1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Merdeka Sejak Dalam Pikiran

Asmin Fransiska17 Agustus 2015

Pernikahan Dini: Kebijakan yang tidak ramah anak. Refleksi Kegagalan Penjaga Konstitusi Dalam Persoalan Pernikahan Anak Di Indonesia. Oleh: Asmin Fransiska.

https://p.dw.com/p/1GFPl
Bildergalerie Matrilinearität Minangkabau
Foto: imago/HBLnetwork

Kemerdekaan seringkali dianggap sebagai perjuangan dalam merebut kesempatan untuk bebas dari penjajahan atau kekuasaan pihak lain. Namun, apakah itu berarti Indonesia kini tidak lagi terjajah sehingga tidak memerlukan perjuangan untuk merdeka? Tentu tidak, kemerdekaan bebas dari penjajahan yang tersulit diperjuangkan adalah kemerdekaan atas berfikir dan memiliki pikiran merdeka. Merdeka sejak dalam pikiran – ini tentu perjuangan seluruh mahluk di bumi, termasuk di Indonesia.

Salah satu contoh klasik dari hasil perjuangan atas kemerdekaan adalah bagaimana konstitusi negara tersebut menjaga setiap warganya terlindungi dari “penjajahan” baik secara mental dan fisik. Sehingga, tidak adal lagi warga negaranya yang diperbodoh, dijajah dan takut. Konstitusi ini akan dikawal dan dijaga oleh sekumpulan orang yang terdiri dari hakim-hakim terhormat yang dilegitimasi dari hasil pemilihan atas orang-orang yang kompeten di bidangnya. Mereka akan secara objektif, adil dan tanpa diskriminasi melihat bagaimana setiap warga di dalam jurisdiksinya terlindungi dan terjaga. Namun, ternyata, impian dan maksud tersebut belum tentu bisa terlaksana dengan baik. Merdeka sejak dalam pikiran tidak lagi terjaga dalam persoalan anak dan pernikahan dini di Indonesia.

Indonesien Asmin Fransiska
Foto: privat

Pada tanggal 18 Juni 2015, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa menolak menaikkan batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pasal 7 ayat 1. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa usia menimum bagi perempuan adalah 16 tahun. Undang-undang ini digugat oleh Yayasan Kesehatan Perempuan dan perkara 30/PUU-XII/2014 dan Yayasan Pemantauan Hak Anak dalam perkara 74/PUU-XII/2014 yang meminta Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan usia minimum menikah adalah 18 (delapan belas) tahun agar anak-anak terlindungi dari pernikahan dini, atau pernikahan anak-anak.

Kaburnya Pemahaman Hak Asasi Anak

Sangat jelas bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak batas usia minimal menikah bagi perenpuan ini telah melanggar hukum Hak Asasi Manusia Internasional. Konvensi Hak Anak selain menetapkan usia anak yaitu 18 (delapan belas) tahun, konvensi tersebut pun mewajiban setiap negara pesertanya untuk meningkatkan umur anak untuk dapat menikah. Kewajiban ini juga diperuntukan bagi Indonesia sebagai negara yang telah sepakat untuk menundukkan diri pada konvensi Hak Anak. Terlebih lagi, Mahkamah Konstitusi telah salah dalam menafsirkan hak asasi manusia itu sendiri. Yang justru, dalam Konstitusi jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia menjadi roh yang penting. Penafsiran ini salah manakala dihubungkan dengan hak menikah bagi anak-anak adalah hak asasi manusia.

Benar, bahwa menikah itu sendiri adalah sebuah hak asasi. Namun dalam perspektif pernikahan dini, dengan melihat bahwa seorang anak perempuan sebagai seorang mempelai dan bukan seorang anak merupakan penafsiran yang menjungkir balikkan perspektif hak asasi manusia. Anak haruslah dilihat sebagai anak dan bukan orang dewasa. Ini mengapa terdapat kekecualian dalam konsep pemidanaan anak misalnya, atau konsep perdata lainnya seperti hukum kontrak. Kemampuan anak dalam menganalisis dan bertanggungjawab atas perbuatannya tentu berbeda dengan kemampuan orang dewasa. Dengan demikian, sangatlah tepat manakala negara mengatur perlindungan khusus bagi anak dan tidak menyamaratakan anak seperti orang dewasa. Penyamarataan kemampuan anak yang sama dengan orang dewasa dalam memutuskan perkawinan adalah sebuah pandangan yang salah. Anak bukan mempelai. Anak adalah mereka yang belum bisa sepenuhnya melindungi hak-haknya sehingga mereka membutuhkan orang dewasa untuk membantu mereka. Pengertian para hakim di Mahkamah konstitusi dalam menilai bahwa penikahan anak sama dengan pernikahan orang dewasa sehingga harus dilindungi dan dipandang sebagai hak asasi merupakan pemikiran yang bergerak mundur dalam konsep perlindungan hak anak.

