1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Militer Turki Menyerah

1 Agustus 2011

Setelah akhir pekan lalu sejumlah pemimpin tinggi militer Turki mengundurkan diri, Perdana Menteri Tayyip Recep Erdogan mendapat kesempatan baik untuk memperluas otoritasnya atas militer Turki.

https://p.dw.com/p/127vD
Turkish soldiers take part in an army parade in the Turkish occupied area of Nicosia, Cyprus, Monday, Nov. 15, 2010. The date of November 15 marks the 26nd anniversary of the unilateral declaration of independence by the occupation regime, recognized only by Turkey. (AP Photo/Petros Karadjias)
Militer Turki. Masih berkuasakah?Foto: AP

Harian Jerman Märkische Oderzeitung yang terbit di Frankfurt an der Oder menulis:

„Memangkas kekuasaan pemimpin militer lewat reformasi, memang sejak lama sudah menjadi sasaran utama Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan. Tetapi bukan karena alasan demokrasi. Di Turki, militer tidak kalah popularitasnya dengan Erdogan dan dianggap, dapat menghalangi rencana Erdogan untuk mengubah undang-undang serta rencana memberlakukan sistem demokrasi presidensial seperti model Amerika Serikat. Dengan cara yang elegan Erdogan menyingkirkan pengawasnya. Hilangnya fungsi pengawas terhadap kader agama partai AKP membuat kalangan pengamat semakin curiga. Tapi, langkah ini bisa meningkatkan kemungkinan Turki menjadi anggota Uni Eropa.

Kemudian harian Jerman lain Kölner Stadt-Anzeiger menulis:

„Reformasi konstitusi yang sedang diupayakan Erdogan, akan menyunat kompetensi para jenderal. Hal ini bisa berguna bagi proses demokrasi Turki. Meskipun demikian, banyak warga Turki yang mengamati proses ini dengan cemas. Erdogan ingin melemahkan pengaruh militer. Secara tradisional militer Turki adalah institusi yang lebih dipercayai oleh rakyat ketimbang politisi, partai dan parlemen. Militer dianggap sebagai korektor, sebagai benteng yang membendung gerakan Islam. Militer melihat dirinya sebagai pengawas dan memang lembaga itu memainkan peranan sebagai pengawas. Akan tetapi, sebuah demokrasi yang kokoh, tidak memerlukan pengawas berseragam.“

Harian Neue Osnabrücker Zeitung juga memberikan komentarnya terkait dampak pengunduran diri para jenderal Turki. Harian itu menulis:

„Setelah bertahun-tahun berebut kekuasaan dengan PM Tayyip Erdogan, militer Turki akhirnya menyerah. Tetapi, hal ini tidak perlu disesali. Selama ini, karena merasa yang berkuasa, para jenderal itu menghalangi upaya demokrasi di Turki. Ada kalangan tertentu yang tidak dapat bergembira atas kenyataan pengaruh militer dipotong. Karena, tokoh yang mengusahakan semua itu adalah Erdogan. Dengan turunnya para jenderal, berarti pengaruh Erdogan bertambah. Ada kalangan lain yang hendak mempertahankan Erdogan, seorang pragmatis yang berhasil memajukan Turki. Tetapi, mereka juga tidak ingin politisi Islam konservativ itu terlalu kuat.“

Harian Perancis Le Figaro juga menyoroti pengunduruan diri sejumlah pemimpin tinggi militer Turki. Harian itu menulis:

„Dulu kejadian seperti ini akan memicu kudeta. Pengunduran diri seluruh jajaran pimpinan militer tidak menyebabkan kerusuhan, itu karena militer Turki telah kalah dalam perebutan kekuasaan dengan partai PM Tayyip Erdogan, AKP sejak 2002. Runtuhnya dominasi militer Turki merupakan bukti bahwa kalangan sipil berhasil merebut kekuasaan atas militer. Namun semua ini juga merupakan keberhasilan bagi partai Islam konservativ AKP, yang kini semakin berkuasa di Turki.“

Tema lain yang juga mendapat sorotan sejumlah media internasional adalah situasi di Suriah. Harian Jerman yang terbit di Berlin tageszeitung menulis:

„Serangan berdarah di Suriah menjelang Ramadhan itu, tidak main-main. Karena setiap hari di bulan Ramadhan adalah hari suci. Jika pemerintah membiarkan demonstrasi digelar setiap hari, maka rezim Suriah akan goyah. Kalangan masyarakat yang sementara ini masih mengamati perkembangan di Suriah seperti pedagang dan pengusaha di Damaskus dan Aleppo bisa memihak ke para demonstran, bila situasinya semakin tidak stabil. Selama 11 tahun berkuasa, Presiden Bashar al-Assad melewatkan berbagai peluang mengupayakan sebuah transisi damai dari pemerintah diktator ke demokrasi.“

Andriani Nangoy/afpd/dpa Editor: Hendra Pasuhuk