6 juta barrel per hari.

Konsesi Minyak Yang Sulit

Tahun 2007, ENI menandatangani perjanjian sejumlah lebih dari 28 milyar Dolar dengan pemerintah Libya. Di samping itu perusahaan tersebut juga membayar satu milyar Dolar sebagai bonus, untuk menjamin konsesi minyak hingga 2042. Mengapa sekarang Italia ikut dalam aksi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Libya, tidak dapat dimengerti. Demikian dikatakan Luis Martinez. "Pertanyaan ini akan menyibukkan pakar sejarah untuk waktu lama. Apa yang sebenarnya terjadi? Italia merayakan besar-besaran perjanjian persahabatan dengan Libya di Roma tahun 2008. Sekarang negara itu menyediakan basis militernya bagi NATO.“

epa02620848 Libyan rebel soldiers preparing in Brega, 07 March 2011, en route to Ras Lanuf. Libyan government forces are advancing towards the oil port of Ras Lanuf, checking the rebels' westward progress. EPA/TIAGO PETINGA +++(c) dpa - Bildfunk+++
Pemberontak yang berperang di dekat Brega (07/03)Foto: picture alliance/dpa

Alasannya mungkin kondisi sulit bagi konsesi minyak yang ditetapkan Libya terhadap perusahaan minyak ENI dan perusahaan-perusahaan minyak lainnya. Harian Wall Street Journal melaporkan April tahun ini, bahwa perusahaan minyak Barat telah meninggalkan Libya sebelum pemberontakan terjadi. Sebelumnya, segera setelah pencabutan sanksi tahun 2003, Libya ikut dalam persaingan menyangkut konsesi minyak.

Persaingannya begitu besar, sehingga perusahaan minyak negara, National Oil Corporation (NOC), dapat memberlakukan sistem ketat, yang disebut EPSA-4. Menurut sistem itu, 90% dari keuntungan harus diserahkan kepada Libya, walaupun perusahaan minyak internasional menyediakan dana jutaan bagi pencarian sumber minyak. Keuntungan dari produksi minyak, yang dapat diperoleh perusahaan hanya 11%.

Penyebab Utama Perang

Bagi banyak pengamat, jalan menuju sumber minyak mentah dengan kondisi yang menguntungkan menjadi penyebab utama perang. Itu misalnya pendapat Alfred Hackensberger. "Negara-negara NATO tidak melakukannya dengan suka rela, untuk menegakkan demokrasi di Libya. Yang utama adalah kepentingan, sumber minyak, engaruh dan kekuasaan. Pemenang utama mungkin Qatar, yang mendukung pemberontak tanpa syarat apapun. Dan pemberontak mengatakan, siapa yang membantu mereka akan diperhitungkan dalam penandatanganan perjanjian minyak,“ demikian ditambahkan Hackensberger.

An Eni gas station worker fills a motorbike tank in Milan, Italy, Monday, Feb. 22, 2011. No oil major has more to lose in Libya's civil clashes than Eni, the main foreign operator in Libya taking home a full one-third of the north African nation's oil and gas production. The unrest brought early signs of trouble on Tuesday, with the natural gas pipeline from Libya losing pressure, indicating a possible blockage, and Italian officials rushed to reassure the public that the gas supply was secure, with a second pipeline from northern Europe. (Foto:Luca Bruno/AP/dapd)
Pekerja pompa bensin ENI mengisi tangki sepeda motor di Molan, Itali (22/02)Foto: AP

Dalam pertikaian antara pemberontak dan pasukan Gaddafi, sebagian besar menyangkut kekuasaan atas pelabuhan dan penyulingan minyak. Karena yang menguasainya, juga memimpin negara. Bagi perusahaan-perusahaan minyak asing, terus mendukung Gaddafi terlalu riskan, karena kebanyakan pelabuhan minyak dan tempat penyulingan minyak berada di bagian timur negara itu. Jadi di daerah yang dikuasai pemberontak.

Tetapi janji yang diberikan pihak pemberontak juga tidak dapat menjadi jaminan, seperti yang dikatakan Essanoussi Bsikeiri dari oposisi Libya. Ia mengatakan, kewajiban yang dinyatakan oleh dewan transisi hanya bersifat sementara, sesuai dengan status sementara yang dimiliki dewan itu. Ini terutama menyangkut minyak, karena situasi di bidang ini belum terorganisir.

Meskipun demikian, tidak masalah bagaimana pemberontak akan membagi minyak di masa depan, tantangan bagi demokrasi di Libya hanya akan terus tergantung pada pembagian merata hasil bisnis minyak. Jika sebagian rakyat diabaikan, seperti di era Gaddafi, kekerasan bisa kembali berkobar di masa datang.

Lina Hoffmann / Marjory Linardy

Editor: Hendra Pasuhuk