Konsep tentang bagaimana perlindungan hak asasi bagi anak sangat penting dan menjadi bagian dari hak asasi yang tidak dapat dipisahkan dari serangkaian hak asasi yang lainnya, seperti hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk dapat jaminan kesehatan dan hak untuk hidup. Hak-hak tersebut harus dipromosikan, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Kesalahan penafsiran yang dilakukan oleh para Hakim Mahkamah Konstitusi ternyata menciptakan kerusakan atas fondasi hak asasi dalam konstitusi kita sendiri dengan menempatkan anak perempuan dalam posisi yang semakin beresiko dalam kekerasan dan pelaggaran hak sosial dan budaya. Salah satu dari persoalan yang akan muncul misalnya pelanggaran hak atas kesehatan reproduksi, meningkatnya praktek-praktek diskriminasi terhadap perempuan di sekolah dan lingkungan sosial lainnya serta terbukanya ruang dilegalkannya praktek-praktek phedofilia. Sudah barang tentu, pemahaman hak asasi anak tidaklah jelas dan terang benerang dalam pikiran para hakim konstitusi kita. Keburaman situasi tersebut menelurkan perspektif, pemikiran dan putusan yang tidak memerdekakan anak. Merdeka sejak dalam pikiran sangatlah kecil kemungkinannya terjadi bagi anak perempuan kita yang berada dibawah ancaman persoalan pernikahan dini!

Pernihakan Dini dan Kemiskinan

Terdapat hubungan yang sangat erat antara pernikahan dini dan kemiskinan. Salah satu alasannya adalah kebijakan atau hukum pembiaran anak menikah di usia mudanya akan secara langsung atau tidak langsung menutup akses atas pendidikan mereka. Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia menyebutkan di tahun 2015 terdapat kenaikan pernikahan dini dibawah 15 tahun. 2 (dua) juta dari 7,3 juta (tujuh koma tiga) anak perempuan di Indonesia telah menikah dan akibatnya mereka putus sekolah. Tanpa pendidikan yang memadai, kemiskinan akan mengikuti jalan hidup semua orang, terutama anak-anak.

Tidaklah mudah bagi anak-anak, terutama anak perempuan mengatakan “tidak” untuk memiliki anak terlebih dulu dan tetap melanjutkan pendidikan mereka walau sudah berstatus menikah. Tidak mudah pula bagi anak perempuan yang sudah menikah untuk meminta penundaan dalam memiliki anak ke suaminya atau ijin dari keluarga besarnya. Apalagi, jika alasannya adalah ingin melanjutkan sekolah atau jenis pendidikan lainnya. Terlebih lagi, sangatlah sulit bagi seorang ibu muda, atau anak perempuan yang telah memiliki anak untuk menitipkan atau meninggalkan anaknya guna meraih hak pendidikannya – bersekolah. Hukuman berupa stigma akan berlipat ganda didapatkan oleh ibu muda – anak perempuan dengan anak dari lingkungan sosialnya baik di rumah, sekolah dan lingkungan yang lebih besar. Seringkali mereka akan terstigma sebagai perempuan yang tidak memiliki kemampuan secara akademik, pelajar yang tidak memiliki potensi dan motivasi dan juga seorang ibu yang tidak bertanggungjawab. Meninggalkan anak atau meninggalkan sekolah adalah dua pilihan yang dihadapi oleh para anak perempuan kita yang telah menikah.

Kalaupun kemungkinan untuk tetap bersekolah dan memiliki serta mengurus anak bisa dijadikan pilihan, pertanyaan selanjutnya bagaimana pelaksanaannya? Apakah negara memberikan fasilitas yang memadai bagi seorang anak perempuan yang telah memiliki anak untuk tetap bersekolah? Apakah masyarakat siap menerima dan tidak melakukan pengucilan bagi anak perempuan yang memiliki anak? Banyak kepala daerah mengajukan kebijakan tes keperawanan agar dapat menilai mana anak perempuan “baik” atau “tidak baik”. Banyak pula sekolah yang tidak mengijinkan anak perempuan yang hamil untuk tetap bersekolah. Pada akhirnya: malu, lelah, dan tumpukan masalah lainnya membuat anak perempuan yang memiliki anak memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan.

Bukan hanya itu, mereka pun akan menjadi tenaga kerja yang tidak memiliki kemampuan yang cukup karena minimnya kesempatan melatih diri dalam dunia kerja, karena hilangkan kesempatan pendidikan baik formal amaupun informal. Rangkaian bola berputar: pendidikan – pekerjaan – akses ekonomi ini tidak perlu dianalisa dengan kemampuan analisis sosial yang rumit. Logika sangat sederhana akan menjelaskan, mana kala anda kehilangan akses pendidikan, maka akses pekerjaan akan mengecil luasnya, yang akibatnya pintu gerbang kemiskinan akan terbuka lebar.

Mahkamah Konstitusi kita telah gagal menggunakan analisa sosial sederhana ini dalam melindungi hak konstitusi warganya – anak perempuan! Pada akhirnya, pernikahan dini inilah yang menghentikan anak – anak perempuan kita untuk meraih mimpi – mimpi akan kemerdekaan berfikir!

Pernikahan ini: Kebijakan Yang Tidak Ramah Anak

Salah satu kunci penting dalam pembuatan kebijakan yang efektif adalah: melihat data, mengolanya dan mengambil rumusan yang implementatif. Data mengenai anak, hak asasi manusia dalam bidang anak dan perempuan serta pelanggaran atas hak asasi mereka telah tersebar diberbagai tempat. Jikapun para hakim tersebut memiliki waktu yang sangat terbatas, maka segala informasi dari para saksi ahli sangatlah layak untuk didengar, dipahami dan dianalisa. Sayangnya, hal ini sepertinya tidak juga dilakukan oleh para hakim konstitusi kita dalam memutus perkara pernikahan anak.

Para aktivis hak asasi manusia dan anak telah memberikan serangkaian penelitian ilmiah mereka di hadapan sidang dalam kasus peninjauan ulang UU Perkawinan No, 1 Tahun 1974. Kebanyakan data tersebut memberikan temuan ilmiah tentang akibat negatif terhadap anak yang menikah dini. Data tersebut mejelaskan secara rigid tentang hubungan negatif antara pernikahan anak dengan resiko kesehatan reproduksi, kekerasan seksusal dalam rumah tangga serta peningkatan kematian ibu melahirkan. Sekali lagi, data, fakta dan temuan ilmiah adalah hal yang wajib diperhitungkan dalam membuat suatu kebijakan atau keputusan dari sebuah lembaga, terutama lembaga negara.

Badan Pusat Statistik Indonesia menyatakan bahwa 20% dari anak perempuan yang berusia 13 (tiga belas) hingga 15 (lima belas) tahun telah menikah. Sementara anak-anak yang menikah di usia antara 15 (lima belas) tahun dan 17 (tujuh belas) tahun mencapai 30%. Dengan hitungan sederhana maka 50% dari mereka yang menikah di Indonesia adalah pada usia anak-anak (dibawah 18 tahun). Survei Demograpi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) di tahun 2012 menunjukkan hubungan antara kematian ibu melahirkan meningkat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Di tahun 2012, terdapat 48 (empat puluh delapan) dari 1000 (seribu) anak perempuan di usia 15 (lima belas) hingga 19 (sembilan belas) tahun telah melahirkan anak. Data tersebut juga dikuatkan oleh lembaga PKBI (Pusat Keluarga Berencana Indonesia) yang menyebutkan dari 228 orang per 100.000 persalinan menjadi 359 orang per 100.000. Data tentang kematian ibu melahirkan pun kian meningkat. PKBI menyatakan bahwa terdapat 200% angka kenaikan ibu melahirkan atau sekitar 9.000 (sembilan ribu) yang kini telah naik menjadi 18.000 (delapan belas ribu) angka kematian ibu melahirkan. (Kompas, 20 Juni 2015).

Sebuah lembaga yang memutuskan suatu perkara hukum wajib untuk tidak lalai dalam mencari data atau bukti yang cukup, agar kebenaran dapat diperoleh dan keadilan dapat dijunjung tinggi. Namun, tampaknya para Hakim Konstitusi di Indonesia telah lalai dalam menjadikan riset atau temuan ilmiah tersebut menjadi dasar putusannya. Sebaliknya, para hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan perlindungan atas hak fundamental berdasarkan penilaian subjektif atau keyakinan atas agama tertentu. Dalam hak asasi manusia, sebuah kebijakan atau aturan selayaknya didasarkan pada keyakinan ilmiah dan bukan keyakinan nilai-nilai tertentu dan sudah seharusnya berpijak pada perlindungan bagi mereka yang masuk ke dalam kelompok termarjinalkan. Mahkamah Konstitusi kita telah gagal dalam meilhat usia pernihakan ini sesuai dengan prinsip penting yang tidak dapat dipisahkan dalam perlindungan hak anak yaitu kepentingan yang terbaik bagi anak. Kepentingan yang terbaik bagi anak adalah salah satu dari empat prinsip penting lainnya dalam Konvensi Hak Anak telah terkubur rapat-rapat dan bahkan dikesampingkan dalam memutuskan nasib anak itu sendiri.

Alasan hukum yang salah menciptakan keputusan yang menyesatkan

Salah satu alasan dari para hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara tentang usia minimum anak menikah adalah bahwa “tidak ada jaminan bahwa ditingkatkannya usia menikah dari usi 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun akan mengurangi angka perceraian dan permasalahan sosial lainnya”. Logika berpikir ini perlu dipertanyakan dengan pernyatakan yang sama bahwa, “Tidak ada jaminan bagi anak-anak yang dinikahkan dini akan mengurangi perceraian dan persoalan sosial lainnya”. Logika dan pernyataan ini pun tidak memiliki data yang jelas. Karena data yang ada menunjukkan sebaliknya, bahwa pernikahan bagi anak telah menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia dan putusnya hak atas pendidikan anak.

Sesat pikir lainnya juga muncul dengan pemikiran bahwa pernikahan di usia anak-anak akan mencegah perbuatan seks diluar perkawinan (pre-marital sex). Tidak ada data atau temuan ilmiah yang memadai bahwa jalan keluar bagi persoalan seks di luar pernikahan adalah dengan pernikahan dini. Kolerasi antar dua persoalan sosial ini tidak memiliki hubungan yang jelas. Hubungan seksual diluar pernikahan adalah isu sosial lain dalam masyarakat dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan memaksa anak-anak untuk menikah di usia muda. Hubungan seksual diluar perkawinan salah satunya bisa diatasi dengan pendidikan tentang seksual yang memadai sejak dini dan melakukan memberikan pengetahuan tentang hubungan seks yang aman.

Kesadaran untuk tidak melakukan hubungan seksual yang tidak terlindungi karena bisa merakibat pada perluasan penyakit menular dan kehamilan yang tidak diinginkan misalnya, mejadi salah satu jalan keluar. Kesadaran ini tentunya diperoleh melalui jalur ilmu pengetahuan. Pencegahan semata dengan cepat-cepat menikahkan anak remaja atau melarang dengan menakuti-nakuti tidak akan efektif ketika pendidikan atas kebutuhan seksual di kalangan remaja tidak diarahkan melalui media pendidikan. Tabunya isu seksualitas dalam diskursus pendidikan dan informasi benar harus dikeluarkan dari alasan pembuatan sebuah kebijakan. Pendekatan pendidikan ini menjadi kebutuhan dasar, pengetahuan yang umum dan layak untuk disampaikan seiiring dengan pendekatan lainnya. Dengan logika berpikir ini para hakim di Mahkamah Konstitusi menempatkan anak- anak untuk bertanggungjawab atas dirinya sendiri tanpa melihat bagaimana kedewasaan berpikir dan rentannya anak-anak. Ketidakmampuan orang dewasa yang bekerja di lembaga negara dalam mengurangi atau mencegah persoalan sosial pada anak-anak dengan sangat mudah dilimpahkan kepada anak-anak melalui kebijakan pernikahan dini.

Ketidak konsistenan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Anak

Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan keputusan yang tidak konsisten satu sama lain mengenai “usia” seorang anak. Pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa umur atau usia 8 (delapan) tahun sebagai usia minimum pertanggungjawaban pidana bagi anak di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia terlalu rendah. Salah satu alasannya adalah bahawa negara harus melindungi perkembangan hidup anak. Dengan demikian, mereka Mahkamah Konstitusi menaikkan usia minimum anak dalam pertanggungjawaban pidana dari usia 8 (delapan) tahun menjadi 12 (dua belas) tahun.

Mengapa keputusan yang berdasarkan pada prinsip perlindungan anak yaitu perkembangan hidup (the principle of development and survival) tidak diterapkan dalam persoalan usia minimum anak perempuan menikah? Karena kedua kasus ini secara konsep sama-sama memiliki potensi untuk melanggar prinsip-prinsip dalam perlindungan anak? Ketidak konsistenan ini berasal dari argument yang disebutkan oleh para hakim Konstitusi. Para hakim tersebut menyebutkan, “usia minimum untuk menikah bukan merupakan persoalan konstitusi”. Alasan hukum yang bukan saja tidak konsisten. Usia, kedewasaan adalah masalah konsistusi. Anak lebih terlindungi dalam konstitusi. Jika umur sebagai batasan definisi antara anak dan orang dewasa bukanlah suatu persoalan konstitusi, maka seharusnya Konstitusi tidak memberikan penekan perlindungan yang lebih bagi anak, namun negara Indonesia memberikan perlindungan khusus bagi anak melalui Konstitusinya.

Dalam dua putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, persoalannya masih dalam konteks yang sama, yaitu mengenai usia anak dan persoalan hak untuk mengembangan diri, namun diputus dengan keputusan yang berbeda dan alasan fundamental yang berbeda. Usia minimum anak bertanggungjawab secara pidana adalah persoalan konstitusi, sedangkan usia minimum anak atas pertanggungajwaban secara perdata (menikah) bukan merupakan persoalan konstitusi?. Ketidakonsistenan putusan Mahkamah Konstitusi atas kedua masalah usia anak tersebut menciptakan persoalan baru. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikeluarkan oleh Maria Farida Indrati, selah satu hakim Mahkamah Konsitusi dalam penyampaikan pendapat yang berbedanya, menyebutkan bahwa, “Usia 16 (enam belas) tahun dalam UU Perkawinan menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak-hak anak yang diatur dalam Pasal 1 ayat 3, pasal 24 b ayat 2, pasal 8 c ayat 1 UUD 1945”. Bagaimana hakim Mahkamah Konstitusi dapat menjaga pelaksananaan Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi negara manakala mereka jugalah yang mengeluarkan keputusan yang menimbulkan ketidakpastian pelaksanaan Konstitutsi itu sendiri?

Yang dilupakan oleh para hakim konstitusi tersebut adalah usia anak bukan sekedar angka. Usia adalah sebuah standar dan garis penjagaan bagi anak-anak dari berbagai pelanggaran atau kejahatan hak asasi manusia. Hukum harus jelas dan konsisten dalam meciptakan garis perlindungan tersebut. Begitu pula dalam perlindungan bagi anak-anak perempuan untuk tetap bisa mendapatkan hak sosial dan budayanya. Dengan demikian maka, usia anak adalah masalah konstitusi, karena konstitusi lah yang dapat menjadi penjaga terakhir bagi anak-anak kita untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka.

Ketika banyak negara lain telah bergerak maju untuk lebih melindungi anak-anak dalam yurisdiksinya dengan memberikan batasan usia minimum yang tinggi untuk seseorang menikah, bekerja, dan menjadi “tentara”, kita tidak hanya dapat duduk diam dan menempatkan diskursus usia anak tersebut dalam ruang privat atau domestik. Ini saatnya kita menempatkan persoalan anak dalam ruang publik dan bangsa melalui Konstitusi. Ini saatnya masyarakat wajib memberikan kritik secara maksimal dan mendorong negara menciptakan kebijakan yang ramah terhadap anak dan mengurangi kebijakan yang membahayakan anak. Saat kita bergerak maju seraya bersuara lantang “Merdekalah sejak dalam pikiran”: ciptakan generasi yang bebas dari kebodohan terstruktur dan penjajahan budaya!**

*Asmin Fransiska, Pengajar Senior di Unika Atma Jaya, Jakarta – Indonesia; Ph.D Candidate di Justus Liebig University - Germany